Menuju konten utama

Meneladani Gus Dur yang Objektif dan Memihak Rakyat Kecil

Gus Dur mengkritik keras intoleransi, radikalisme dan ujaran kebencian, namun Gus Dur tidak anti terhadap perbedaan.

Meneladani Gus Dur yang Objektif dan Memihak Rakyat Kecil
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sedang berbicara pada sesi wawancara di Jakarta, (25/6/2008). Foto/Reuters/Crack Palinggi

tirto.id - Memperingati sewindu haul KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Direktur Abdurrahman Wahid Centre UI, Ahmad Suaedy, menyatakan terdapat tiga hal yang dapat diteladani dari sosok Presiden ke-4 Repubilk Indonesia tersebut.

Pertama, sikap Gus Dur yang objektif dalam melihat persoalan. Menurut Suaedy, Gus Dur mengkritik keras intoleransi, radikalisme dan ujaran kebencian, namun Gus Dur tidak anti terhadap perbedaan. Terhadap intoleransi, radikalisme, dan ujaran kebencian, menurut Suaedy, Gus Dur sangat mendukung pemerintah menindak tegas secara hukum.

"Tapi kalau hanya berpikir negara Islam, mendiskusikan, bahkan seperti halnya Papua dan Aceh, Gus Dur tidak melarang mereka berpikir untuk merdeka," kata Suaedy kepada Tirto, Jumat (22/12/2017).

Saat menjadi presiden, Gus Dur mengambil kebijakan mengganti nama provinsi Irian Jaya menjadi Papua. Tidak hanya itu, pada 2000 Gus Dur mengizinkan rakyat Papua untuk menggelar Kongres Rakyat Papua II dan negara memberi bantuan dana penyelenggaraan.

Dalam kongres yang dihadiri oleh 5000 rakyat Papua itu, pertama kalinya sejak Indonesia merdeka dengan terbuka rakyat Papua bisa membicarakan lagi perlunya menuntaskan distorsi sejarah Papua. Mereka juga membahas pentingnya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua serta pengabaian hak-hak dasar, terutama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya rakyat Papua.

Bagi Gus Dur, berdiskusi dan berpikir merupakan hak bagi setiap warga negara di Indonesia dan dilindungi oleh undang-undang. "Tetapi Anda tidak boleh menyatakan sepihak untuk merdeka. Tidak boleh menyatakan sepihak membentuk negara Islam. Tidak boleh. Karena itu jelas bertentangan," kata Suaedy.

Maka, kata Suaedy, bila Gus Dur masih hidup hari ini tentu tidak akan setuju dengan sweeping yang dilakukan oleh ormas-ormas terhadap diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh kelompok tertentu.

"Saya kira sekarang orang salah paham antara ketidakbolehan dan mendeklarasikan. Seperti yang dilakukan oleh HTI mendeklarasikan khilafah dan menyatakan bahwa negara Pancasila itu toghut, itu tidak boleh. Itu sudah bergerak," kata Suaedy.

Kedua, yang patut diteladani dari Gus Dur adalah pandangannya soal pembangunan di Indonesia. Menurut Suaedy, Gus Dur sangat setuju dengan pemerataan pembangunan seperti yang dilakukan oleh Presiden Jokowi saat ini. Namun, Gus Dur tidak setuju dengan pembangunan yang mengorbankan rakyat kecil.

"Karena pembangunan infrastruktur saat ini sebagian juga mengorbankan rakyat kecil di beberapa daerah. Misalnya, proses pembebasan tanah dan lain-lain itu masih menjadikan rakyat sebagai korban," kata Suaedy.

Terakhir, Gus Dur memiliki sikap yang terbuka pada siapa saja. Hal ini terlihat saat ia menjadi presiden membuka Istana Negara untuk siapapun. "Makanya kalau Gus Dur dianggap pemikirannya nyeleneh itu wajar. Karena Gus Dur mendengarkan pemikiran siapa saja," pungkas Suaedy.

Gus Dur sendiri secara luas dikenal sebagai aktivis dan politisi. Ia pernah menjabat sebagai ketua PBNU pada tahun 1984, menjadi ketua dewan syuro PKB, dan menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia sejak tahun 1999-2001. Ia meninggal pada 30 Desember 2009 di usia 69 tahun setelah terkena penyakit jantung koroner.

Malam ini, akan digelar peringatan sewindu Haul Gus Dur di kediamannya, Ciganjur, Jakarta Selatan. Rencananya akan hadir sejumlah tokoh, seperti Jenderal Gatot Nurmantyo, Khofifah Indar Parawansa dan Syaifullah Yusuf.

Baca juga artikel terkait HAUL GUS DUR atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Humaniora
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra