Menuju konten utama

Di Balik Rendahnya Kepatuhan Wajib Pajak Lapor SPT Tahunan

Fajry Akbar melihat ada beberapa hal menyebabkan masyarakat enggan melaporkan SPT meski sudah ada sanksi.

Di Balik Rendahnya Kepatuhan Wajib Pajak Lapor SPT Tahunan
Wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan secara online menggunakan gawai di Tangerang Selatan, Banten.

tirto.id - Tingkat kepatuhan wajib pajak dalam penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak di Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini tercermin dari data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dalam lima tahun terakhir yang tidak pernah mencapai 100 persen.

Pada 2023, misalnya dari total 19,4 juta wajib pajak yang berkewajiban melapor SPT, hanya 17,1 juta orang telah menunaikan kewajibannya. Rasio kepatuhan wajib pajak dalam penyampaian SPT pada tahun lalu hanya mencapai 88 persen saja.

Secara tren, memang rasio penyampaian SPT 2023 menjadi tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2022, rasio kepatuhan formal wajib pajak dalam pelaporan SPT hanya 86,8 persen. Sementara pada 2021, rasio pelaporannya mencapai 84,07 persen. Kemudian di 2020 dan 2019 masing-masing tercatat 77,63 persen dan 73,06 persen.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, rendahnya rasio kepatuhan wajib pajak dalam penyampaian SPT, tidak lepas akibat sistem perpajakan yang diterapkan pemerintah saat ini, yaitu sistem self assessment.

Self assessment adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya. Ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

“Karena sistem pembayaran pajak dan pelaporan pajak di Indonesia sifatnya self assessment. Maka, banyak faktor yang mempengaruhi kepatuhan," kata Yusuf kepada Tirto, Jumat (22/3/2024).

Dalam penerapannya, sistem self assessment diakui memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari sistem ini adalah pemungutan pajak akan berjalan lebih efektif karena wajib pajak melakukan penghitungan pajak secara mandiri.

Akan tetapi, di balik kelebihan tentu ada kekurangannya. Bagi wajib pajak yang tidak memiliki pengetahuan tentang perpajakan, tentu akan sulit baginya dalam melakukan serangkaian prosedur penghitungan, penyetoran, hingga pelaporan pajak. Dalam hal ini, wajib pajak mungkin akan kesulitan dan bisa saja keliru dalam menghitung besaran pajak yang harus ditanggungnya.

Alasan Wajib Pajak Males Laporkan SPT

Lebih lanjut, Yusuf menyampaikan, ada banyak faktor dan cukup beragam alasannya kenapa kemudian tingkat kepatuhan itu tidak bisa 100 persen. Pertama, ada wajib pajak memang sengaja tidak bayar pajak, sehingga tidak melaporkan SPT-nya.

Kedua, ada wajib pajak yang menghindari bayar pajak sebagaimana semestinya. Misalnya mereka memanipulasi data sehingga yang dibayarkan jadi kurang.

Ketiga, ada juga wajib pajak yang membayar atau enggan melaporkan karena prosedur yang berbelit dan tidak mudah dipahami. Terutama bagi mereka yang tidak paham masalah perpajakan.

“Sehingga dengan begitu ini jadi bikin malas. Bukan berarti sengaja untuk tidak melakukan, tapi karena kurang user friendly istilah begitu jadi malas,” jelas dia.

Oleh karena itu, menurut Yusuf, perlu dilakukan pemerintah bukan hanya mengejar mereka yang tidak bayar pajak atau tidak menyampaikan SPT. Tapi bagaimana memberikan kemudahan dan berinovasi dalam memberikan pelayanan lebih mudah dan gampang dimengerti.

“Dan tidak bikin ribet, subjek pajak itu penting. Dalam banyak hal itu dilakukan di negara negara lain. Seperti di Afrika Selatan, di Kenya juga begitu. Nah, ini yang perlu terus dicari inovasinya seperti ini," kata dia.

Di sisi lain, lanjut dia, edukasi kemasyarakatan perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran. Pemerintah juga harus aktif memberikan pemahaman tentang panduan menyampaikan SPT.

“Ini terus harus dilakukan. Ini sesuatu yang rutin dan esensial setiap tahun yang dijalankan dan bagian daripada upaya untuk mendorong penerimaan negara juga, apalagi saat sekarang penerimaan negara lagi didesak lebih tinggi karena ada tambahan belanja di bawah pemerintahan baru ini,” kata dia.

Sanksi Bagi WP yang Tak Patuh

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Dwi Astuti, tidak pernah berhenti mengingatkan wajib pajak untuk menyampaikan SPT. Sebab, jika abai ada sanksi harus ditanggung wajib pajak.

DJP mencatat setidaknya masih terdapat sekitar 10,56 juta SPT tahunan yang belum disampaikan hingga 18 Maret 2023. Ini terdiri dari 8,76 juta orang pribadi dan 1,8 juta badan. Adapun baru 8,71 juta wajib pajak sudah melaporkan SPT-nya.

“Perlu kami ingatkan kembali bahwa batas waktu pelaporan SPT tahunan PPh 2023 agar tidak dikenakan sanksi keterlambatan adalah 31 Maret 2024 bagi wajib pajak orang pribadi," ucap Dwi dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (22/3/2024).

Masyarakat bisa melaporkan SPT tahunan 2024 pribadi mulai awal Januari hingga tiga bulan setelahnya, yakni Maret. Sedangkan untuk SPT wajib pajak badan paling lambat maksimal 30 April 2024. Sebab itu, DJP mengimbau agar wajib pajak untuk segera menyelesaikan pelaporan tersebut.

Jumlah pelaporan SPT pajak meningkat

Petugas melayani wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga di Jakarta, Selasa (5/3/2024). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga 28 Februari 2024 atau satu bulan menjelang batas akhir pelaporan yang jatuh pada 31 Maret 2024, sebanyak 5,41 juta Wajib Pajak (WP) sudah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Angka tersebut tumbuh 1,63 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya atau secara year-on-year (yoy). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Spt.

“Untuk itu, kami mengimbau kepada para wajib pajak untuk segera melaporkan SPT tahunannya. Lapor SPT hari ini, lebih awal lebih nyaman," ujar Dwi.

Mengacu pada Pasal 7 KUHP, masyarakat yang tidak melaporkan SPT tahunan dapat dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp100 ribu bagi setiap wajib pajak. Sedangkan bagi wajib pajak badan jika tidak melaporkan SPT Tahunan bisa dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp1 juta.

Akan tetapi, sanksi tersebut bisa saja digugurkan jika wajib pajak pribadi atau badan tercatat sudah meninggal dunia, tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, berpindah negara, bentuk usahanya bukan di wilayah Indonesia, dan lainnya sesuai ketentuan yang berlaku.

Selain administratif, DJP juga memberikan sanksi pidana. Hukum atau sanksi pidana ini merupakan tindakan terakhir yang dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan SPT tahunan.

Aturan ini ada dalam Pasal 39 UU KUP yang menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja atau tidak sengaja menyampaikan SPT, atau melaporkan SPT tetapi keterangan dan isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga bisa menimbulkan kerugian pada pendapatan negara akan dikenakan hukuman pidana.

Hukuman pidana ini berupa kurungan penjara paling singkat selama 6 bulan dan paling lama 6 tahun. Sedangkan untuk denda yang harus dibayar dalam hukum pidana ini paling sedikit 2 kali lipat dari jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar. Kemudian denda paling banyak yang harus dibayar adalah 4 kali lipat dari jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Mengapa Masih Ada yang Tidak Lapor SPT Meski Sudah Ada Sanksi?

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, melihat ada beberapa hal menyebabkan masyarakat enggan melaporkan SPT meski sudah ada sanksi. Pertama, mereka yang seharusnya tidak perlu lapor SPT lagi namun tidak mengajukan statusnya menjadi NE (non efektif).

Contohnya bagi wajib pajak orang pribadi. Misalkan orang pribadi memiliki pekerjaan lepas namun tak lagi melakukan pekerjaan bebas atau tinggal di luar negeri dalam 183 hari atau punya penghasilan di bawah PTKP.

"Contoh untuk wajib pajak badan misalkan ketika sudah tidak lagi beroperasi. Harusnya mengajukan status NE dahulu agar tidak wajib lapor SPT," kata dia.

Kedua, bisa saja tidak melaporkan karena kesulitan secara teknis. Terutama masyarakat umum yang tidak familiar dengan perpajakan. "Ini pentingnya pendidikan pajak sedari dini," kata dia.

Ketiga, lanjut Fajry, tidak menutup kemungkinan juga mereka kecewa dengan penggunaan uang pajak oleh pemerintah berkuasa. Menariknya saat pandemi tingkat kepatuhan pajak meningkat, bisa jadi karena masyarakat menikmati bantuan dari pemerintah.

Keempat, masih terkait dengan nomor tiga, di negara lain WP melaporkan SPT akan mendapatkan bantuan/manfaat langsung. Di Amerika Serikat misalnya ada bantuan bernama EITC (earned income tax credit) atau di UK ada Working Tax Credit.

Terlepas dari rendahnya tingkat kepatuhan, kata Fajry, mungkin hanya satu atau dua negara yang tingkat kepatuhannya Wajib Pajak badan dan Orang Pribadi (OP) yang mencapai 100 persen. Selebihnya tidak ada.

Sebenarnya jika dilihat kalau untuk orang pribadi karyawan kepatuhannya sudah baik sekali. Pada 2022 tingkat kepatuhan WP OP Karyawan sebesar 93,71 persen (2022). Dan itu sudah di atas rata-rata negara lain.

Sedangkan untuk PPh Badan memang diakui masih menjadi pekerjaan rumah. Di mana tingkat kepatuhannya masih 67,15 persen. Angka ini di bawah rata-rata tingkat kepatuhan WP badan di berbagai negara yakni 78,5 persen.

“Meski demikian perlu kita apresiasi tingkat kepatuhan WP Badan yang terus meningkat. Dari 58,86 persen menjadi 67,15 persen, dengan tren yang ada, mudah-mudahan lima tahun kemudian sudah bisa sesuai rata-rata negara lain,” jelas dia.

Begitu juga dengan WP OP non-karyawan juga masih pekerjaan rumah bahkan trennya menurun. Dari 74 persen di 2018 menjadi 69,11 persen pada 2022.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz