tirto.id - Sudah jadi pandangan umum jika di kalangan Nahdlatul Ulama(NU), K.H. Hasyim As’ari dipanggil dengan gelar “Hadratus Syaikh” (Maha Guru). Sebuah gelar istimewa yang sebenarnya bukanlah merupakan gelar sembarangan. Gelar ini tidak sama dengan gelar “kiai” yang bisa diperoleh karena kontribusi sosial di masyarakat. Gelar “Hadratus Syaikh” pada Kiai Hasyim didapat seperti halnya gelar akademik.
Dari keterangan K.H. Ahmad Muwafiq, yang biasa disapa dengan Gus Muwafiq, pada haul Gus Dur ke-4 pada 4 Oktober 2015 di Pondok Pesantren, Jombang, gelar ini disandang Kiai Hasyim saat lulus dari pendidikan ilmu hadis di Mekah. Bahkan Kiai Hasyim merupakan satu-satunya ulama dari Asia pada era itu yang menyandang gelar “Hadratus Syaikh”.
Saat itu, gelar “Al-Faqih” dipersembahkan untuk orang yang hapal 2.000 hadis soheh (benar), gelar “Assyaikh” hapal semua hadis dari riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, sedangkan gelar “Hadratus Syaikh” adalah gelar untuk penghapal “Kutubus Sittah”: Hapal hadis dari Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah.
Hal itulah yang membuat Kiai Muhammad Kholil Bangkalan, kiai legendaris yang merupakan guru dari banyak ulama, seperti Kiai Ma’shum Lasem (ayah dari Kiai Ali Maksum Krapyak), Kiai Wahab Chasbullah Jombang, Kiai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, Kiai Bisri Syansuri Jombang, Kiai Munawwir Krapyak, dan termasuk juga Kiai Hasyim Asy’ari, mendatangi mantan muridnya ke Tebuireng, Jombang.
Tentu saja kunjungan ini mengejutkan Kiai Hasyim Asy’ari. Dalam tradisi pesantren, tidak ada istilah “mantan santri”. Sampai akhir hayat, Kiai Kholil adalah guru bagi Kiai Hasyim. Untuk itulah segala hal dipersiapkan di Pondok Pesantren Tebuireng untuk menyambut tamu istimewa ini. Masalahnya, Kiai Kholil tidak sekadar berkunjung, melainkan ingin belajar kepada Kiai Hasyim yang memang sudah dikenal reputasinya sebagai ahli hadis—tidak hanya di Nusantara—melainkan juga di Asia.
Begitu Kiai Kholil datang ke Tebuireng, beberapa santri segera diperintah Kiai Hasyim untuk mempersiapkan kamar khusus untuk Kiai Kholil. Setelah semua persiapan beres, Kiai Hasyim dengan takzim segera mendekat ke Kiai Kholil.
“Kiai, mohon istirahatnya di kamar yang sudah dipersiapkan. Tidak usah tidur seperti santri-santri yang lain. Cuciannya juga nanti biar dicucikan, jangan mencuci sendiri,” kata Kiai Hasyim.
Dengan tersenyum Kiai Kholil membalas, “Hasyim, di sini saya datang sebagai santri sebagaimana santri yang lain. Jadi janganlah kamu istimewakan dan pisahkan dengan santri-santri yang lain. Di Pesantren Bangkalan, benar memang aku ini kiai kamu, kamu santriku, tapi di sini sebaliknya, kamu sekarang kiaiku dan aku ini santrimu.”
“Tapi, Kiai…” kata Kiai Hasyim kebingungan.
Membayangkan Kiai Kholil yang merupakan gurunya sendiri akan tidur bersama para santrinya, tentu saja Kiai Hasyim tidak tega. Meskipun Kiai Kholil sudah mengeluarkan perintah jangan menganggapnya sebagai guru di Pesantren Tebuireng, tapi bagi Kiai Hasyim, mau di manapun, Kiai Kholil adalah kiainya tidak peduli tempat atau tidak peduli status pada saat keduanya bertemu kali ini.
Setelah berpikir keras, akhirnya Kiai Hasyim punya ide. Ia datangi kembali Kiai Kholil di kamarnya.
“Kiai Kholil,” kali ini Kiai Hasyim mengeluarkan suara sedikit tegas dan keras.
“Apakah benar saya dianggap Kiai sebagai guru?” tanya Kiai Hasyim.
Kiai Kholil awalnya bingung, “Iya memang benar. Kamu adalah guru saya,” balas Kiai Kholil.
“Kalau begitu saya perintahkan Kiai Kholil untuk meninggalkan kamar ini dan segera pindah ke kamar yang sudah dipersiapkan. Berikut juga dengan makanan Kiai Kholil akan diantarkan ke kamar jadi Kiai Kholil tidak perlu ikut antre bersama santri yang lain, cucian juga akan dicucikan, tidak perlu antri kamar mandi. Ini bukan permintaan seorang santri kepada kiainya, tapi perintah seorang kiai kepada santrinya,” kata Kiai Hasyim.
Mendengar itu Kiai Kholil terkejut, lalu berdiri dan menuruti perintah “guru”-nya.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS