tirto.id - 15 tahun terakhir, bulan Desember di Indonesia tidak hanya identik dengan Natal dan tahun baru, tetapi juga dengan Haul Gus Dur, peringatan wafatnya K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Haul Gus Dur jadi populer, digelar oleh komunitas antaragama, karena Gus Dur adalah presiden yang memiliki ciri khusus tiada bandingnya, yaitu solidarity maker antarumat beragama. Saking maraknya haul Gus Dur, kegiatan tidak hanya berlangsung pada bulan Desember (Gus Dur wafat 30 Desember 2009), tetapi hingga Januari. Dengan adanya haul Gus Dur di ujung Desember, Natal yang mewakili suasana kenasranian bertemu dengan haul yang mewakili suasana keislaman.
Bagi kita yang ingin menghadirkan kedekatan, kebersamaan, dan kedamaian antara Islam dengan Nasrani, tidak perlu menunggu hari raya Idul Fitri datang pada bulan Desember–hal demikian cuma terjadi tiap 32 atau 33 tahun sekali. Idul Fitri terakhir yang jatuh pada bulan Desember terjadi pada tahun 2000, dan akan terjadi lagi pada 2033 dan 2065. Dengan sendirinya, peringatan haul Gus Dur pada bulan Desember sudah cukup mewakili dan menjadi simbol kedekatan, kebersamaan, hingga perdamaian antaragama. Bukan hanya Islam-Nasrani, tetapi juga Hindu, Buddha, dan semua agama serta kepercayaan yang tumbuh di Indonesia.
Mengapa haul Gus Dur selalu ramai diperingati? Salah satu jawaban yang penting diajukan adalah bahwa Gus Dur mewariskan pemikiran keislaman yang relevan. Pertanyaan berikutnya: kenapa pemikiran keagamaan Gus Dur relevan hingga sekarang?
Jawaban utama atas pertanyaan itu, menurut saya, adalah bahwa Gus Dur punya kemampuan melakukan otokritik atas Islam, agama yang dianutnya, yang diwariskan oleh leluhurnya, yang dipelajari sepanjang hidupnya. Dalam pembacaan saya, nyaris tidak ada tema keislaman yang lepas dari pandangan kritis seorang Abdurrahman Wahid, baik dalam kehidupan nasional maupun global. Cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus anak seorang intelektual dan aktivis muslim ini selalu memiliki dua sisi yang berjalan beriringan.
Sebagai seorang ulama, Gus Dur mengkritik dunia ulama. Sebagai pemikir Islam, Gus Dur biasa mengkritik wacana keislaman. Demikian juga Gus Dur sebagai pemimpin NU, ia tidak sungkan mengkritik organisasi itu. Gus Dur menjalankan politik Islam, tetapi mengkritik Islam politik. Gus Dur, salah seorang aktor utama dunia panggung agama (dalam banyak pengertian), juga mengkritik pedas dunia yang dijalani itu dengan sungguh-sungguh. “Islam Kaset” dan Kebisingannya, Lebaran Tanpa Takbiran, adalah contoh otokritik Gus Dur terhadap umat Islam. Humor-humor Gus Dur soal Indonesia, NU, hingga agama bahkan selalu bermuatan otokritik.
Dalam acara pekan humor di Taman Ismail Marzuki, tahun 1992, Gus Dur mengkritik teman-temannya sendiri di lingkungan NU yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah Orde Baru. Gus Dur memelesetkan NU menjadi MU, ”Mafiatul Ulama”, serta menggunakan istilah yang lebih kejam dari khazanah Jepang, "Yakuzatul Ulama". Mafia dan yakuza sama-sama merujuk pada kelompok kejahatan. Kritik Gus Dur itu saya dapatkan dokumentasinya dari Tri Agus Susanto berupa tautan kaset ceramah, dan acara tersebut diolah Desy Anggraini (2021) menjadi skripsi di UIN Syarif Hidayatullah.
Kita tahu bahwa Gus Dur juga mengkritik pesantren, Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga mengkritik para ulama yang membuat tafsir merugikan bagi Islam, masyarakat, dan bangsa. Ketika tahun 1990-an banyak kasus beririsan dengan masyarakat Islam, misalnya survei tabloid Monitor tentang tokoh paling populer yang kemudian menjebloskan Arswendo Atmowiloto ke penjara–karena ia dinilai menghina Islam–Gus Dur justru tampil membela Arswendo.
Tak tanggung-tanggung, ketika Gus Dur menjadi presiden RI ke-4, ia juga melancarkan kritik terhadap lembaga kepresidenan yang didudukinya itu. Gus Dur menghapuskan Dwi Fungsi TNI, memisahkan kepolisian dari tentara, membubarkan kementerian sosial dan kementerian penerangan–sekarang menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital, Komdigi–serta meminta maaf kepada korban Peristiwa 1965. Semua itu adalah bentuk otokritik Gus Dur sebagai kepala pemerintahan untuk pemerintah sendiri. Masih banyak contoh bagaimana Gus Dur menjalankan fungsi-fungsi otokritik terhadap dunianya sendiri. Itu semua dia jalani hingga akhir hayatnya.
Mengapa Gus Dur melakukan otokritik?
Saya kira, Gus Dur termasuk dari sedikit orang yang menyadari kelemahannya sendiri. Dia mempu membaca dirinya sendiri. Tak jarang, humornya pun dibuat untuk menertawakan dirinya sendiri. Dari sini kita memahami ada ungkapan Gus Dur yang populer, “Puncak humor adalah menertawakan diri sendiri.” Dari kalimat tersebut, kita mengerti nyaris tidak ditemukan humor Gus Dur yang bernada menghina atau meremehkan orang lain dengan sesuka hatinya. Saat ini yang kita perlukan justru memang melakukan kritik ke dalam, untuk diri sendiri. Budayawan Zastrouw Al-Ngatawi mengatakan kepada saya, “Mungkin tidak ada tokoh yang mampu mengkritik dirinya sendiri sehebat Gus Dur.”
Selain itu, Gus Dur melakukan otokritik karena memiliki kapasitas untuk melancarkan otokritik tersebut. Dan Gus Dur siap bertanggung jawab atas sikapnya itu. Sebuah contoh yang bikin geger adalah ketika Gus Dur mengungkapkan bahwa Korps Alumni Mahasiswa Islam Indonesia (KAHMI) melakukan kolusi. Pernyataan itu menimbulkan kegaduhan, menjadi berita utama di hampir semua media cetak. Saat dikejar wartawan, Gus Dur enteng menjawab, “… itu saya maksudkan untuk analisa. Kenapa tidak boleh. Sementara orang lain bilang NU itu oportunis, kolot, dan lain-lain, kita tidak keberatan.”
Keterangan itu dimuat dalam Panji Masyarakat, edisi Mei 1994. Pada wawancara yang sama, Gus Dur juga mengatakan bahwa di NU juga ada kolusi. “Tepatnya, ketika NU jadi partai politik. Yaitu, kolusi antara pengusaha dan penguasa. Itu tidak bisa dibantah. Dan kita harus jujur.”
Betapa beraninya Gus Dur, kala itu Ketua Umum PBNU, mengatakan organisasinya pernah berbuat kekeliruan, yaitu saat NU menjadi partai politik.
Berikutnya, otokritik Gus Dur dilakukan untuk menjaga keseimbangan. Kita tahu, Gus Dur sering dianggap terlalu sering mengkritik internal umat Islam, sementara di pihak lain, dia dinilai tampak dekat dan mesra dengan umat agama lain. Namun, Gus Dur punya argumen kuat dan susah dibantah. Gus Dur pernah diadili di Cirebon gegara pendapat dan sikap mesranya terhadap umat Nasrani. Selain punya dalil naqli yang susah dibantah, Gus Dur juga punya dalil 'aqli yang kuat.
“Ya, karena saya dari golongan Islam. Dan otokritik kepada Islam itu kan harus ada. Kalau tidak kita sendiri yang mengkritik, lalu siapa,” demikian Gus Dur beralasan, ketika ditanya kenapa sering mengkritik kelompok Islam.
Ketika wartawan terus mengejar dengan pertanyaan kenapa hanya Islam, dan tidak terdengar mengkritik umat Kristen, Gus Dur lagi-lagi memberi jawaban yang masuk akal. “Nggak etis dong. Masa yang mayoritas mengkritik yang minoritas. Coba kalau orang Amerika yang mayoritas Kristen setiap hari mengkritik orang Islam yang minoritas, kita kan marah.”
Demikianlah Gus Dur, pemimpin umat yang memiliki daya otokritik. Dia mengkritik NU dan umat Islam pada saat yang sama, ketika menjadi ketua umum PBNU. Dia mengkritik pemerintah dan negara bukan hanya saat ada di luar sistem, tetapi saat menjadi presiden. Saat menjadi presiden, bayangkan, Gus Dur mengendurkan “keangkeran” istana hingga meminta maaf kepada para korban tragedi 1965-1966.
Pada momentum haul Gus Dur ke-15 ini, saya mengingatkan kembali bahwa sikap Gus Dur puluhan tahun lalu itu masih relevan hingga saat ini. Bahkan hari ini keberanian melancarkan otokritik itu semakin dibutuhkan. Hari ini, mengkritik pemerintah dianggap benci pemerintah. Mengkritik umat beragama dianggap anti-agama. Mengkritik partai atau pejabat dianggap karena karena belum kebagian jatah. Mengkritik TNI atau polisi dianggap pemuja HAM. Mengkritik korporasi atau konglomerasi dianggap cemburu.
Memang ada perbedaan orang dulu dan orang sekarang atas kritik. Orang dulu dikritik marah, tidak terima, kemudian melancarkan kritik balasan. Orang sekarang dikritik tidak marah, menanggapinya biasa saja, malah membumbuinya dengan senyuman. “Boleh saja mengkritik, itu hak orang.” Demikian kecenderungan orang sekarang atas kritik, seakan-akan memberikan respons baik-baik saja, tampak menghargai, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah abai dan denial sekaligus, menganggap kritik tidak berarti sama sekali. Bahkan ada yang merespons kritik dengan peribahasa yang tidak pada tempatnya: “anjing menggong kafilah tetap berlalu”.
Sekarang, alih-alih mengharapkan otokritik seperti yang dilakukan Allahuyarham Gus Dur, bahkan sekeras apa pun lontaran kritik dari luar tidak didengar. Dalam tradisi demokrasi juga tradisi beragama, perilaku semacam itu jelas-jelas membahayakan.
*Penulis adalah alumni sejumlah pesantren di Jawa Timur dan Jogjakarta. Pembuat film dokumenter bertema keislaman, menulis 2 buku humor. Sekarang Direktur NU Online, PBNU.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.