tirto.id - Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan, mendesak adanya struktur pajak progresif dengan tarif bervariasi berdasarkan kelompok kekayaan bersih. Hal ini untuk memastikan kontribusi yang adil dari individu terkaya terhadap layanan publik dan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Hal tersebut ia sampaikan pada pertemuan khusus United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) tentang “International Cooperation in Tax Matters” di Markas Besar PBB di New York. Undangan tersebut datang dari Presiden ECOSOC, Paula Narváez Ojeda.
“Memanfaatkan pajak kekayaan penting untuk membiayai inisiatif pembangunan, terutama dalam menghadapi peningkatan defisit fiskal,” kata Maftuchan dalam rilis yang diterima Tirto, Selasa (19/3/2023).
Maftuchan yang hadir bersama panelis lain di antaranya Lorenzo Uribe Bardon, Penasihat Khusus Menteri Keuangan dan Kredit Publik Kolombia, Shafik Hebous, Wakil Kepala Departemen Urusan Fiskal IMF, dan Belema Obuoforibo, Direktur dari Pusat Pengetahuan dan Anggota Dewan Eksekutif International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD), menekankan pentingnya penerapan pajak kekayaan di seluruh dunia.
Pada pertemuan yang dihadiri oleh negara-negara anggota PBB tersebut, Maftuchan menguraikan kebutuhan mendesak akan pajak kekayaan global untuk mengatasi kesenjangan dan membiayai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Ia juga menyoroti kebutuhan mendesak untuk mengatasi konsentrasi kekayaan dan dampak sosial-ekonomi yang merugikan masyarakat. Ia menekankan peran pajak kekayaan dalam mendorong perekonomian yang adil dan inklusif dengan mengurangi kesenjangan dan mendorong akses yang adil terhadap sumber daya.
Lebih lanjut, Maftuchan mendesak adanya struktur pajak progresif dengan tarif bervariasi berdasarkan kelompok kekayaan bersih untuk memastikan kontribusi yang adil dari individu terkaya terhadap layanan publik dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Ia juga menyerukan kerja sama internasional dalam penerapan pajak kekayaan untuk mengatasi resistensi dan mengurangi kekhawatiran terkait penghindaran dan pengemplangan pajak.
Maftuchan menjelaskan bagaimana para penentang pajak kekayaan kerap menggunakan argumen mengenai potensi pelarian modal, disinsentif terhadap perilaku investasi, dan peningkatan penghindaran pajak.
“Permasalahan ini lebih banyak terjadi di negara-negara surga pajak dibandingkan di negara-negara yang menerapkan pajak kekayaan,” kata dia.
Oleh karena itu, Maftuchan menyerukan agar pajak kekayaan dimasukkan dalam Konvensi Pajak PBB untuk mengatasi tantangan tersebut.
Maftuchan mengingatkan para peserta forum mengenai konsensus global terkait pengenaan pajak atas penghasilan dan kekayaan orang-orang terkaya, sebagaimana diakui dalam Agenda Aksi Addis Ababa.
Pada kesempatan itu, Maftuchan mendesak PBB, termasuk ECOSOC, untuk mendukung negara-negara dalam membangun sistem perpajakan yang lebih adil dan progresif untuk mengurangi kesenjangan melalui pajak kekayaan.
Di akhir pidato, Maftuchan mengusulkan agar ECOSOC memfasilitasi pusat pembelajaran di antara negara-negara anggota untuk berbagi pengalaman dalam merancang pajak kekayaan dengan lebih efektif. Hal ini mencakup basis pajak yang lebih luas, langkah-langkah untuk mengurangi biaya penilaian dan risiko likuiditas, serta ketentuan untuk memperpanjang tenggat waktu perpajakan.
Selain itu, mengadvokasi standar transparansi pajak berdasarkan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Kerja Sama Pajak Internasional atau UN Framework Convention on International Tax Cooperation (FCITC) sangat penting dalam meningkatkan kemampuan negara untuk memungut pajak atas pendapatan modal dan aset.
Ia juga menekankan soal kolaborasi antara organisasi masyarakat sipil, lembaga global seperti PBB, dan para pemangku kepentingan sangat dibutuhkan dalam mengadvokasi pajak kekayaan secara global, memastikan partisipasi semua pemangku kepentingan, terutama negara-negara berkembang, untuk membentuk kebijakan pajak kekayaan global.
Editor: Maya Saputri