tirto.id - Sinar kuning merkuri membasuh Cikini pada suatu sore yang cerah. Jajaran penjual takjil dan kudapan mulai menata posisi dagangan mereka. Aroma gorengan dan bunyi wajan mendesis didih, berpadu suara bising jalanan metropolitan.
Masih sekitar tiga jam lagi menuju azan magrib. Waktu berbuka puasa bagi umat Islam di bulan suci Ramadhan. Namun di kawasan Pasar Kembang, tepat di seberang stasiun Cikini, pedagang takjil sudah sibuk melayani pembeli.
Area yang masuk di wilayah Jakarta Pusat itu sudah berdiri sejak 1962. Tak hanya diisi penjual bunga seperti namanya, area Pasar Kembang juga merupakan destinasi kuliner yang pamor. Apalagi di bulan Ramadhan seperti saat ini, para pemburu takjil memadati area ini jelang waktu berbuka puasa.
Meski waktu berbuka masih lumayan lama, Aldo (32), sudah menjinjing aneka kue basah tradisional. Saat ditemui di Pasar Kembang, Rabu (20/3/2024) sore, pria yang bekerja di salah satu bank swasta itu tengah antre membeli siomai.
“Sorry ya enggak puasa, malah borong jajanan. Maklum ya, [saya] belum makan siang juga, anggap aja puasa setengah hari,” kata Aldo sambil bergurau.
Warga Jakarta Barat ini memang getol berburu takjil sejak bulan Ramadhan datang. Meski tidak berpuasa, Aldo suka menemani teman-temannya yang muslim untuk jajan kudapan bersama. Terkadang, kata Aldo, justru ia tak segan berburu takjil sendiri jika teman-teman sekantornya yang muslim tengah lesu menunggu waktu berbuka puasa.
“Ya memang begitu, misal kalau orang kantor yang puasa setengah empat [sore] masih lemas dan mager keluar, saya keluar jajan sendiri. Palingan pada nitip nanti,” tutur Aldo.
Bagi Aldo, suasana Ramadhan terasa ramai dan menyenangkan. Sebab, kemeriahan ada di sudut-sudut kota, termasuk maraknya pedagang takjil dan festival Ramadhan. Dia sangat menanti jajanan bubur sumsum dan es buah yang cukup khas hadir di bulan Ramadhan.
“Senang aja gitu karena jajanan banyak, kayak malam juga masih ramai. Nah kalau saya sih yang penting es buah jadi murah, bayangin aja kadang hari biasa Rp12 ribu ya, nah kalo puasa kan jadi gocengan dia,” kata dia sambil tertawa.
Fenomena umat lintas agama berburu takjil di bulan Ramadhan memang sedang ramai jadi buah bibir di media sosial. Warganet menyebut fenomena ini sebagai “war takjil.” Tentu bukan peperangan dalam arti hadirnya kekerasan. Ungkapan ini justru menggambarkan keseruan warga lintas agama yang turut berburu takjil di pasar meski tidak ikut berpuasa.
Misalnya, viral potongan video seorang pendeta yang tengah berkhotbah soal bersaing berburu takjil dengan teman-teman muslim. Sambil bercanda dan disambut gelak tawa, pendeta yang diketahui bernama Steve Marcel ini menyatakan bahwa agama mereka memang toleran, namun urusan berburu takjil mereka maju duluan.
“Jam tiga (sore) mereka masih lemes, kita sudah stand by [membeli takjil],” kata dia dalam potongan video yang viral di medsos.
Tak hanya itu, di media sosial X (dulu Twitter) juga muncul berbagai utas berisi kumpulan video berburu takjil yang dilakukan oleh warga lintas agama. Meski tidak ikut ibadah puasa, aksi bersemangat umat agama lain saat membeli takjil di pasar menambah suasana keceriaan dan kerukunan lintas agama di bulan Ramadhan.
Salah satunya utas yang dibuat oleh pengguna X bernama @FashionReco. Dia membuat utas berisi video-video keseruan ‘war takjil’ yang diberi judul ‘Berburu takjil, persaingan lintas agama — a thread —‘. Utas yang diposting pada 14 Maret 2024 lalu itu sudah dilihat 1,4 juta kali oleh warganet dan disukai 11 ribu pengguna X.
Pelajaran Toleransi
Vinnie (26) mengaku senang dengan adanya fenomena ‘war takjil’ yang tengah viral di media sosial. Warga asal Tebet, Jakarta Selatan itu, jadi tidak perlu malu-malu lagi kalau harus membeli takjil meski belum dekat waktu berbuka puasa. Pasalnya, Vinnie terkadang tak enak hati jika harus jajan duluan saat teman-teman kantornya yang muslim berpuasa.
“Sekarang sih ya santai-santai lah mau jam 3 [sore] kek, mau jam 2 [siang] kek, malah bercanda-bercandaan temanku, kayak ‘woy jangan dihabisin dong takjil buat gue nanti’,” tutur Vinnie sambil tertawa.
Sebetulnya, kata dia, sebelum ada fenomena ‘war takjil’ pun teman-teman Vinnie tidak masalah jika dia jajan siang bolong atau makan di kantor. Namun, dengan makin ramainya warga lintas agama saling berburu takjil, dia merasa jadi semakin plong. Sebab, Vinnie senang membeli kudapan khas Ramadhan, dan menyukai beberapa jenis takjil yang hanya mudah dijumpai di bulan suci umat muslim ini.
“Misalnya kayak lontong, es buah, terus kue-kue subuh, itu kan ya kadang hari biasa dicari susah. Nah sekarang malah ada di mana-mana, masa enggak gue sikat,” ucap Vinnie.
Di sisi lain, berburu takjil dengan teman-teman lintas agama merupakan momen yang disebut Vinnie tak bisa dibeli. Menurut dia, mencari takjil bersama teman-temannya yang berpuasa, justru praktik toleransi yang sudah beranjak jauh dari sekadar teori. Di momen itu, kata dia, sekat-sekat perbedaan runtuh dan bahkan bisa menjadi bahan guyonan.
Vinnie bercerita, momen Ramadhan juga membawa berkah baik bagi umat Islam atau umat lintas agama lainnya. Dia memberi contoh, salah satu rekan kerja di kantor memanfaatkan momen Ramadhan untuk berjualan dimsum dan roti isi. Dagangan teman kantor Vinnie ini disebut cukup laku dibeli rekan lain yang menjalani ibadah puasa.
“Orangnya sendiri enggak puasa karena nonmuslim, tapi ya ada gitu [berkahnya]. Kalau buat pedagang takjil juga kan ini ibarat panen duit,” kata dia.
Pelaksana riset dan advokasi Kebijakan dari Wahid Foundation, Libasut Taqwa, menilai fenonema ‘war takjil’ sebetulnya tidak terjadi tiba-tiba. Fenomena ini buah dari aktivitas lintas iman yang sudah terjalin lebih dulu untuk menjalin kerukunan umat beragama.
“Seperti doa lintas agama, halal bihalal, dialog antaragama, bisa dikatakan prekuel dari fenomena war takjil yang sedang viral,” kata Libas, sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto.
Libas memandang, ini juga menandakan kehidupan anak muda saat ini yang sudah tidak terjebak pada sekat-sekat SARA. Ramadhan akhirnya menjadi momentum memunculkan toleransi dan kerukunan lintas agama yang seharusnya bisa terus dipelihara.
“Aktivitas antariman perlu disokong semua kalangan tanpa rasa curiga, semata-mata untuk memupuk keguyuban,” tutur Libas.
Di berbagai daerah, semangat merayakan toleransi di Ramadhan ini juga ditandai dengan maraknya warga nonmuslim yang ikut melakukan aktivitas bagi-bagi takjil gratis. Misalnya, bagi-bagi takjil gratis yang rutin dilakukan oleh Wihara Dharma Sakti di Petak Sembilan, Jakarta. Hal serupa juga dilakukan oleh Anggota Orang Muda Katolik (OMK) Gereja Katolik Santo Paulus Miki di Salatiga, Jawa Tengah.
Sementara itu, Direktur Program Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholish, memandang Ramadhan sebagai bulan pembelajaran bagi praktik toleransi warga lintas agama yang sesungguhnya. Maka, seharusnya toleransi di Ramadhan bisa terbawa dan diterapkan di bulan-bulan lainnya.
“Dengan begitu puasa kita tak sia-sia. Bermakna, karena kita mendapatkan sesuatu yang berharga bagi kebhinekaan kita yakni toleransi, kerukunan dan perdamaian,” tutur dia kepada reporter Tirto, Rabu (20/3/2024).
Nurcholish menilai, fenomena ‘war takjil’ merupakan bentuk kedekatan umat Islam dan nonmuslim yang membuat praktik beragama menjadi menyenangkan satu sama lain. Dia memandang ini sebagai bentuk humor religius yang mesti dirawat, sehingga berdampak pada relasi harmoni antarumat beragama di Indonesia.
Barangkali, praktik toleransi dan rekonsiliasi antarumat beragama tidak selalu berawal dari teori dan retorika semata. Pada mulanya bisa jadi sesederhana kudapan lezat – takjil aneka rupa – buka puasa bersama.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz