tirto.id - Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) Nahdlatul Ulama di Bandarlampung dikenal dengan berbagai persoalan baru. Salah satunya adalah keputusan hukum dari Bahtsul Masail yang berakhir dengan “mauquf”, atau tidak ada keputusan pasti karena masalah tersebut dirasa belum ditemukan rujukannya dalam kitab kuning manapun.
Pertemuan para kiai se-Indonesia pada tahun 1992 itu dipimpin oleh Ketua Tanfidziyah PBNU, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sejak pertemuan tersebut, para kiai berangsur-angsur mulai berani untuk tidak terlalu tekstual dan kaku terhadap teks rujukan yang dipelajari selama di pesantren.
Sikap kehati-hatian ini memang dasarnya baik, hanya saja seringkali membuat banyak keputusan menggantung. Untuk itulah, bersama KH. Ma’ruf Amin, Gus Dur mencoba memberi jembatan yang bisa digunakan agar umat tidak berhenti pada keputusan yang tidak pasti dari para ulama yang terlalu hati-hati.
Di sanalah kemudian muncul rekomendasi, jika dalam sebuah kasus tidak ada penyelesaian sama sekali dalam Bahtsul Masail, maka prosedur ilhaqul masail bin nadhairiha secara jamai’i oleh para ahlinya akan dipakai sebagai jalan penyelesaian. Artinya, para kiai akan memutuskan sebuah perkara hukum yang tidak ada rujukannya secara betul-betul sama dengan beberapa literatur kitab kuning dengan cara menyamakan pendapat yang sudah ada. Dengan mencocokkan beberapa persoalan yang sama para kiai diperbolehkan menggunakan metode qiyas atau silogisme sederhana. Hanya saja, keputusan tersebut atas keputusan bulat dari beberapa kiai yang dinilai ahli dalam bidang yang sedang dibahas.
Dalam perjalanannya beberapa keputusan masih menggantung dan tidak berjalan dengan baik sampai pada Muktamar XXXI di Boyolali 2004, yakni Muktamar yang menghasilkan tata cara teknisnya. Pada 1992, KH. Cholil Bisri, kakak dari KH. Musthofa Bisri (Gus Mus), langsung mampu mempraktikkan dan menjelaskan aturan teknisnya di hadapan wartawan saat konferensi pers. Ia bahkan mempraktikkannya dengan jawaban-jawaban sederhana.
Para wartawan saat itu bertanya-tanya kepada Kiai Cholil Bisri mengenai posisi Rais ‘Aam PBNU yang masih kosong. Perlu diketahui, Rais ‘Aam sebelumnya, KH. Ahmad Shiddiq baru saja wafat pada 1991, satu tahun sebelum Munas NU di Bandarlampung itu dilangsungkan. Penggantinya, KH. Ali Yafie, mengundurkan diri setelah menjabatnya hanya satu tahun. Sedangkan calon berikutnya KH. Yusuf Hasyim, ditolak sama keponakannya sendiri, yakni Gus Dur.
Tentu saja kekosongan ini membuat banyak jamaah Nadhliyin bertanya-tanya, termasuk wartawan yang hadir. Di tengah desakan para wartawan yang menyemut dan terus ribut, Kiai Cholil ini memberi jawaban sederhana seperti yang diceritakan ulang oleh KH. Yahya Cholil Staquf dalam tulisannya Manaqib Kyai Cholil Bisri Rembang.
“Halah, gampang itu. Istikharah saja,” kata sosok pengganti KH. Bisri Musthofa di Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin ini bersama Gus Mus ini.
Isikharah yang dimaksud Kiai Cholil adalah salat istikharah. Salat sunah yang dikerjakan untuk meminta petunjuk kepada Tuhan. Mendengar jawaban tersebut, tentu saja para wartawan bingung.
“Bagaimana caranya, Kiai Cholil?” tanya salah satu wartawan.
“Pilih saja 40 orang kiai ahli riyadloh (tirakat). Beri kesempatan pada mereka untuk istikharah,” jawab Kiai Cholil.
Tambah bingung para wartawan dengan jawaban Kiai Cholil, “Cuma begitu saja, Kiai? Terus kalau sudah muncul jawaban istikharahnya?”
“Ya tinggal dicocokkan saja habis itu. Disamakan antara isyaroh (petunjuk) yang didapat masing-masing kiai itu,” jelas Kiai Cholil.
Para wartawan masih belum puas dengan jawaban itu.
“Kiai Kholil,” mendadak ada lagi wartawan yang masih penasaran, “kalau di antara 40 kiai ahli tirakat itu hasilnya beda-beda bagaimana?”
Kiai Kholil sempat tertegun mendengar pertanyaan itu. Lalu membalas pertanyaan tersebut dengan jawaban yang mantap.
“Ya hasil isyaroh-nya divoting.”
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti