tirto.id -
SLAPP sendiri merupakan upaya kriminalisasi atas seseorang yang memperjuangkan kepentingan publik atas lingkungan. Dugaan kriminalisasi yang menjerat Daniel Frits Maurits Tangkilisan, menjadi salah satu penerapan SLAPP yang mengincar aktivis pejuang lingkungan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Daniel dengan pidana penjara selama sepuluh bulan dan denda sebesar Rp. 5.000.000 subsider 1 bulan kurungan. Hal tersebut dibacakan dalam agenda sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jepara, Selasa (19/3/2024).
Daniel dinyatakan memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Daniel merupakan aktivis lingkungan yang getol menyuarakan kerusakan lingkungan di Kepulauan Karimunjawa. Dia merupakan anggota Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali). Pada 2022, postingan Daniel di media sosial Facebook terkait limbah tambak udang ilegal yang mencemari pesisir Karimunjawa memancing komentar positif dan negatif warganet.
Daniel membalas salah satu komentar postingan dengan kalimat, “Masyarakat otak udang menikmati udang gratis sambil dimakan petambak. Intine sih masyarakat otak udang itu sama kayak ternak udang itu sendiri...”.
Komentar Daniel tersebut dilaporkan warga berinisial R ke Polres Jepara. Polisi menjerat Daniel sebagai tersangka dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 28 ayat 2 jo pasal 45a ayat 2 pada Desember 2023.
Hukum di Indonesia Rentan untuk Pejuang Lingkungan dan HAM
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menyayangkan kasus Daniel terus bergulir di persidangan. Padahal, ada instrumen hukum yang melindungi pejuang lingkungan seperti Daniel.
Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang memastikan pejuang lingkungan tidak dapat dikriminalisasi baik gugatan perdata atau pidana. Bergulirnya terus perkara Daniel hingga ke peradilan membuktikan aparat penegak hukum masih belum menjalani prinsip Anti-SLAPP yang sudah ada saat ini.
“Aktor yang menjalankan hukum itu tidak memiliki pemahaman mungkin dalam konteks substansi hukumnya. Dan kedua, sebenarnya dia tidak punya keberpihakan juga terhadap perlindungan pembela lingkungan,” kata Ulil kepada Tirto, Jumat (22/3/2024).
Selain Pasal 66 UU PPLH, Indonesia juga memiliki Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 dan Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022. Dua aturan ini semestinya memberikan pedoman bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan prinsip anti-SLAPP dalam kasus kriminalisasi pejuang lingkungan.
“Di level Majelis Hakim, tidak dijalankan oleh si Hakim sehingga persidangannya [Daniel] terus berlanjut. Di level kepolisian juga itu tidak banyak polisi kita yang punya perspektif yang memahami bahwa seorang pejuang lingkungan itu punya hak imunitas,” jelas Uli.
Uli menuturkan, budaya hukum di Indonesia memang rentan bagi pejuang lingkungan dan HAM. Hukum masih dipakai untuk mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang justru melakukan pelanggaran.
“Maka sampai kapan pun sebenarnya para pejuang lingkungan itu dia selalu berada pada titik rentan. Mengalami kriminalisasi, mengalami ancaman, intimidasi bahkan mungkin harus kehilangan nyawa,” tutur Uli.
Penguatan Anti-SLAPP
Koalisi Nasional Save Karimunjawa yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil menilai tuntutan JPU kepada Daniel mengada-ngada. Salah satu anggota koalisi, Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menyebut, JPU tidak dapat membuktikan adanya unsur mengajak, mempengaruhi, menggerakkan, maupun mengadu domba yang dilakukan oleh Daniel.
Dia menilai, JPU secara nyata telah mengabaikan pedoman SKB soal pedoman implementasi UU ITE. Padahal, unsur-unsur tersebut harus terpenuhi berdasarkan SKB Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, serta Kepala Kepolisian Republik Indonesia itu.
“Yang dilakukan Daniel itu bukan upaya untuk menghasut ataupun bukan upaya untuk mengujarkan kebencian untuk membuat seseorang atau sebagian kelompok jadi celaka, tapi itu adalah bagian dari ekspresi yang sah yang seharusnya dilindungi,” kata Nenden.
Jaksa dilihat gagal memahami bahwa upaya perjuangan terhadap lingkungan hidup tidak hanya di ranah litigasi, melainkan bisa dalam bentuk-bentuk lain seperti, penyampaian pendapat di muka umum, mimbar bebas dan bentuk lainnya. Hal tersebut secara tegas diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2023 dan Pedoman Kejaksaan Nomor 8 Tahun 2022.
“Adapun semangat pasal 28 ayat 2 [UU ITE] adalah untuk melindungi kelompok minoritas dari upaya hasutan kebencian dan juga upaya dorongan untuk melukai kelompok tertentu, dan bukan untuk digunakan pada kasus-kasus seperti yang dialami Daniel atau teman-teman di Karimunjawa,” tambah Nenden.
Aparat Belum Punya Komitmen
Dihubungi terpisah, Wakil Koordinator Bidang Eksternal Kontras, Andi Muhammad Rezaldy, menilai agar norma Anti-SLAPP berjalan efektif, perlu ada pendekatan yang komprehensif. Di antaranya melakukan internalisasi isu hak asasi manusia dan eksistensi kerja-kerja Pembela HAM kepada aparat penegak hukum.
“Hingga akuntabilitas hukum atau penghukuman bagi aparat tidak terkecuali atasannya apabila mengabaikan Pasal anti-SLAPP ketika menjalankan tugasnya,” kata Andi kepada Tirto.
Berkaca dari kasus Daniel terbukti peraturan soal Anti-SLAPP masih diabaikan. Hal ini menunjukan aparat penegak hukum belum memiliki komitmen yang serius dalam pemajuan dan perlindungan pejuang lingkungan dan HAM.
“Aparat justru menjadi bagian sebagai aktor pembungkaman kerja-kerja Pembela HAM. Dalam pemantauan yang kami lakukan misalnya antara periode Desember 2022-November 2023 terdapat 25 peristiwa kriminalisasi,” jelas Andi.
Sementara itu, Pakar hukum lingkungan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), I Gusti Agung Made Wardhana, menilai ada faktor institusional yang menyebabkan prinsip Anti-SLAPP belum maksimal diterapkan.
Saat ini, aturan atau pedoman dalam penanganan perkara SLAPP hanya ada di level Kejaksaan dan Mahkamah Agung. Pihak kepolisian yang menjadi ujung tombak menerima laporan belum memiliki aturan belum memiliki pedoman perkara SLAPP.
“Ketiadaan aturan di tingkat kepolisian ini membuat perkara tersebut dilimpahkan ke kejaksaan dan kemudian pengadilan layaknya perkara biasa,” kata Agung.
Meskipun di level Kejaksaan dan MA ada pedoman Anti-SLAPP, belum tentu para jaksa dan hakim memahami pedoman ini. Bisa saja, masih ada yang belum memahami penanganan di bidang hukum lingkungan.
Lebih lanjut, dia menuturkan, ada faktor struktural yaitu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kerap mengorbankan lingkungan. Hal ini, membuat masyarakat yang terdampak ruang hidupnya berada di posisi rentan saat memperjuangkan hak-hak atas lingkungannya.
“Dalam banyak perkara yang berkaitan dengan pembangunan untuk kepentingan umum, seringkali aparat penegak hukum [Jaksa dan Hakim] memiliki cara pandang yang sama seperti pemerintah,” jelas Agung.
Agung menjelaskan, hingga saat ini persentase yang memenangkan pejuang lingkungan dalam perkara SLAPP masih sangat kecil. Kemenangan itu pun banyak karena adanya faktor tekanan publik dan pihak yang dilawan tidak terlalu strategis menyokong status quo. Kasus SLAPP atau kriminalisasi pejuang lingkungan akan terus berulang sepanjang model pembangunan masih sama.
“Aturan Anti-SLAPP tetap menjadi macan ompong apabila ia tidak dimobilisasi masif dan efektif oleh publik untuk menekan aparat penegak hukum sehingga menjadi pertimbangan dalam membuat putusan perkara,” ungkap Agung.
Juru bicara Mahkamah Agung (MA), Suharto, menuturkan, komitmen peradilan dalam perkara SLAPP sudah tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023. Aturan ini menyempurnakan SK KMA Nomor 36/KMA/SK/II/2013 yang secara substansi sudah memerlukan penyesuaian dengan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup.
Dia mengklaim karena sudah ada pedoman, maka aparat penegak hukum akan mengikuti PERMA yang sudah berlaku tersebut.
“Perma Nomor 1/2023 mengatur secara lebih detail tentang Anti-SLAPP. Karena sudah diatur di PERMA maka berlaku dan dipedomani oleh aparat penegak hukum yang ada,” kata Suharto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Intan Umbari Prihatin