tirto.id - Alissa Wahid berbicara pelan. Pada Kamis (21/12), di sebuah kafe di Menteng, Jakarta Pusat, putri kedua Abdurrahman Wahid itu sedang berbincang kepada sejumlah wartawan usai menjadi pembicara dalam diskusi peluncuran buku Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi (2017) yang ditulis Cherian George.
Tak lama kemudian, dia berpamitan. “Saya mau rapat Haul Gus Dur,” ujarnya.
Tepat sewindu lalu, Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, wafat. Ia seorang kiai yang pernah jadi presiden, sekaligus dijuluki dengan sebutan terhormat: guru bangsa Indonesia.
Gus Dur menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada 30 Desember 2009. Sehari kemudian, jenazah Gus Dur dimakamkan di komplek pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, bersebelahan dengan makam kakek dan ayahandanya.
Kata "haul" yang diucapkan Alissa merupakan istilah dalam bahasa Arab yang dapat diartikan peringatan hari meninggalnya seseorang.
“Di lingkungan Nahdlatul Ulama, haul itu biasanya peringatan meninggalnya orang yang kita hormati. Bukan hanya mengenang, tetapi ini kesempatan untuk meneladani kehidupan dan mengambil inspirasi dari tokoh tersebut,” ujar Alissa saat dihubungi Tirto pada Jumat (22/12).
Islam Politik dan Orde Baru
Selama hidupnya, baik sebagai seorang kiai maupun politisi, Gus Dur dikenal sebagai orang yang membawa pembaharuan. Namun, tindakan dan kebijakannya kerap menuai polemik. Salah satu peristiwa penting yang amat dikenang adalah Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) 1984.
Muktamar tersebut diselenggarakan pada Desember 1984 di Situbondo, Jawa Timur. Acara ini merupakan muktamar ke-37 sejak NU didirikan pada 1926 oleh K.H. Hasyim Asyari, kakek Gus Dur.
Saat Muktamar 1984 dilaksanakan, hubungan kelompok Islam politik dengan pemerintah Orde Baru sedang menegang. Ketegangan ini adalah efek lanjutan dari kebijakan fusi partai pada masa awal kekuasaan Orde Baru dan pemaksaan asas tunggal Pancasila.
Pada 1973, NU bersama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Pergerakan Tarbiyah Islam (Perti) dilebur dalam satu partai yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Lima tahun berikutnya, pada Pemilu 1977, PPP mendapat 29,2 persen suara nasional. Menurut Fachri Ali dan Iqbal Abdurrauf Saimima dalam artikel mereka di jurnal Prisma (Desember 1981), “Merosotnya Aliran Dalam Partai Persatuan Pembangunan”, jumlah ketua wilayah PPP “hampir rata-rata berasal dari unsur NU”. Organisasi Islam tradisionalis ini dinilai sebagai kelompok Islam yang solid.
Namun, menjelang Pemilu 1982, terjadi perbedaan sikap antara kiai sepuh dan kiai muda mengenai Soeharto. Kongres Gerakan Pemuda Ansor (onderbouw NU yang mengurusi pemuda) mengeluarkan keputusan yang mengejutkan: menyatakan dukungan terhadap pencalonan Seoharto sebagai presiden. Padahal, Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Kaliurang yang diselenggarakan 30 Agustus-2 September 1981 tidak melahirkan deklarasi semacam itu.
“Munas mengamanatkan kepada PBNU agar calon presiden RI hendaknya diajukan secara konstitusional di Sidang Umum MPR hasil Pemilihan Umum 1982 tepat pada waktunya,” sebut keputusan Munas Alim Ulama, sebagaimana disampaikan Fachry dan Iqbal.
Lalu, Pemilu 1982 pun berakhir. Hasilnya, PPP mendapat 27,8 persen suara nasional dan Soeharto terpilih sebagai presiden melalui Sidang Umum MPR.
Setahun berikutnya, pada 1983, dalam sebuah pidato yang disampaikan di Riau, Soeharto mendesakkan perlunya menerima Pancasila sebagai asas tunggal kepada semua kelompok masyarakat, termasuk organisasi-organisasi keagamaan.
“Gus Dur mendapat informasi intelijen dari Benny Moerdani bahwa organisasi-organisasi yang menolak mengakui Pancasila sebagai ‘asas tunggal’ akhirnya akan menghadapi ‘desakan yang tak dapat ditahan lagi’ dari pemerintah untuk menyerah,” sebut Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2003).
Sengkarut antara Orde Baru dengan kelompok Islam pun semakin terasa kala Peristiwa Tanjung Priok terjadi pada 12 September 1984. Seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Tanjung Priok, Abdul Qadir Djaelani, disebut-sebut kerap menyampaikan ceramah yang provokatif dan berpotensi mengancam stabilitas nasional.
Puncaknya, terjadi keributan antara aparat dan massa Islam. Menurut Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak), sebanyak 400 orang tewas dalam peristiwa itu.
Baca juga: Mengenang 33 Tahun Tragedi Pembantaian Tanjung Priok
Kebijakan Muktamar
Douglas E. Ramage, pada sebuah artikel berjudul "Demokrasi, Toleransi, Agama, dan Pancasila: Pemikiran Abdurrahman Wahid", yang dibukukan dalam Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (1997), menyebut ada dua keputusan penting yang diambil NU pada muktamar 1984.
Pertama, NU secara resmi menyatakan Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan ini merupakan bentuk final. Kedua, NU sebagai organisasi menyatakan keluar dari politik praktis.
NU merumuskan keputusan ini dalam sebuah pernyataan yang dikenal dengan sebutan Kembali ke Khittah 1926.
Keputusan mengenai sikap NU terhadap Pancasila sebenarnya sudah dibicarakan sejak setahun sebelumnya. Gus Dur adalah sosok paling penting di balik keputusan itu.
Menurut Greg Barton, setelah mengetahui pidato Soeharto soal penegakan Pancasila, Gus Dur mengusulkan kepada Rais Aam NU, K.H. Ali Ma’sum, agar dibentuk komisi khusus untuk membahas posisi NU terhadap Pancasila.
Komisi itu kemudian dibentuk. Kiai Achmad Siddiq diangkat sebagai ketua, sedangkan Gus Dur menjadi sekretarisnya. Dari Juni hingga Oktober 1983, komisi tersebut dengan teliti memeriksa ayat-ayat Alquran, hadis, dan kitab kuning untuk mendapatkan dukungan bagi diterimanya Pancasila sebagai asas organisasi.
Komisi tersebut membuat keputusan: “Islam bersifat pluralistik dan oleh karena itu pelaksanaan ajaran Islam harus bersifat pluralistik, dan hal ini sesuai dengan tradisi NU.”
Bagi Greg Barton, keputusan NU untuk meninggalkan politik formal berakar pada keyakinan bahwa aktivitas partai politik atas nama Islam adalah kontraproduktif dan dapat membangkitkan sektarianisme.
Sedangkan menurut Gus Dur, sebagaimana disampaikannya kepada Ramage, hal itu ditempuh guna mengarahkan NU untuk memusatkan perhatian pada bidang sosial, pendidikan, dan keagamaan. Selain itu, juga sebagai tanggapan atas tekanan terhadap kelompok Islam politik yang dilakukan Orde Baru.
Gus Dur tidak ingin tafsiran Pancasila dimonopoli pemerintah. “Jadi, gagasannya adalah untuk menolak penafsiran pemerintah terhadap Pancasila sebagai ideologi yang mendominasi dengan mengembangkan pandangan alternatif mengenai Pancasila. Visi mengenai Pancasila hanya bisa dikembangkannya di luar politik,” ungkap Gus Dur.
Kontroversi Setelah Muktamar
Dalam NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna (1999), Andree Feillard mengutarakan, barometer untuk mengukur dampak keputusan kembali ke khittah terlihat dalam perolehan suara PPP pada Pemilu 1987. Pada Pemilu tersebut, PPP mendapatkan 16 persen suara nasional. Itu artinya, suara PPP turun sebanyak 11,8 persen dibanding Pemilu 1982.
Namun, lanjut Feillard, suara PPP yang turun drastis itu tidak disebabkan keluarnya NU semata. PSII dan Perti juga memutus hubungan dengan PPP. Sementara itu, Parmusi terpecah antara yang mendukung Ketua Umum PPP Djaelani Naro dan yang tidak.
Pada saat Muktamar, kebijakan kembali ke Khittah 1926 sebenarnya sudah ditentang kiai-kiai NU yang tergabung dalam "Kelompok Cipete". Tokoh penggerak kelompok tersebut adalah Ketua Umum PBNU pada saat Muktamar berlangsung, K.H. Idham Chalid.
Namun, bukan Gus Dur namanya kalau tidak kontroversial. Semasa menjabat Ketua Umum PBNU, selagi masyarakat muslim melarang peredaran buku The Satanic Verses karya Salman Rushdie, Gus Dur justru menentang larangan tersebut. Pada 1990, dia juga menentang pembredelan tabloid Monitor yang dianggap menghina Nabi Muhammad.
Kemudian, pada 1994, Gus Dur berkunjung ke Israel, menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Yordania dan Palestina. Akibat kunjungan itu, ia banyak dikritik tokoh-tokoh Islam di dalam negeri.
Menurut Alissa, Gus Dur bercita-cita Indonesia menjadi bangsa yang besar, dan itu terwujud dalam Indonesia yang adil, demokratis, dan makmur.
“Itu yang kita anggap sebagai cita-cita Gus Dur. Ukuran itu terwujud jika kehidupan rakyat Indonesia damai. Gus Dur pernah bilang ‘perdamaian tanpa keadilan itu ilusi’. Orang tidak bisa makmur tanpa perdamaian. Rakyat adalah penentu segalanya, bukan dijadikan komoditas. Gus Dur meyakini prinsip Islam, apa pun yang diputuskan pemimpin itu tujuannya adalah kemaslahatan rakyat,” ujar Alissa.
Namun, menurutnya, cita-cita itu belum terwujud. Bahkan ada kemunduran dalam demokrasi, dengan adanya gelombang populisme.
“Yang terjadi di Indonesia adalah mayoritasisme. Gus Dur pernah bilang kebenaran tidak bisa divoting. Karena merasa mayoritas, lantas kebenaran adalah apa yang saya sampaikan. Menurut Gus Dur kebenaran datang dari prinsip kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, dan anti-penindasan,” pungkas Alissa.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan