tirto.id - Beberapa pekan setelah menjadi presiden pada 1999, Abdurrahman Wahid berpidato di depan para tamu negara asing. Peristiwanya terjadi di Denpasar, Bali. Ia berpidato dalam bahasa Inggris tanpa teks. Di awal pidato, orang yang akrab disapa dengan panggilan Gus Dur ini berujar:
“Saya dan Megawati adalah pasangan presiden dan wakil presiden yang lengkap: saya tidak bisa melihat, dia tidak bisa ngomong.”
Semua tamu ger-geran tanpa kecuali. Gus Dur bersikap biasa saja melihat orang tertawa bahak-bahak. Wajahnya lempang belaka.
Waktu itu banyak omongan soal wakil presiden yang irit bicara. Megawati Soekarnoputri jarang sekali memberi komentar soal apapun. Gus Dur, sementara itu, hampir saban hari mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial yang sering bikin panas berita-berita di surat kabar.
Diamnya Megawati memang membuat orang bertanya-tanya, terutama menyangkut kapasitas pribadinya sebagai wakil presiden dan ketidakcocokannya dengan sang presiden. Gus Dur tahu betul tentang itu dan ia mencoba menetralkan situasi dengan kemampuannya yang menyenangkan: lelucon dan menertawakan diri sendiri.
"Maju Aja Susah, Apalagi Mundur"
Pada kesempatan lain, ketika desakan pengunduran diri kepada Gus Dur makin kencang di mana-mana, Emha Ainun Nadjib mampir ke istana. Berdasarkan cerita yang pernah dituturkan Emha, ia mendatangi lelaki kelahiran Jombang, 7 September 1940 itu sebagai seorang sahabat yang bermaksud mengingatkan.
“Gus, sudahlah, mundur saja. Mundur tidak akan mengurangi kemuliaan sampeyan,” kira-kira begitu kata Emha kepada Gus Dur.
Jawaban Gus Dur: “Aku ini maju aja susah, harus dituntun, apalagi suruh mundur.”
Dua orang itu ngakak.
Waktu itu memang posisi Gus Dur berada di ujung tanduk. Sepanjang Juni-Juli 2001, lawan-lawan politiknya terus menyerang dengan isu Buloggate lewat DPR dan MPR. Suasana memanas akibat pendukung Gus Dur dan penentangnya tiap hari melakukan demonstrasi dan unjuk kekuatan di depan istana. Gus Dur sempat mengeluarkan senjata pamungkas berupa Dekrit Presiden yang salah satu poinnya adalah membekukan DPR dan MPR.
Dekrit yang dikeluarkan pada 23 Juli 2001 pukul 01.10 itu ditentang banyak institusi negara, termasuk TNI dan Mahkamah Agung. MA bahkan mengeluarkan fatwa di hari itu juga bahwa dekrit Gus Dur bertentangan dengan hukum.
Siang harinya, Gus Dur berpendapat fatwa MA tersebut sebagai sesuatu yang tidak sah. "Pertimbangan itu tidak diputuskan melalui sidang dalam Mahkamah agung melainkan hanya oleh Ketua MA saja," kata Juru Bicara Kepresidenan Yahya C. Staquf, seperti dilaporkan Kompas (23/7/2001).
Tapi langkah-langkah politik Gus Dur sudah begitu lunglai. Segala jurus yang dikeluarkannya percuma saja karena dukungan politik kian surut. Akhirnya, Gus Dur benar-benar mundur.
Ada peristiwa yang kemudian jadi ikonik ketika di malam sebelum ia meninggalkan istana, Gus Dur melambaikan tangan kepada para pendukungnya. Busana yang dipakai: baju tidur, celana pendek, dan sandal jepit.
Malam itu, ia menjadi Presiden RI pertama yang menampakkan diri kepada publik dengan celana pendek di Istana Negara.
Mantan Presiden yang Tetap Lucu
Setelah turun dari jabatan presiden, Gus Dur tetap sibuk dan tetap lucu. Ia masih melakukan safari ke daerah-daerah. Biasanya untuk berkunjung ke teman-temannya atau mengisi pengajian sampai kampung-kampung yang jauh.
Pada suatu ceramah di sebuah kampung, Gus Dur mengajak semua yang hadir di situ bersalawat. Para hadirin senang sekali melafalkan salawat dipimpin seorang kiai besar.
Di akhir ceramah, cucu pendiri NU K.H. Hasyim Asy'ari itu nyeletuk.
“Saya minta Anda semua bersalawat agar tahu berapa banyak jumlah yang hadir. Saya, kan, gak bisa melihat.”
Satu lapangan terpingkal-pingkal.
Salah satu humor Gus Dur yang paling dikenal adalah leluconnya soal kedekatan Tuhan dengan umat beragama. Ini juga mengandung unsur penertawaan diri terhadap sesuatu yang dianggap sakral tapi sering dipahami secara kaku: agama.
“Orang Hindu merasa paling dekat dengan Tuhan karena mereka memanggilnya ‘Om’. Orang Kristen apalagi, mereka memanggil Tuhannya dengan sebutan ‘Bapak’. Orang Islam? Boro-boro dekat, manggil Tuhannya aja pakai Toa.”
Seluruh Indonesia, tentu saja, tertawa.
Agar Politik Tak Muram
Gus Dur memang sangat lihai memainkan lelucon penertawaan diri sendiri sekaligus mencairkan ketegangan politik lewat humor. Dengan begitu, politik tak lagi muram dan hubungan sosial tidak kehilangan makna.
Kala mengomentari soal betapa banyak uang yang dikeluarkan seseorang untuk menjadi capres, Gus Dur berseloroh, “Saya dulu jadi presiden cuma modal dengkul, itupun dengkulnya Amien Rais.”
Seperti ia tulis dalam Kata Pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia (1986): “Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak, dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain.”
Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009, tepat hari ini 9 tahun lalu. Jika masih hidup, ia barangkali cuma cengar-cengir melihat politik Indonesia saat ini yang penuh makian tapi miskin imajinasi dan kekurangan lelucon.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 7 September 2017 dalam rangka merayakan tanggal lahir Abdurrahman Wahid. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS