tirto.id - Jika Henk Ngantung adalag gubernur beragama Kristen pertama, Sjamsuridjal adalah pemimpin ibukota pertama yang berasal atau diusung oleh partai politik Islam.
Sjamsuridjal menjabat sebagai orang nomor satu Jakarta sedari 2 Mei 1951 sampai 9 November 1953. Saat itu, jabatan pemimpin wilayah ibukota masih disebut walikota, namun setara dengan gubernur. Jakarta baru memiliki gubernur tetap sejak 1960 pada era Soemarno Sosroatmodjo yang memimpin hingga 1964.
Di periode sebelumnya memang pernah terselip nama Daan Jahja. Namun, ia mengemban jabatan dengan label Gubernur Militer Jakarta (1948-1950). Hal tersebut disebabkan karena situasi waktu itu sedang darurat perang mempertahankan kemerdekaan seiring upaya Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.
Dari Masyumi untuk Ibukota
Sebelum menjadi walikota atau gubernur di Jakarta, Sjamsuridjal menjabat sebagai Walikota Solo pada periode 1946 hingga 1949, nyaris mirip dengan alur karier Joko Widodo (Jokowi) yang akhirnya terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7 pada Pilpres 2014 lalu. Bedanya, Sjamsuridjal juga sempat mengampu jabatan Walikota Bandung sejak 1945.
Sjamsuridjal adalah tokoh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai politik yang dicetuskan dalam Kongres Umat Islam pada 7 November 1945. Pada awal kemerdekaan saat itu, Masyumi dibentuk sebagai wadah perjuangan kaum muslimin dalam pembentukan konsep bernegara (Schumann, H., Agama dalam Dialog, 1999:475).
Masyumi yang dibentuk di Yogyakarta ini berbeda dengan wadah bernama serupa bentukan Jepang pada 1943. Thohir Luth (1999:42) dalam buku M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya menyebut bahwa Masyumi yang ini berhasil mempersatukan sebagian besar potensi umat Islam dari berbagai kalangan dan organisasi.
Duduknya Sjamsuridjal sebagai Walikota/Gubernur Jakarta memang bukan melalui pemilihan kepala daerah, melainkan ditunjuk langsung pemerintah pusat. Sjamsuridjal adalah pejabat pengganti walikota sebelumnya, Soewirdjo, yang diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia pada 27 April 1951. Kekosongan tersebut kemudian diisi oleh Sjamsuridjal (Tim, Karya Jaya, 1977:63).
Jejak-Langkah Sjamsuridjal
Peter J.M. Nas dan Manasse Malo dalam Jakarta-Batavia: Socio-Cultural Essays terbitan KITLV (2000:231) menyebutkan bahwa visi dan misi Sjamsuridjal sebagai Walikota Jakarta adalah mengambil-alih masalah-masalah mendesak yang belum sempat ditangani oleh pejabat sebelumnya, termasuk persoalan listrik, air minum, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pertanahan.
Walikota sebelumnya, Soewirdjo, dalam periode yang singkat sebenarnya telah berusaha untuk mengembangkan Jakarta sebagai kota metropolitan. Sejumlah upaya yang dilakukannya antara lain dengan melakukan penataan kota, membuka hunian-hunian baru, dan sejumlah kebijakan lainnya (Edi Sedyawati, dkk., Sejarah Kota Jakarta 1950-1980:139).
Sjamsuridjal pun berupaya melanjutkan bahkan meningkatkan apa yang telah dikerjakan oleh Soewirdjo sekaligus merealisasikan apa yang menjadi visi dan misinya sebagai orang yang paling bertanggungjawab di ibukota pada tahun-tahun awal setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia itu.
Kebijakan yang diterapkan Sjamsuridjal pada mulanya telah mengalirkan listrik di seluruh wilayah Jakarta secara bergiliran setiap tiga hari sekali. Selanjutnya, ia berusaha meningkatkan kapasitasnya menjadi enam hari sekali dengan membangun pusat listrik di kawasan Ancol (Nas & Malo, 2000:231).
Terkait pasokan air minum, Sjamsuridjal melakukan sejumlah kebijakan antara lain dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas air bersih untuk dikonsumsi. Ia juga membangun penyaringan tanaman di daerah Karet (Jakarta Selatan), menambah pipa-pipa air dan suplai air bersih dari Bogor, serta menyediakan pompa di daerah-daerah yang rawan kekurangan air.
Sjamsuridjal juga menaruh perhatian pada sektor kesehatan dan pendidikan. Selama masa kepemimpinannya yang kurang dari 4 tahun, telah dibangun dua unit gedung rumah sakit. Terkait pendidikan, ia memperkenalkan peningkatan kualitas berbagai program edukasi di sekolah-sekolah. Sjamsuridjal juga mendukung pengembangan Universitas Indonesia yang saat itu masih berpusat di Salemba.
Di masa kepemimpinan Sjamsuridjal pula, pembangunan Stadion Nasional Ikada dimulai, yakni pada 18 Juli 1951. Dalam waktu tiga bulan saja, stadion yang kini menjadi area Monumen Nasional (Monas) di Jakarta Pusat itu dapat diselesaikan dan kemudian digunakan untuk menggelar Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-2 pada Oktober 1951.
Ada Lagi Atau Tetap Satu-satunya?
Setelah era Sjamsuridjal berakhir pada 9 November 1953, belum ada lagi pemimpin daerah Jakarta yang berasal dari partai politik Islam. Penerusnya, Sudiro (1953-1960), tidak pernah bergabung dengan parpol manapun, hanya pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 1945-1947 dan berasal dari kalangan akademis.
Dua Gubernur Jakarta terakhir di rezim Orde Lama, Soemarno Sosroatmodjo dan Henk Ngantung, juga tidak berbau parpol. Soemarno Sosroatmodjo yang menjabat pada 1960-1964 dan 1965-1966 sebelumnya berkarier di ketentaraan dan juga berprofesi menjadi dokter. Begitu pula dengan Henk Ngantung (1964-1965) yang justru dikenal sebagai pelukis.
Selama era Orde Baru pimpinan Soeharto, semua Gubernur DKI Jakarta berasal dari kalangan milter, dari Ali Sadikin (1966-1977), Tjokropranolo (1977-1982), Soeprapto (1982-1987), Wiyogo Atmodarminto (1987-1992), Soerjadi Soedirdja (1992-1997), hingga Sutiyoso (1997-2007).
Baru setelah itu muncul Fauzi Bowo (2008-2012), mantan wakil gubernur dari birokrat karir yang diusung koalisi partai nasionalis dan Islam. Begitu pula gubernur selanjutnya, Joko Widodo (2012-2014) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Ahok pun begitu. Ditunjuk sebagai Gubernur DKI Jakarta usai Jokowi jadi presiden, Ahok tidak lagi bernaung di Gerindra dan memilih non-partisan meskipun saat ini ia kembali diusung oleh sejumlah parpol di Pilgub 2017. Dengan demikian, sejak era Sjamsuridjal, belum pernah ada partai Islam yang berhasil menempatkan wakilnya sebagai orang nomor satu di ibukota.
Catatan ini akan berlanjut jika Ahok memenangkan Pilgub 2017 nanti. Seperti diketahui, Ahok diusung oleh 4 parpol yang semuanya berhaluan non-agama, yaitu PDIP, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan Partai Golkar, meskipun sejumlah pihak dari organisasi Islam, ada yang mendukung gubernur petahanan ini.
Adapun partai-partai Islam membagi sokongannya untuk dua pasangan calon lainnya yaitu Agus Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di kubu Agus-Sylvi bersama dua partai nasionalis berkonstituen Islam yakni Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sedangkan Anies-Sandi didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Kini, terbuka kemungkinan dan bukan sesuatu yang mustahil bagi partai-partai Islam untuk bisa memimpin Jakarta setelah selalu kandas sejak 64 tahun silam, setelah Anies—bersama Ahok— dipastikan lolos ke putaran kedua. Namun, fakta ini tetap tak bisa ditampik: betapapun disokong oleh partai Islam, Anies Baswedan bukanlah kader partai Islam.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani