Menuju konten utama

Kenapa Partai Islam Kalah Bersaing dengan Partai Nasionalis?

Menurut Saidiman Ahmad, jika partai-partai bernuansa Islam ingin bertahan atau menang di setiap palagan pemilu, maka mereka mesti bergeser ke tengah.

Kenapa Partai Islam Kalah Bersaing dengan Partai Nasionalis?
Plt Ketua Umum PPP Muhamad Mardiono (kanan) didampingi Ketua Majelis Pertimbangan Partai Muhammad Romahurmuziy (kiri) dan Sekjen Arwani Thomafi (tengah) berfoto bersama kader pada pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) VI Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Jakarta, Jumat (16/6/2023). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/tom.

tirto.id - KPU resmi menetapkan hasil rekapitulasi suara Pemilu 2024. Dalam rekapitulasi Pileg 2024 dengan total 151.796.630 suara, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) gagal melewati ambang batas parlemen sebesar 4 persen, mereka hanya memperoleh 5.878.777 suara atau 3,87 persen.

Selain PPP, suara partai bernuansa Islam lainnya juga gagal lolos ke Senayan. Partai Gelora yang didirikan oleh para mantan politikus PKS hanya mengantongi 1.281.991 suara (0,84 persen), Partai Bulan Bintang (PBB) 484.468 suara (0,32 persen) dan Partai Ummat yang didirikan Amien Rais hanya memperoleh 642.545 suara (0,42 persen).

Partai-partai bernuansa Islam yang lolos ke Senayan hanya Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PAN memperoleh 10.984.003 suara (7,24 persen), PKS 12.781.353 (8,42 persen), dan PKB meraup 16.115.655 suara (10,62 persen).

Meski demikian, ketiganya kalah dari partai-partai nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang meraih 25.387.279 suara (16,72 persen), ⁠Partai Golkar 23.208.654 (15,29 persen), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sebesar 20.071.708 (13,22 persen).

Sebagai catatan, PKB mampu mengalahkan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang hanya meraih 14.660.516 suara (9,66 persen), dan Partai Demokrat yang meraih 11.283.160 suara (7,43 persen).

Namun, jika seluruh suara dua kutub partai-partai ini digabung, maka partai nasionalis jauh meninggalkan partai yang bernuansa Islam.

Gabungan suara partai-partai nasionalis (PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, Demokrat)—partai guram tak dihitung—mencapai 94.611.317 suara. Sementara jika suara partai-partai bernuansa Islam (PKB, PKS, PAN, PBB, PPP, Gelora, Ummat) digabung hanya berjumlah 48.168.810 suara, artinya hanya setengahnya dari gabungan suara partai-partai nasionalis!

Unjuk Rasa PBB Partai Bulan Bintang

Ratusan simpatisan Partai Bulan Bintang (PBB) kembali melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (2/3/2018). tirto.id/Andrey Gromico

Ingin Bertahan? Bergeserlah ke Tengah

Sebagai perbandingan, kita lihat hasil dua pileg sebelumnya. Pada 2019, PKB meraih 13.570.097 suara (9,69 persen), dan pada 2014 meraup 11.298.957 suara (9,04 persen). Secara berturut-turut, raihan suara PKB terus naik.

Lalu PKS. Pada 2019, partai ini meraih 11.493.663 suara (8,21 prsen). Dan pada 2014, berhasil meraih 8.480.204 (6,79 persen). Ya, raihan suara PKS juga secara beruntun terus menanjak.

Selanjutnya PAN. Dalam tiga pemilu terakhir, partai yang banyak dihuni artis ini raihan suaranya juga terus naik. Pada 2019, mereka meraih 9.572.623 suara (6,84 persen). Lalu pada 2014 berhasil meraup 9.481.621 suara (7,59 persen).

Penurunan signifikan dialami PPP dan PBB. Pada 2019, PPP meraih 6.323.147 suara (4,52 persen). Dan pada 2014 partai berlambang ka’bah ini meraup 8.157.488 suara (6.53 persen).

Sementara PBB yang dimotori Yusril Ihza Mahendra, perolehan suaranya terus terjun bebas. Jika pada 2024 mereka hanya meraih 484.486 suara (0,32 persen), maka pada dua pemilu sebelumnya suara PBB sebetulnya lumayan. Pada 2019, berhasil meraih 1.099.848 suara (0,79 persen). Dan pada 2014 meraup 1.825.750 (1,46 persen).

Jika dibandingkan dengan partai-partai nasionalis (PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, Demokrat), yang mengalami penurunan suara hanya PDIP, dari 27.053.961 (tahun 2019) menjadi 25.387.279 (tahun 2024). Itupun PDIP masih tetap menjadi pemenang pileg.

Sisanya, yakni Golkar, Gerindra, Nasdem, Demokrat, jika dibandingkan dengan Pileg 2019, semuanya mengalami kenaikan.

Golkar dari 17.229.789 (tahun 2019) menjadi 23.208.654 (tahun 2024). Gerindra dari 17.594.839 (tahun 2019) menjadi 20.071.708 (tahun 2024). Nasdem dari 12.661.792 (tahum 2019) menjadi 14.660.516 (tahun 2024). Dan Demokrat dari 10.876.507 (tahun 2019) menjadi 11.283.160 (tahun 2024).

Meski tiga partai bernuansa Islam (PKB, PKS, PAN) dalam tiga pileg berturut-turut suaranya naik, namun dau lagi (PPP dan PKB) justru anjlok. Sementara partai-partai nasionalis raihan suaranya cenderung stabil diangka dua digit.

Mengapa hal ini terjadi?

Analis politik dari SMRC, Saidiman Ahmad, menilai publik tidak terlalu banyak memilih partai Islam atau bernuansa Islam karena mereka sudah mampu membagi porsi antara agama dengan politik dan terkesan sekuler.

"Saya kira penyebab utamanya itu adalah karakter masyarakat muslim Indonesia yang semakin sekuler," kata Saidiman, Jumat (22/3/2024).

Menurutnya, masyarakat memang taat menjalankan ritual-ritual keagamaan seperti salat lima waktu hingga puasa sunah. Namun pada tataran sosial mereka cenderung memilih sesuatu yang konvensional, seperti partai nasionalis atau menggunakan sistem ekonomi bank umum daripada bank syariah.

"Nah, dari titik keagamaan, religiusitas meningkat. Tapi dalam perilaku politik dan ekonomi tidak terpengaruh,” ujarnya.

PARTAI UMMAT MENDAFTAR UNTUK PEMILU 2024

Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi (tengah) menyampaikan sambutan saat penyerahan berkas pendaftaran sebagai partai politik calon peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (12/8/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

Saidiman mengatakan, ada sejumlah faktor yang membuat pilihan-pilihan publik saat ini bergeser.

Pertama, situasi saat ini adalah imbas dari era Orde Baru yang berusaha menggeser pengaruh partai agamis.

Selain itu, juga faktor dari tokoh-tokoh Islam seperti Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, hingga Amien Rais kala itu yang menolak konsep politik agama. Pandangan-pandangan mereka memicu generasi berikutnya untuk memisahkan antara politik dan keagamaan.

Saidiman menilai, PKB dan PAN tidak masuk kategori partai Islam. Alasannya, pendekatan mereka bukan pendekatan islami. Ia mengingatkan, tokoh pendiri PKB seperti Abdurrahman Wahid, dan PAN lewat Amien Rais serta tokoh pendiri PAN lainnya tidak mendukung semangat politik Islam.

Ia kemudian menyebut PKS sebagai partai yang berhasil menggeser paradigma dari partai agamis ke partai nasionalis-agamis. Menurutnya, raihan suara PKS (semula bernama Partai Keadilan aatau PK) di awal berdiri terseok-seok, dan perlahan membesar setelah menggeser paradigma.

Menurut Saidiman, apa yang dilakukan PKS harus diikuti partai agamis lain jika ingin bertahan dan bahkan menang dalam setiap palagan pemilu. Ia menilai, partai yang terlalu agamis tidak disukai publik di masa depan.

"Kalau mereka (partai agamis) masih eksis (tidak melakukan perubahan), tidak akan punya masa depan. Masyarakat kita itu tidak suka yang ekstrem, pengennya agak tengah. Itu yang terjadi. Makanya partai seperti Ummat yang ekstrem politik identitas, mengakui politik identitas, tidak disukai publik," ungkapnya.

Sejalan dengan Saidiman, analis politik Islam PRP-BRIN, Wasisto Raharjo Jati, menilai partai seperti PAN, PKB dan PKS melakukan transformasi kepartaian demi memperoleh suara lebih besar.

Menurutnya, PAN bertransformasi dari partai religius ke partai terbuka. Sementara PKS dan PKB me-rebranding asosiasi partai dalam masalah keagamaan lewat ekspresi kesalehan pemilih muslim.

Di sisi lain, Wasisto menilai bahwa salah satu faktor partai nasionalis lebih disukai masyarakat karena mereka selalu unggul dalam perolehan suara.

"Hal inilah (keunggulan raihan suara) yang mendorong preferensi pemilih tetap di partai nasionalis. Selain itu, juga karena karakter partai nasionalis yang lebih pluralis dan terbuka daripada partai agamis yang mungkin lebih tersegmentasi," kata Wasisto, Jumat (22/3/2024).

Wasisto mengatakan, potensi suara pemilih saat ini banyak yang mengikuti suara partai yang memiliki basis massa pemilih besar. Di sisi lain, publik juga masih menggunakan faktor agama sebagai pertimbangan memilih, tetapi tidak dominan.

"Agama itu tetap menjadi pertimbangan politik, namun itu lebih mengarah ke kandidat [presiden] daripada partai," katanya.

Wasisto juga menyebut bahwa suara partai bernuansa Islam berpotensi turun di masa depan karena minim figur. Menurutnya, kiwari banyak pemuka agama Islam yang berpengaruh seperti ustaz, ulama, tuan guru, maupun kiai yang memiliki massa luas, namun memilih tak terjun di partai politik.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher & Irfan Teguh Pribadi

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher & Irfan Teguh Pribadi
Editor: Irfan Teguh Pribadi