Menuju konten utama

Ulil, Ahok, dan Para Pembakar Rumah

Rekam jejak Ulil sebenarnya tak cocok dengan Partai Demokrat yang menjual citra "politik santun".

avatar muhidin m dalhan

tirto.id - “Kalau tak malu, perbuatlah sesukamu/ Idza lam tastahi fasna’ ma syi’ta” ~ Ulil Abshar-Abdalla menyitir perkataan Nabi Muhammad Saw (1999: 46)

Jika Anda ingin menulis esai yang lugas, belajarlah pada Ulil Abshar-Abdalla. Boleh dibilang Ulil adalah Cik Guru saya secara in absentia dalam soal pedoman menulis esai yang tajam setajam syilet. Bukan Gus Mus, bukan Gus Dur, tapi Ulil. Bukan Masdar Farid atau Mahbub, tapi U.L.I.L. Bukan Baso, tapi U.L.I.L.

Saya melakukan itu di pengujung 1998 dan sepanjang 1999. Gaya Ulil menulis itu khas: memadukan antara ilmu “Islam perdesaan”—istilah Kuntowijoyo saat ceramah di Pelajar Islam Indonesia (PII) pada 1980-an—dan ilmu sosial kontemporer khas kaum terpelajar di perkotaan. Ia fasih mengaji dan menganggit kitab-kitab lama. Bahkan bicara tentang seksualitas pun, masya Allah, mahir betul dia merujuk kitab-kitab klasik (lihat esainya, "Kitab Kawin Mawin", di Jurnal Kalam edisi 19/2002).

Maklum, ia santri dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Juga lahir dan besar dari keluarga dan lingkungan kyai. Tapi, ia juga lihai dalam mengorganisasi kata-kata. Maka: jadilah esai-esai pendek yang memikat lagi tajam.

Ulil, sepotong nama ini, lama tak terdengar mengeluarkan tulisan setelah sibuk dalam politik praktis bersama Partai Demokrat. Biasanya jika ia muncul karakternya tak mengalami perubahan apa pun. Selalu begitu. Kata-kata yang diproduksi dan direproduksinya kerap mengajak berantem. Bacalah “esai Twitter”-nya pekan ini. Misalnya kalimat yang ini: Ahok ini "too dangerous to our social fabric". Lalu, “Saya harus mengatakannya: Ahok berbahaya bagi hubungan antar-agama di negeri ini.”

Ulil memang begitu. Tukang berkelahi. Sejak masih berkeringat mencari penghidupan lewat honor tulisan di koran dan majalah, Ulil adalah penulis muda NU yang galak; kelewat galak malah. Ketika Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ditudingnya berbahaya, ahai, Ulil sudah jauh hari lebih berbahaya. Bahkan, jauh sebelum ia benar-benar bergabung dalam gerbong partai politik.

Ketika Ahok dituding membahayakan hubungan antar-agama, Ulil malah sudah memakan sampai tandas semua tudingan yang jauh lebih sangar: agen perusak Islam dan darahnya halal. Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dibikinnya bersama gerbong anak-anak muda NU yang baru mentas dari “Islam perdesaan” menjadi laskar kota yang siap berhadapan dengan siapa pun yang mengganggu kebebasan berpikir.

Ulil menyebut laskar seperti dirinya ini sebagai radikalisme pikiran. Kiblat mereka adalah berhikmat pada “wali kesepuluh” Gus Dur. Dan, dengan bertakzim kepada Gus Dur, Ulil bersama para laskar radikal sadar dan tak bisa menghindar dari cap sebagai Malin Kundang dari “Islam desa” NU.

Laskar pimpinan Ulil ini adalah sejenis laskar pembawa obor dan pembakar rumah—pinjam salah satu judul esai Ulil Abshar yang kemudian dijadikan judul bukunya yang berjenis buku-yang-bukan-buku alias kumpulan artikel: Membakar Rumah Tuhan (1999). Di Jakarta mereka terus berseru-seru sambil membawa-bawa obor menyaingi kegalakan laskar di sisi yang lain, dengan bendera lain, dengan nama lain; dari Kisdi hingga FPI.

Ulil tak habis-habisnya bersuara mencari tuhan palsu dalam masjid. Di mana ada masjid yang dipenuhi interes-interes politik, di situlah tuhan palsu bersemayam. Masjid semacam itu, lantang Ulil, harus dihancurkan sejak dari peletakan batu pertama. Sangar betul! Berani betul!

Di lapangan yang nyata berupa barisan demonstran, laskar pembakar pimpinan Ulil ini kalah dalam segala hal, tapi mereka tak pernah kehabisan muka di palagan wacana. Komunitas Utan Kayu dengan jaringan media mereka; dari Tempo hingga Jawa Pos, menjadi panggung yang cukup guna mengajak “umat yang di sana” untuk berkelahi.

Hasilnya? Dari caci-maki di mimbar-mimbar hingga bom buku menjadi peristiwa harian buat “si pembikin onar” macam Ulil.

Di akarnya pun, maksud saya di NU, posisi Ulil sama sekali tak menyenangkan. Ia bukan hanya bisa berseberangan dengan K.H. Ma’ruf Amin, bahkan bisa membuat bapak mertuanya sendiri, K.H. Mustofa Bisri, sampai menulis artikel yang menyebut Ulil telah melakukan tiga kesalahan: (1) salah memilih media, (2) melakukannya dengan geram atau nafsu dan (3) melakukannya di bulan Ramadan.

Artikel Gus Mus itu berjudul "Menyegarkan Kembali Sikap Islam" (Kompas, 4 Desember 2002). Gus Mus menulis artikel itu untuk menanggapi artikel Ulil yang berjudul "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" (Kompas, 18 November 2002), artikel yang saat itu sangat polemis, memancing perdebatan, dan memantik serangan yang bernada fisikal.

Ulil dianggap telah menghina Islam dan Nabi Muhammad sehingga halal darahnya. K.H. Athian Ali dari Bandung bahkan mengeluarkan fatwa mati untuk Ulil (Budhy Munawar Rahman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, 2010: hal 28).

Secara politik, pernyataan-pernyataan Ahok dan kuasa hukumnya kepada K.H. Ma'ruf Amin di persidangan terbukti langkah yang buruk. Namun di depan hukum, apalagi ini di medan persidangan, tidak ada itu presiden, konglomerat, pendeta, rahib atau kyai. Semuanya setara, semuanya memanggil hakim dengan sebutan "Yang Mulia". Kesetaraan, baik di muka hukum maupun di hadapan segala kesempatan yang diberikan oleh kemajuan, adalah prinsip dasar liberalisme yang mestinya dibela dengan keras kepala, dengan segenap-ganjil keberanian dan nyali, oleh pemuka liberalisme di Indonesia -- sebagaimana bertahun-tahun diperlihatkan dengan perkasa oleh Ulil.

Karena itu, menurut saya, Ulil adalah salah satu segmen penyumbang “ketakharmonisan”. Rekam jejak kalimat-kalimatnya yang suka ngajak kelahi di palagan wacana, juga karena usianya yang baru 50 tahun, belum "cocok" untuk mengajak manusia-manusia berkarakter Ahok dan laskar-laskar pembakar rumah lainnya untuk bersama-sama merawat harmoni sosial.

Biarlah soal merawat harmoni sosial dan kebhinekaan itu domain bahan ceramah Aa Gym. Atau, biarlah soal keteladanan menjaga “tenun kebangsaan” dan “harmoni antarumat” itu menjadi laku salik dari Mbah Maimun Zubair, Kiai Mustofa Bisri, Prof. Quraish Shihab, atau kiai-kiai di desa yang tawadhu yang jauh dari “interes-interes politik” dan sesembahan “tuhan palsu” di ibu kota.

Sebagai kata pamungkas, Ulil juga saya kira kurang cocok di partai yang selalu menjual dirinya sebagai kelompok “politisi santun”. Partai yang cocok, mohon maaf kalau saya keliru besar, adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kenapa? Menggenapkan segela cap yang ganjil-ganjil yang sudah lebih dulu melekat padanya: “sarang komunis”, “sarang syiah”, “sarang salib/nashara”, dan kini “sarang liberalis”.

Ini saya usulkan semata untuk menjaga soliditas JIL. Jangan karena Ahok dan Pilkada DKI, laskar dan perkauman liberal ini bubar jalan. Itu, kan, cemen dan jauh dari heroisme. Laskar FPI bisa tertawa terbahak-bahak jika itu terjadi. Ayo, insyaf dan kembali ke jalan liberal dengan segala pesona dan tantangannya yang menggairahkan itu.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.

-->