tirto.id - Wajah orang tua berjenggot itu sumringah saat menerima sumbangan dari orang-orang Suku Dayak. Jumlahnya 5.000 gulden, terdiri dari 5 lembar uang seribuan. Jan, begitu nama depannya, terharu melihat ketulusan warga Dayak yang rela menyisihkan uang untuk membantu misi Katolik di Kalimantan. Dengan spontan dan mata berbinar, ia berucap:
“Ini lebih saya sukai daripada penampakan Kanak-Kanak Yesus!” kata Jan seperti dikutip dari buku berjudul Indonesianisasi, Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia karya Huub J.W.M. Boelaars (2005:389).
Pemuka Kapusin Dari Belanda
Jan Pacificus Bos adalah orang Belanda tulen. Lahir di kota bernama Uden pada 9 September 1864. Meskipun asli Eropa, Jan mendedikasikan separuh hidupnya di tanah antah-berantah bernama Borneo, salah satu pulau terluas di Nusantara yang sebagian besar wilayahnya dikuasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada perjalanan abad ke-20 itu.
Sejak muda, Jan memang sudah memilih jalan Tuhan dengan mengabdikan diri untuk gereja. Pada usia 23 tahun, ia dengan mantap masuk sebagai anggota Ordo Kapusin, salah satu ordo bermahzab Fransiskan (pengikut Santo Fransiskus dari Assisi) dalam otoritas Katolik. Ordo ini bernama resmi The Order of Friars Minor Capuchin atau singkatnya The Capuchin Order.
Dalam Ensiklopedi Gereja yang disusun oleh Adolf Heuken (1993:17) disebutkan bahwa Ordo Kapusin yang dipilih Jan Pacificus Bos ini mulai berkembang di Eropa sejak tahun 1525 dan dimotori oleh sejumlah pengikut Fransiskus dari Italia bagian tenggara, serta sempat memantik polemik di awal-awal kemunculannya.
Sesuai namanya, Kapusin memang bukan ordo mayoritas dalam keluarga besar Katolik, pengikutnya bahkan hanya berjumlah sekitar 11.000 orang pada 2005. Namun, orang-orangnya sangat militan dan total. Mereka menghindari segala bentuk kekayaan maupun kehormatan dan memilih melayani orang-orang kecil yang kesusahan (R. Kurris, Pelangi di Bukit Barisan, 2006:202).
Dan, itulah yang memang dilakukan Jan Pacificus Bos. Melayani dan mengabdikan diri untuk orang-orang kecil, bahkan hingga ke pedalaman Kalimantan sampai akhir hayatnya.
Wakil Paus di Borneo
“Pergilah, wartakanlah pertobatan kepada semua orang,” itulah pesan Paus Innocentius III kepada Fransiskus pada 1209.
Jan Pacificus Bos berkesempatan untuk mengikuti jejak Santo Fransiskus hampir 700 abad kemudian. Pada 21 September 1889, Jan ditahbiskan menjadi imam dan sejak 1903 memimpin Provinsial Kapusin Belanda (Karel Steenbrin, Catholics in Indonesia, 1808-1942: A Documented History, 2014:556).
Dua tahun berselang, tepatnya pada 10 April 1905, ia ditunjuk sebagai Prefek Apostolik Borneo (Borneo Olandese) di Hindia Belanda (Indonesia). Jan yang masih berada di Belanda pun segera bersiap meninggalkan kampung halamannya untuk mewartakan pertobatan di suatu tempat yang tentunya sukar dibayangkan, Kalimantan.
Sebagai catatan, prefek apostolik adalah jabatan untuk memimpin prefektur apostolik. Prefektur apostolik merupakan suatu wilayah yang karena keadaan khusus belum dibentuk menjadi keuskupan. Seorang prefek apostolik memimpin prefektur apostolik yang dibawahinya atas nama Sri Paus di Vatikan. Dengan demikian, Jan Pacificus Bos adalah wakil Paus di Borneo.
Prefektur Apostolik Borneo sendiri terbentuk pada 11 Februari 1905 dan Jan adalah pemimpin pertamanya. Jan Pacificus Bos resmi menjalankan jabatan tersebut pada 30 November 1905 sejak menginjakkan kakinya di Singkawang dengan ditemani 3 orang imam dan 2 bruder yang datang bersamanya dari negeri Belanda.
Bapak Misi Kalimantan
Sulit dibayangkan bagaimana perjuangan Jan Pacificus Bos menyiarkan dakwah di Borneo saat itu. Ia adalah misionaris Katolik pertama di Kalimantan dan pastinya harus menghadapi berbagai resistensi yang sangat berpotensi terjadi, baik persinggungan dengan muslim-Melayu, juga dengan masyarakat Dayak yang sebagian besar masih menganut ajaran leluhur, dan tentu saja kondisi alam yang liar lagi menantang.
Upaya Jan di Borneo ternyata tidak sia-sia. Kurang dari 3 tahun setelah ia resmi menjabat sebagai Prefek Apostolik Borneo, didirikanlah gereja yang barangkali menjadi yang pertama di Kalimantan. Dirintis pembangunannya pada 8 Agustus 1908, gereja ini mulai digunakan sejak 9 Desember 1909, dan dinamakan Gereja Santo Yoseph.
Nantinya, gereja ini berkembang menjadi Paroki Santo Yoseph Katedral Pontianak dan merupakan paroki terbesar di Kalimantan Barat, bahkan salah satu yang paling berpengaruh di Indonesia. Selain merintis pendirian gereja, Jan Pacificus Bos juga memprakarsai berdirinya Rumah Sakit Umum Santo Antonius yang mulai dibangun sejak April 1928.
Jan memindahkan pusat pusat geraknya ke Pontianak dari Singkawang karena sejumlah pertimbangan, salah satunya kemudahan akses. Meskipun begitu, Jan bersama para misionaris lainnya sempat menetap di Singkawang untuk melayani para penderita penyakit kusta. Saat itu, Singkawang dijadikan sebagai tempat pengasingan bagi penderita kusta (Sejarah Gereja Katolik Indonesia,1974:324).
Tanggal 13 Maret 1918, status Prefek Apostolik Borneo ditingkatkan menjadi vikariat apostolik, dan jabatan Jan Pacificus Bos pun beralih jadi Vikaris Apostolik Borneo. Jan ditahbiskan menjadi uskup pada 17 November 1918. Namun, Vikaris Apostolik Borneo baru berstatus Keuskupan Agung Pontianak sejak 3 Januari 1961 dan menjadi pusat dakwah Katolik di Kalimantan Barat hingga saat ini.
Keuskupan Agung Pontianak kini menjadi salah satu keuskupan terbesar di Indonesia, bahkan memiliki katedral terbesar se-Asia Tenggara. Dan itu tidak bisa dilepaskan dari jasa serta pengabdian Jan Pacificus Bos yang rela membabat alas demi syiar Katolik di bumi Borneo sejak 1905 dengan segala risiko dan dinamika yang menyertainya.
Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada 19 Februari 1933, Jan Pacificus Bos menghabiskan sisa hidupnya dengan tetap menyebarkan kebaikan di jalan Tuhan. Akhirnya, sang Bapak Misi Kalimantan itu wafat pada 21 Maret 1937 dalam usia 75 tahun dan dikebumikan di Pontianak.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani