tirto.id - Patung bocah kanak yang menunduk membaca buku itu berdiri tegak di tengah-tengah Taman Amir Hamzah, Menteng, Jakarta Pusat. Ia seolah-olah tak menghiraukan hiruk-pikuk sekitarnya. Apapun yang terjadi, ia tetap asyik membaca. Itulah yang tergambar dari patung Abdurrahman Wahid atau yang karib disapa Gus Dur. Ia adalah presiden, ulama, seniman, politikus, dan, yang kerap dilupakan orang, pengamat sepakbola ulung.
Sebagai seorang tokoh, Gus Dur adalah sosok yang gagal teringkus dalam sebuah definisi baku. Ia melintasi dan menabrak batas kebakuan definisi-definisi apapun. Ia seakan-akan selalu bisa lolos mengatasi dan berdiri di atas serangkaian istilah yang disematkan orang padanya.
Kutu Buku, Gandrung Bola
Dari sebuah riwayat yang bisa dipercaya, diceritakan Gus Dur kecil memang sudah sangat karib dengan buku. Pemandangan bocah yang membawa buku kemana-mana, duduk berjam-jam, bahkan sampai ketiduran dengan posisi tangan menggamit buku adalah pemandangan rutin bagi santri-santri lawas Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang.
“Gus Dur membaca. Dan banyak. Matanya saja sampai rusak. Mungkin lebih banyak membaca daripada Bung Karno. Apalagi dibanding Pak Harto. Habibie juga membaca, saya kira. Tapi, saya yakin dengan bahan yang lebih terbatas. Dalam buku otobiografi Deliar Noer dituliskan, waktu Pak Deliar mewawancarai Kiai Wahid, ayah Gus Dur, untuk keperluan disertasinya, ia melihat anak kecil pakai kacamata asyik membaca di lantai. Mungkin, kata Deliar, itu Abdurrahman Wahid,” demikian tulis esais Syu’bah Asya dalam pengantar untuk buku Melawan Melalui Lelucon (2007).