tirto.id - "Syarat masuk surga bukan hanya iman, melainkan perbuatan baik semua orang; bukan hanya muslim. Karena Allah menghakimi nilai universal semisal ketidakadilan, ketidakjujuran, dan seterusnya. Semua perbuatan baik akan diberi pahala.
Universalitas Islam dan Al-Qur'an melingkupi semua makhluk. Ateis yang suka berbuat baik dan mencari kebenaran dengan mendalam, meskipun mati sebelum menemukannya, kemungkinan masuk surga dibandingkan ateis yang arogan dan kerap menyangkal agama dengan sikap angkuh serta memusuhi. Saya kira, mungkin ada orang lain di surga dari berbagai bangsa selain bangsa-bangsa muslim."
Kalimat-kalimat di atas dilontarkan sarjana muslim Arab Saudi, Hassan Farhan Maliki, yang terekam dalam penggalan video di YouTube. Aslinya, ia mengutip dan menafsir ulang ayat-ayat Al-Qur'an tentang Islam, ketundukan, kafir, takwa, dan musyrik atau politeisme. Bagi yang tahu Saudi hanya sepotong negeri Wahabi, pernyataan itu aneh. Kebanyakan kita mengenal ungkapan inklusif ini dari intelektual lain di luar Arab Saudi.
Persekusi Rezim Saudi
Maliki adalah salah satu kritikus ternama di Arab Saudi. Pada halaman resmi Facebook-nya ia banyak dikomentari, bukan hanya pujian tapi juga cercaan dan hinaan. Mirip seperti yang pernah menimpa intelektual dan aktivis muslim Indonesia, Ulil Abshar Abdalla.
Misalnya, ada yang mencaci maki Maliki, “Ya Allah, hancurkanlah Syiah Majusi Hasan Farhan Maliki!” Sejak kapan Syiah sama dengan Majusi? Umpatan ini serupa dengan tuduhan awam yang banyak beredar di media sosial kita, “Dasar liberal, komunis, Syiah!” Kata pepatah Arab: manusia musuh bagi apa yang tak ia pahami. Maliki menjawab soal tudingan ini: “Aku ini Muslim, titik!”
Saudi bukan milik Wahabi, juga bukan hanya orang-orang yang pro-kerajaan Bani Saud. Jika Anda menelusuri Madinah, Riyadh, dan Jeddah dengan baik, serta bertemu dengan beberapa orang saja, Anda akan menemui suara lain, mazhab lain, suara lain, pikiran lain, gaya hidup yang tidak kaku, serta keragaman musik dan arsitektur. Hanya, Wahabi dan rezim kerajaan menjadi tabir dalam berita yang umum dibaca.
Reformasi putra mahkota Arab Saudi, Muhammad Bin Salman, nyatanya tidak pro-kebebasan berpendapat. Pembangkang pemerintah Jamal Khashoggi, yang keturunan Turki dan bernama lahir Muhammed Halit Kaşıkçı, dibungkam sekali waktu di Istanbul pada 2018. Sebelumnya ada Nimr al-Nimr, syekh Syiah di Saudi yang masyhur di kalangan pemuda dan dihukum mati pada 2016. Maliki, dengan langgam suara yang lain, masuk di dalam kubu kritikus ini.
Setidaknya penjara merupakan hal umum bagi para oposisi. Komedian Fahad Albutairi ditangkap. Ada beberapa aktivis perempuan Saudi yang dibui juga, seperti Samar Badawi, Nassima al-Sadah, dan Loujain al-Hathloul. Bahkan pendakwah Sahwah yang dipengaruhi Ikhwanul Muslimin pun sama mendapat tekanan. Maliki juga menjadi tapol. Laman Facebook-nya yang kini ditangani anaknya menulis per 10 April 2020 soal persekusi yang lama ia alami: Maliki dipecat dari pekerjaan resminya sebagai pengajar, dilarang menulis di media massa, dilarang bekerja di sektor pemerintah dan swasta, buku-bukunya diberedel, dan dilarang bepergian.
Maliki, lahir pada 1970 dari suku Bani Malik di Arab Saudi selatan, belajar resmi dalam bidang media di Universitas Muhammad ibn Saud di Riyadh dan lulus pada 1992. Di kota ini pula ia belajar dengan sejumlah ulama yang berorientasi pada mazhab Hanbali dan Salafi. Setelah lulus kuliah, ia bekerja di bagian penerbitan Kementerian Pendidikan Arab Saudi. Lalu ia lebih banyak bekerja sebagai pengajar, penulis, dan peneliti soal hukum Islam dan sejarah.
Karena pengaruh lingkaran ulama Salafi di Riyadh, pada awalnya Maliki lebih berat pada satu metode yang lebih memperkuat klaim ortodoksi Suni berdasarkan pada penelitian riwayat hadis yang tak pilih kasih. Sementara laporan-laporan hadis yang dianggap tidak dapat diandalkan, cacat, atau tak terpercaya, apalagi tunggal, langsung dibuang atau dianggap tidak berwujud sama sekali. Kecenderungan ini wajar di tengah iklim ilmu hadis yang sangat konservatif yang memengaruhi alam pikiran Maliki ketika ia kuliah.
Sebagai peneliti sejarah, pikirannya bergejolak. Maliki pada dasarnya bukan tipe orang yang taklid. Situs web-nya sendiri ia beri tajuk sebagai "pemikir dan peneliti sejarah yang tertarik pada isu hak asasi manusia". Tidak heran, ia belok dari orientasi awal. Mencari cahaya kebenaran dalam lorong samar sejarah, ia lalu memperkaya metodologinya ke arah pola pikir yang inklusif, rasionalis dan pluralis.
Contohnya, Maliki menganggap Abu Talib selamat dan masuk surga, mengikuti serangkaian ulama klasik seperti Muhammad b. Rasul al-Barzanji (m. 1691). Sementara, dalam debat berabad-abad, banyak yang mengafirkan Abu Talib yang dianggap tak berhidayah sama sekali.
Maliki juga banyak dimusuhi dalam majelis Wahabi terutama karena ia terbuka pada berbagai interpretasi sejarah dan kelompok terpinggir seperti kaum Syiah dan Ahmadiyah. Ia figur yang membuktikan dirinya terbuka pada kebenaran yang dinamis.
Sejarah Islam yang Rasional
Dalam video yang lain, ia cenderung membela jenis protestanisme dalam lingkaran ortodoksi Salafi—sebuah sikap yang sangat berbahaya di negerinya. Misalnya ia berkeberatan dengan gelar ‘syekhul Islam’. Tuhanlah, menurutnya untuk menegaskan monoteisme radikal, yang perlu dipercayai satu-satunya. Gelar keulamaan yang otoriter itu dipenuhi aspek fanatisme. Islam lah syekh kita. Kita semua adalah murid dari Islam.
Tidak belebihan jika jalan itu membawanya untuk mempertanyakan soal klaim kebenaran sejarah Islam masa lalu. Pendekatan rasionalisnya bersandar pada usul fikih disertai dengan konsensus ijma dan akal. Di sini ia banyak menerima laporan hadis yang tunggal yang membawa potensi monopoli narasi. Ia, misalnya, banyak mengkritik soal agama dan kebenaran pada masa Dinasti Umayyah yang memonopoli kebenaran Islam serta menyempitkan Islam bagi sekelompok orang dan kepentingan politik tertentu. Ini jelas terbaca dari baiat ilmiahnya untuk pro-Ali dengan mengeliminasi klaim sejarah Muawiyyah bin Abu Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah.
Dalam penggalan video pertama di atas, juga ada pernyataan soal Dinasti Umayyah itu. Buku-bukunya yang jelas atau metaforis menyoal ini misalnya berjudul dalam bahasa Indonesia: Apakah Muawiyyah mati secara Islam?, Muawiyyah Firaun Umat Ini, Jika Engkau Melihat Muawiyyah dalam Forumku maka Aku Akan Membunuhnya, dan Kritik untuk Pemikiran Ibnu Taimiyyah atas Islamnya Muawiyyah.
Dalam bukunya Menuju Penyelamatan Sejarah Islam, Maliki menyajikan sebagian dialog kritis dengan intelektual lain di Timur Tengah. Sebagian besar topiknya tentang narasi sejarah era Islam awal disertai dengan pembacaan kritis atas riwayat hadis. Jika kita membaca bagian mukadimah dengan langgam bahasa yang bertenaga dan emosional, dengan jelas Maliki menulis sejenis manifesto sejarah yang memengaruhi jalan pemikirannya.
Sejarah bukan untuk dibohongi, tulis Maliki, melainkan “untuk memperbaiki dedikasi kita pada ilmu, yakni ilmu yang menunjukkan pada kebenaran, bukan pada sikap partisan, serta akumulasi kekeliruan dan syak wasangka.” Barangkali, apa yang ingin dibela Maliki di sini ialah sikap objektif dan ilmiah pada berbagai sumber dan narasi yang lain.
Maliki menyerukan rethinking tanpa takut akan pengafiran, pembidahan, dan penyesatan yang ia tulis sebagai nahwa i`adat al-tafkir duna khauf min takfir aw tabdi` aw tadlil. Perubahannya ke arah yang lebih pluralis didasarkan pada kecintaannya akan toleransi dan kemanusiaan. Biasanya orang menemukan cinta dan toleransi pada sufisme atau filsafat. Kini kita juga punya cerita lain dari seorang peneliti hadis dan pembongkar sejarah.
Berani skeptis dan vokal di tengah rezim Saudi adalah keberanian prima. Maliki kini dituntut hukuman mati dan dianggap ekstremis. Ia dipenjara pada Oktober 2018 dengan tuduhan bombastis: mengingkari hadis al-Bukhari, mengkritik perilaku sahabat Nabi, bersuara keras yang membahayakan pemerintah, dan sebagainya. Rezim Saudi telah merampas kekayaan intelektual satu-satunya yang ia miliki.
==========
Redaksi Tirto kembali menampilkan rubrik khusus Ramadan "Al-Ilmu Nuurun". Tema tahun ini adalah para cendekiawan muslim global abad ke-20 dan ke-21. Kami memilih 33 tokoh untuk diulas pemikiran dan kontribusi mereka terhadap peradaban Islam kontemporer. Rubrik ini diampu kontributor Zacky Khairul Umam selama satu bulan penuh.
Zacky Khairul Umam adalah alumnus Program Studi Arab FIB UI dan kandidat doktor sejarah Islam di Freie Universität Berlin. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi tentang pemikiran Islam di Madinah abad ke-17. Ia pernah bekerja sebagai peneliti tamu pada École française d'Extrême-Orient (EFEO) Jakarta 2019-2020.
Editor: Ivan Aulia Ahsan