Menuju konten utama

Ulil Abshar: "Soal FPI, Sikap Saya Beda dengan JIL Lain"

Ikon Jaringan Islam Liberal (JIL) berbicara tentang rival lamanya: FPI.

Ilustrasi Ulil Abshar. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Lima belas tahun lalu, Ulil Abshar Abdalla difatwa mati di Bandung. Delapan puluh ulama yang tergabung dalam Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) ini menganggap jaringan yang didirikan Ulil bersama beberapa kawannya itu secara sistematis dan masif menghina Islam, Allah, dan Rasulullah.

Sebulan sebelum vonis itu, Ulil menulis sebuah esei yang dimuat harian Kompas berjudul "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam."

Sedikit petikan yang ada dalam uraian Ulil: "Islam"-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula.

Tulisan itu kontan membikin geger karena arus utama melihat ajaran Islam sebagai hukum yang berlaku universal, terlepas dari kondisi atau syarat apa pun. Maka, kesimpulan FUUI: Ulil memutarbalikkan ajaran agama, dan ia layak dihukum mati.

Ulil juga berbicara lantang tentang Islam-politik dan kaum konservatif. Pada 2010, ia menyatakan FPI seharusnya dibubarkan. "Menurut saya, FPI yang sekarang perlu dibubarkan dulu. Kalau berdiri lagi, dimodifikasi dan dimoderasikan. Kalau berdiri lagi tidak apa-apa, tapi lebih civilized-lah," katanya seperti dilansir Viva.

Namun, itu dulu. Setelah Pilkada DKI beberapa bulan lalu yang dipenuhi kampanye agama, gagasannya kini lain dengan yang dilontarkannya 7 tahun lalu.

"Bagaimanapun mereka [FPI] sekarang punya umat," Ulil mengutarakan pendapatnya kepada saya setelah Pilkada DKI selesai, April lalu. "Kalau Anda eksklusi mereka terus-menerus dalam jangka panjang, mereka bisa menjadi ekstrem."

Ulil mengakui bahwa lontarannya sebagai politikus tak bisa lagi sama dengan cara pikir seorang pemikir. Berikut ini wawancara kami.

Sebagai patron dari gerakan Islam liberal, apa yang akan Anda lakukan dengan seluruh laga konservatisme ini?

Saya kan bukan orang yang penting, jadi saya akan ngetwit saja.

Yang akan Anda lakukan bersama JIL?

JIL bukan organisasi yang penting sebetulnya. Enggak ada umatnya. Enggak ada parpol yang mendukung. Enggak ada bohirnya.

JIL berhasil sebagai merek. Ada gerakan #IndonesiaTanpaJIL segala. Anda berhasil sebenarnya di situ.

Ya, saya menciptakan ruang berpikir. Itu saja yang saya lakukan sebenarnya. Melalui tulisan, Twitter, status di Facebook. Itu aja. Ceramah-ceramah. Tugas intelektual kan hanya ngomong, nulis. Tidak lebih dari itu. Itu yang bisa saya lakukan. Karena saya tidak punya apa-apa.

Tapi dulu Anda dianggap penulis yang suka ngajak perang dengan pandangan arus-utama?

Enggak pernah saya nulis ngajak perang. Tulisan saya selalu critical ya. Saya bukan tipikal orang yang suka polemik. Itu persepsi orang yang keliru terhadap saya. Ya, saya sampaikan pendapat saya. Ada yang suka, ada yang enggak suka. Wajar saja. Tapi saya bukan orang yang suka buat polemik, cari musuh, lalu tweet-war. Enggak pernah.

Anda mungkin ingat tulisan Anda yang kontroversial dan dikomentari mertua Anda sendiri (Ahmad Mustofa Bisri)?

Itu tahun lama sekali, 2001 [yang benar tahun 2002]. Tapi itu kan setelah saya nulis, ya sudah. Ada yang menanggapi, saya tidak tanggapi balik. Saya enggak suka polemik. Enggak setuju ya enggak setuju. Tapi saya tetap dengan ide saya. Ide saya enggak berubah sejak sebelum Pilkada.

Baca juga: Ulil, Ahok, dan Para Pembakar Rumah

Enggak ada belokan (pemikiran)?

Enggak ada belokan. Mungkin ada perubahan dalam segi-segi tertentu. Misalnya setelah pilkada ini, saya melihat dalam politik memang kita enggak bisa berlaku seperti dalam dunia pemikiran. Dalam dunia pemikiran, Anda bisa bebas menyampaikan ide yang ekstrem. Tapi dalam politik lain. Hukumnya beda.

Makanya saya bilang Ahok itu bukan Gus Dur. Ahok bukan pemikir. Gus Dur itu pemikir muslim yang dikenal dengan ide-ide yang nakal dan punya modal besar sebagai tokoh Islam dan cucu K.H. Hasyim Asy'ari. Sehingga, kalau Gus Dur nakal, ia punya bemper. Saya sendiri enggak punya bemper.

Itu salah satu pelajaran yang saya peroleh dari politik, ya. Mungkin kalau saya enggak masuk politik, saya enggak tahu. Makanya banyak yang bilang, “Kenapa ketika Anda masuk politik seketika Anda berubah sikapnya?”

Ya karena begitu masuk politik saya enggak bisa bersikap seperti pemikir liberal. Kecuali kalau saya berbicara pada level diskusi ilmiah, tentu saya akan memposisikan diri saya sebagai seorang pemikir, tapi sebagai politisi, saya harus mempertimbangkan banyak hal. Publik, segala macam.

Akhirnya memang kita harus berkompromi atas segala hal. Nah, kompromi itu dianggap mengkhianati ide. Ya tergantung. Kalau kompromi itu sampai melanggar filosofi dasar pemikiran awal, memang itu mengkhianati ide. Tapi kalau kompromi dalam pengertian kompromi sifatnya taktis atau strategis, bukan yang sifatnya ideologis, buat saya itu bukan sesuatu yang diharamkan dalam politik. Bahkan itu keniscayaan.

Tapi bagi saya, ini sebuah pendidikan politik yang penting untuk publik. Pilkada DKI ini kalau dibaca dari sudut pandang politisi seperti saya ini sebenarnya sederhana. Anda lihat dalam Pilkada ini orang-orang yang bekerja dalam dunia politik justru lebih rileks menghadapi Pilkada ini. Kalah, ya sudah selesai. Nanti kita berjuang lagi. Tapi justru orang-orang yang berada di luar politik menganggap ini seolah-olah perjuangan antara hak dan batil.

Jadi, ini sebenarnya pendidikan buat publik bahwa next time kalau kamu mendukung seseorang jangan kayak sekarang ini. Pada satu titik, Anda harus bersikap seperti politisi. Rileks saja. Kalah, ya sudah. Sikap para politisi kan lebih rileks dalam menghadapi Pilkada ini. Enggak ada yang marah-marah, ya mungkin kecuali beberapa orang. Tidak menganggap kalau saya kalah itu dunia runtuh.

Nah, sekarang ini orang-orang yang pro-Ahok atau yang pro-Anies. Yang pro-Anies ini juga sama, kalau Anies kalah ini menganggap indonesia jatuh ke tangan kaum sekuler, liberal, dan akan jadi negara rusak moralnya.

Yang mendukung Ahok juga sama. Kemenangan Anies dianggap akhir kebhinekaan di Indonesia. Come on. Ini sebetulnya masalah biasa. Publik ini harus belajar dari politisi untuk bisa bersikap rileks semacam itu. Tidak menganggap ini akhir dunia.

Jika berkaca pada Aksi Bela Islam, pengaruh dua organisasi besar, NU dan Muhammadiyah, seperti tergantikan oleh karisma Rizieq Shihab dan FPI. Bagaimana menurut Anda?

Itu problem, memang harus diakui. Faktanya sekarang ini kalau di Jakarta pengaruh Muhammadiyah dan NU disalip oleh pengaruh Islam yang cenderung kanan atau kanan semacam FPI dan GNPF MUI itu. Atau gerakan Salafi. Mereka memiliki penetrasi sosial yang jauh lebih mendalam daripada NU dan Muhammadiyah. Ini tantangan buat NU dan Muhammadiyah untuk mengatasi itu.

Saya banyak diskusi dengan teman-teman NU soal bagaimana cara mengatasi ini. Masjid-masjid di Jakarta, terutama masjid-masjid yang berafiliasi dengan NU dan Muhammadiyah umumnya menjadi wilayah operasi kelompok-kelompok Islam kanan untuk menyebarkan konservatisme. Itu harus dipikirkan.

Tapi ini mungkin kesalahan dari pihak NU dan Muhammadiyah: Kenapa mereka tidak memikirkan itu? Dulu mungkin mereka lupa siapa yang mengisi pengajian di masjid-masjid milik kantor pemerintah. Itu menurut saya problem serius. Selama ini kita mengabaikan pentingnya tempat ibadah yang tersembunyi di basement di kantor-kantor swasta di Sudirman dan Thamrin. Siapa yang mengaji di sana?

Konservatisme per se tidak jadi soal. Tapi kalau konservatisme plus pendapat yang ekstrem dan membenci kelompok lain yang berbeda atau menyebarkan ide tentang orang nonmuslim tidak boleh menjadi pemimpin dan seterusnya, itu enggak sehat. Anda tidak boleh mengucapkan Natal, misalnya, dan seterusnya. Ini membuat hubungan sosial menjadi penuh kecurigaan karena jenis wacana keagamaan yang disebarkan di kantor-kantor pemerintah dan swasta tidak bervisi kebhinekaan atau pluralisme.

Ini menurut saya tugas panjang yang mesti dipikirkan oleh tokoh-tokoh Islam ketimbang menyalahkan terus pihak luar. Ini masalah internal yang harus diselesaikan.

Bahkan anak-anak yang terlahir dari orangtua NU dan Muhammadiyah sekarang sudah mulai mengidolakan Rizieq Shihab.

Oh iya, banyak dari mereka yang mengidolakan Bahtiar Nasir. Karena mereka menganggap itulah “the real hero.” Makanya, ketimbang kita menyalahkan Bahtiar Nasir terus menerus, mending kelompok Islam yang moderat melakukan sesuatu untuk mengimbangi dakwah-dakwah tokoh seperti Bahtiar Nasir dan seterusnya.

Gerakan Salafi di Jakarta itu jejaringnya bagus dan cukup populer. Jadi, di Jakarta sekarang ini ada tiga gerakan penting yang berpengaruh mendalam di masyarakat, di luar yang konvensional seperti NU dan Muhammadiyah.

Pertama, kelompok PKS dan semacamnya. Kedua adalah HTI, dan ketiga adalah Salafi. Kelompok seperti PKS dan HTI itu populer di kalangan anak muda, terutama mahasiswa. Kedua gerakan ini mampu memberikan ideologi dan cara pandang yang mereka inginkan, yaitu mempunyai identitas keislaman yang jelas melawan ancaman dari luar.

Salafi tidak populer di kalangan mahasiswa dibanding HTI, PKS atau ikhwan, tetapi lebih populer di kalangan orang-orang yang sudah punya keluarga. Di usia 30-40an yang sudah punya anak satu, dua yang butuh ketenangan dalam beribadah. Akidahnya terjaga, imannya kuat, hidup sesuai dengan tuntunan rasul. Memang sedikit merisaukan karena kelompok ini mencela praktik-praktik agama kelompok lain, bidah, sirik dan seterusnya.

Tapi yang kelompok ini inginkan sesungguhnya kesyahduan beragama dalam kehidupan sehari-hari dan menjaga akidah supaya tidak terkotori oleh pengaruh-pengaruh dari luar. Nah, itu. NU dan Muhammadiyah itu rumusan ideologinya kalah bersaing dengan mereka karena memang kurang diformulasikan dengan mental kebutuhan sosial dan psikologis orang-orang kota.

Itu tantangan besar. NU dan Muhammadiyah pada akhirnya harus menyadari bahwa orang kota ini salah satu problem besarnya adalah alienasi, situasi yang enggak jelas. Yang dibutuhkan adalah sesuatu yang membuat orang tenang dan bisa memberikan identitas yang jelas. Pegangan yang jelas. Perlu dirumuskan pandangan keagamaan dari sudut pandang Muhammadiyah dan NU yang bisa menjawab kebutuhan keagamaan orang kota ini.

Itu tidak terhindarkan kalau mau bersaing di wilayah atau ruang sosial seperti Jakarta ini yang penuh dengan anomi, penuh dengan alienasi, penuh dengan deprivasi karena faktor ekonomi, misalnya. Ada orang miskin yang butuh juga jawaban, kan. HTI memberi jawaban karena mereka mengkritik kapitalisme.

Apa bedanya dengan orang miskin di desa?

Di kampung ada jaringan sosial yang support, sementara di kota kan enggak ada. Sementara negara kita belum bisa menyediakan keamanan bagi orang miskin. Kalau bayangan saya, agama yang ideal di kota ini adalah agama yang bisa memenuhi kebutuhan untuk mengatasi alienasi dan anomi sosial. Yang kedua, bisa memberikan menjawab atau memberikan solusi bagi orang-orang yang mengalami peminggiran dan ketidakadilan sosial itu.

Kalau Anda tidak bisa mengatasi masalah ekonomi, minimal Anda membangun social support system yang membuat mereka merasa enggak nelangsa-nelangsa amat. Ya, persaudaraanlah. Minimal ada musala yang memperhatikan mereka. Minimal mengunjungi mereka kalau mereka sakit.

Kayak di Eropa sekarang ada gereja yang menampung imigran Suriah yang terdampar di Jerman, misalnya. Mungkin tidak bisa ngasih makan terus menerus, tapi kan minimal ada yang mendengarkan keluhan mereka. Nah, agama Islam perlu merumuskan ideologi yang semacam itu, tapi jangan terjatuh pada fundamentalisme dan radikalisme.

Ini rumit karena situasi sosial semacam ini rentan banget dieksploitasi untuk memasarkan ideologi yang radikal. Maka, kita carikan solusi untuk alienasi dan deprivasi dan ketidakadilan sosial itu, tapi tidak terjatuh di dalam radikalisme dan ekstremisme dan mengeksploitasi identitas secara sembrono dan secara berbahaya.

Apakah pengkutuban ini mungkin disebabkan orang yang melangkah lebih moderat cenderung lebih individualis?

Begitu Anda masuk ke dalam masyarakat urban, salah satu dampaknya memang individualisme semakin menguat. Itu tidak bisa dihindari. Itu bukan hanya fenomena saat ini, tetapi juga fenomena kota-kota pada Abad Pertengahan, kota di zaman kerajaan Islam di Bagdad atau di Damaskus, Andalusia. Meski derajatnya tidak seperti sekarang, orang di kota jauh lebih otonom dan individualistis ketimbang di desa.

Tapi, individualisme ekstrem itu bisa menjadi masalah, karena bisa menjadi bumi semai untuk ideologi radikal dan fasisme. orang yang merasa sendirian di kota dan tidak merasa dijamah oleh social network bisa mencari pelarian. Kalau tidak ke drugs, mereka lari ke ideologi yang radikal.

Itulah yang menjelaskan kenapa ISIS berhasil merekrut anak-anak muda yang mengalami problem mental semacam itu. Pada akhirnya kita enggak bisa mengutuki fundamentalisme agama. Itu harga yang harus kita bayar ketika kita menjadi modern. Tapi kita harus cari solusinya. Agama itu sebenarnya sisi lain dari modernitas.

Sebagai orang NU, mengapa Anda tidak masuk PKB, malah masuk Partai Demokrat?

Terlalu banyak orang NU di sana. Orang-orang NU kan juga perlu menyebar ke banyak partai. Kebetulan di Demokrat belum banyak. Jadi saya menganggap ini wilayah yang masih terbuka. Saya nyaman dalam partai ini, meskipun tidak semua posisi politik teman-teman Demokrat saya sepakati, tapi kan itu biasa.

Kalaupun saya masuk partai lain, hal sama pasti saya hadapi. Tapi ya itu, yang saya risau pilpres mendatang. Kalau mengulang polarisasi sekarang, bahaya banget. Sebetulnya kita itu sudah mencapai banyak hal setelah reformasi, tapi saya khawatirnya kita kayak terpenjara di tengah-tengah, nanggung. Otoriter enggak, tapi demokrasi yang mapan dan menjamin civil rights sepenuhnya juga enggak. Ekonominya lumayan baik, tapi enggak juga. Jadi kayak problem Filipina.

Saya enggak mau Indonesia jatuh karena faktor agama. Saya setuju dengan teman-teman di pihak pendukung Ahok ya, bahwa masalah agama ini penting. Cuma cara menghadapinya saya punya perspektif yang agak beda. Justru karena masyarakatnya makin konservatif, jadi harus hati-hati. Harus didekati dengan cara yang lebih wise. Begitu enggak [bijak], kita bisa slip dan enggak karu-karuan akibatnya.

Teman-teman Anda di JIL kebanyakan pendukung Ahok.

Hampir semuanya, enggak ada yang tidak mendukung Ahok. Tapi saya biasa saja. Memang saya punya perspektif sosial politik berbeda dengan teman-teman saya yang di JIL dalam melihat masalah Jakarta ini. Seperti saya bilang, menghadapi konservatisme di Jakarta, sebagai pemikir saya bisa melontarkan ide yang seekstrem-ekstremnya, tapi sebagai aktor politik lain lagi.

Misalnya, saya enggak sepakat orang terlalu mengkritik secara sepihak Anies yang mendekati FPI. Saya enggak sepakat. Karena begini. Kalau Anda menjadi politisi, Anda harus mendekati kelompok sosial mana pun untuk meraih dukungan. Tetapi bukan berarti Anda didikte oleh segmen politik yang Anda dekati.

Kita butuh suara mereka, butuh menampung suara mereka yang masuk akal. Begitu enggak masuk akal ya ditolak saja. Tidak berarti [politisi] tunduk pada platform mereka, tapi ya diajak bicara supaya tidak terealienasi. Saya berpegang pada prinsip demokrasi, begitu Anda mengalienasi sebuah kelompok tertentu, Anda justru mendorong mereka menjadi kelompok yang begitu ekstrem. Jika Anda akomodasi mereka, Anda tarik ke tengah, Anda rangkul, kemungkinan mereka untuk menjadi ekstrem dapat dikurangi.

Kalau Anda mengalienasikan kelompok-kelompok seperti FPI ini terus menerus dengan alasan mereka ini tidak setuju pluralisme—ini bukan soal gagasan ya, tapi soal politik—kalau mereka Anda eksklusi secara terus menerus, kalau mereka nanti bikin ribut, gimana?

Jadi lebih baik mereka dapat ditampung dalam proses politik elektoral ini sehingga mereka mengalami moderasi. Kalau kelompok teroris (ISIS) yang menghendaki kerusakan, jelas-jelas enggak bisa. Saya juga enggak suka Anies itu dekat-dekat dengan mereka, kepinginnya Anies dekat-dekat dengan NU Muhammadiyah, tapi kan NU terutama agak mengambil jarak karena ada PKS.

Jadi, kesimpulannya FPI itu punya ceruk, penting?

Ya, bagaimanapun mereka sekarang punya umat. Nah ini yang membedakan saya dengan teman-teman JIL lain. Dalam soal politik, ya. Kalau ide liberalisme pada umumnya sama, tapi begitu menghadapi situasi politik yang spesifik, memang saya beda.

Saya tidak juga menyalahkan Ahok dan pendukung Ahok yang menghindari dekat dengan FPI. Pendekatan mereka, menyelesaikan masalah dengan FPI melalui eksklusi. Kalau FPI berbuat salah harus dihukum, jangan didekati. Pendekatan itu masuk akal, tetapi ada risikonya. Kalau Anda eksklusi mereka terus-menerus dalam jangka panjang, mereka bisa menjadi ekstrem. Tidak bisa dikontrol.

Baca juga artikel terkait FPI atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Politik
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Zen RS
-->