tirto.id - Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia.
Kalimat itu menjadi pembuka tulisan Ulil Abshar-Abdalla yang terbit di Kompas pada 18 September 2002. Dalam tulisan berjudul "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" itu, ia mengkritik bagaimana Islam yang banyak dijadikan monumen mati dan tidak mengikuti perubahan zaman dan konteks.
Salah satu poin kritik pedasnya adalah mendekonstruksi konsep hukum Tuhan yang menurutnya tak ada. Hukum yang selama ini diartikan sebagai hukum Tuhan menurutnya adalah buah dari tafsir dan kebudayaan pada masanya. Misalnya hijab, potong tangan, rajam, jenggot, jubah dan lainnya.
“Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari'ah, atau tujuan umum syariat Islam,” tulis Ulil.
Kritik itu sontak mengundang reaksi dari umat Islam dan ulama. Forum Ulama Umat Islam adalah salah satu yang bereaksi keras. Mereka mengeluarkan fatwa mati bagi Ulil. Ulil pun mendapat banyak ancaman setelah fatwa itu keluar.
Reaksi juga datang dari A. Mustofa Bisri, mertua Ulil. Gusmus begitu sapaan akrabnya membalas kritikan Ulil itu lewat tulisan berjudul "Menyegarkan Kembali Sikap Islam" di koran yang sama dua minggu setelah tulisan Ulil terbit. Ada tiga poin kesalahan Ulil yang dikemukakan Gusmus, pertama Ulil memilih media yang salah, kedua Ulil menulis dengan geram dan nafsu, ketiga Ulil menulis itu pada bulan Ramadan.
“Semua orang tahu, semangat yang berlebihan kadang menyeret orang kepada perbuatan bodoh,” tulis Gusmus.
Jaringan Islam Liberal
Buntut panjang dari tulisan itu bukan semata-mata karena kritik, tapi juga karena label yang digunakan Ulil sebagai penulis. Ia mengkritik sekaligus memperkenalkan gagasan baru Islam di Indonesia lewat lembaga Jaringan Islam Liberal (JIL). Sematan “Islam Liberal” ini yang juga berkontribusi membikin geger.
Sematan ini agaknya jauh dari sosok Ulil yang merupakan santri Nahdlatul Ulama yang membumi karena Islam tradisional. Ulil lahir dari keluarga pesantren pada 11 Januari 1967. Ayahnya adalah Abdullah Rifa'i dari pesantren Mansajul Ulum, Pati. Sejak ia sekolah sudah mengidolakan Gusdur dan Cak Nur. Hampir semua tulisan-tulisan dua tokoh itu dilahapnya. Dua tokoh itu pula yang menggugahnya untuk mendalami Islam.
Dengan dasar Islam tradisional ini, Ulil melangkah sebagai salah satu tokoh Islam liberal. Kontroversi-kontroversi pemikiran Ulil pun terus bergulir sejak Islam Liberal itu terstempel dijidatnya. Dua diantaranya yang cukup menyita perhatian publik adalah soal pernikahan beda agama dan pembelaan Ulil terhadap Ahmadiyah.
Ulil berpandangan nikah beda agama adalah mutlak diperbolehkan. Tak terkecuali perempuan muslim dengan laki-laki dari agama apapun. Argumentasi ini pernah dijabarkan Ulil lewat Kultwit pada Mei 2013 lalu.
Kontroversi pemikiran Ulil ini sempat membuatnya dicekal oleh Malaysia. Ulil pernah ditolak masuk ke Malaysia saat akan menghadiri diskusi panel berjudul Religious Fundamentalism Threat in This Century di Kuala Lumpur pada 18 Oktober 2014. Mereka mendasarkan penolakan mereka dengan tuduhan bahwa Ulil adalah pengikut Ahmadiyah, sedangkan Malaysia adalah negara yang menganut ajaran Sunni.
Penolakan Ulil dan Islam Liberal belakang juga menjadi ramai. Muncul gerakan Indonesia Tanpa JIL sebagai counter terhadap apa yang dilakukan Ulil dan teman-temannya. Sikap konservatif kelompok Islam ini yang membuat Ulil gelisah. Padahal, jika membaca kitab-kitab Islam klasik ada begitu banyak khasanah pemikiran di sana. Dari yang liberal sampai yang fundamental.
Membuat Umat Resah
Sejak awal mendirikan JIL, Ulil dengan sadar mengambil peran yang tidak pernah dimainkan oleh banyak pemikir Islam di Indonesia. Dalam wawancaranya di program Manusia-Manusia Indonesia pada 2016, Ulil mengatakan bahwa tugasnya adalah membuat orang-orang menjadi resah.
“Tugas saya adalah mengganggu kenyamanan orang-orang dalam berpikir, supaya orang-orang tidak nyaman. Tugas saya bukan seperti dai-dai pada umumnya, yang memberikan ketentraman seperti Arifin Ilham, Yusuf Mansur. Itu sudah banyak sekali. Umat Islam di Indonesia sudah banyak memiliki figur yang menenangkan,” kata Ulil.
Figur-figur seperti itu disebut Ulil sebagai figur aspirin. Menurutnya, figur seperti itu dibutuh oleh umat Islam, tapi ada ruang lain yang harus juga diisi. Yakni ruang di mana umat Islam untuk bertanya dan tergugah.
Ia ingat bagaimana Gusdur mengibaratkan Islam itu adalah sebuah mobil. Mobil bisa berjalan dengan baik jika ada kombinasi antara pedal gas dan rem. Tugas Ulil dan Islam Liberal adalah menancap gas sekencang-kencangnya untuk mengetahui seberapa kecepatan maksimum.
“Nah tugas ngerem itu bukan tugas kami, itu tugas MUI, tugas NU, Muhammadiyah dan tokoh-tokoh yang selama ini menjadi aspirin. Kalau umat Islam itu isinya rem semua, ya nggak jalan mobilnya,” katanya.
Di sisi lain, kondisi masyakat Islam Indonesia yang kian lama mengalami pendangkalan, juga membuatnya resah. Ulil menangkap gejala kafir-mengkafirkan yang tren belakangan ini adalah wujud nyata dari kegagalan menerima perbedaan. Ini adalah efek dari Islam Aspirin yang hanya menenangkan.
“Makanya kalau ada yang berpendapat berbeda langsung dianggap sesat. Ini sebenarnya mulanya adalah gejala sosial sebelum menjadi gejala teologi. Orang menjadi sensian kalau ada orang yang berpikir di luar pakem,” katanya.
Mendekati Kembali Tradisi
Agaknya kritik yang pernah ditulis mertuanya, didengarkan dengan baik oleh Ulil. Semangat muda yang menggelora saat ia menulis di Kompas dulu kini sudah tidak lagi nampak. Sejak setahun terakhir, Ulil yang garang tidak lagi terdengar. Pada bulan Ramadan 2017, Ulil mulai membuat kajian online kitab-kitab yang lebih filosofis, salah satunya kitab Ihya.
Perubahan ini diakui Ulil. Pada Februari lalu, Ulil menjelaskan perubahan itu lewat status Facebook. Ia mengakui ada fase di mana ia menjadi orang yang arogan dalam berpendapat. Namun semua itu semata-mata karena kejengkelannya pada pandangan keagamaan yang radikal dan fundamentalistik.
“Fase arogansi yang pernah menjangkiti saya ini mungkin dipengaruhi juga oleh semacam 'youth enthusiasm', semangat kemudaan yang menggebu-gebu, fase yang alamiah dalam perkembangan psikologi seseorang,” tulis Ulil dalam laman Facebook-nya.
Faktor lain adalah soal kemapanan usia. Dalam suatu wawancara, Ulil sempat mengatakan bahwa "life begins at 40". Pada usia itu, kata Ulil, orang memasuki pada usia yang mapan. Watak orang akan benar-benar menetap pada usia itu. Begitu pula yang dirasakan oleh Ulil.
Pada saat yang bersamaan, ia juga menemukan hal baru yakni spiritualitas. Spiritualitas ini dimaknai Ulil sebagai hikmah dengan kesadaran yang mendalam pada dirinya bahwa ia adalah makhluk daif. Sisi spiritualitas ini yang menggembosi ego yang bisa merusak diri sendiri.
“Berpikir rasional dan bersikap spiritual bukanlah dua hal yang bertentangan,” katanya.
====================
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Maulida Sri Handayani