tirto.id - Dilansir dari Arab News, Arab Saudi sepakat untuk memasukkan bahasa Mandarin ke dalam kurikulum pendidikan dari tingkat sekolah sampai universitas. Keputusan itu diambil saat Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) bertemu dengan delegasi tingkat tinggi Cina di Beijing pada 22 Februari 2019.
Menurut siaran pers Kerajaan Saudi yang dikutip dari Saudi Gazette, pengenalan bahasa Cina ke dalam kurikulum pendidikan Saudi adalah langkah penting menuju pembukaan cakrawala akademik baru bagi para siswa di semua jenjang pendidikan. Program pengajaran bahasa Mandarin ini sekaligus sebagai bagian dari program Visi Saudi 2030 di bidang pendidikan.
Visi Saudi 2030 adalah rencana untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada minyak, mendiversifikasi ekonominya, dan mengembangkan sektor layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan pariwisata. Program jangka panjang ini dicetuskan oleh MBS pada 25 April 2016.
Sebaliknya, Arab Saudi mempromosikan bahasa Arab di Cina dengan cara membikin penghargaan kepada orang-orang yang dianggap berjasa di bidang kebudayaan Cina-Arab. Para akademisi, penerjemah, sastrawan, dan inovator yang berasal dari dari Cina maupun Saudi bakal diganjar penghargaan yang disponsori oleh Pangeran MBS.
Penghargaan tersebut bakal diberikan untuk penelitian ilmiah terbaik dalam bahasa Arab, karya seni terbaik, terjemahan buku Cina-Arab terbaik dan sebaliknya, orang terbaik tahun ini, dan orang berpengaruh di lingkungan kebudayaan Cina-Arab.
"Kemitraan ini atas nama Putra Mahkota Mohammed bin Salman dan mewakili komitmen bersama untuk membangun jembatan budaya antara kedua negara, mengembangkan pertukaran budaya, dan mempromosikan peluang artistik dan akademik bagi warga negara kami," kata Menteri Kebudayaan Arab Saudi, Pangeran Badr bin Abdullah bin Farhan.
Politik yang Mendukung
Kesepakatan memasukkan bahasa Mandarin ke dalam kurikulum pendidikan di Saudi tidak berdiri tanpa latar belakang. Dalam pertemuan yang sama, pembahasan dan kesepakatan juga merentang ke persoalan ekonomi sampai situasi politik.
Seperti diwarakan Reuters, MBS datang ke Beijing untuk menandatangani kesepakatan pembangunan kompleks penyulingan minyak dan petrokimia senilai 10 miliar dolar. Selain itu, Arab Saudi menandatangani 35 perjanjian kerja sama ekonomi dengan Cina senilai total 28 miliar dolar. Saling lempar pujian dipertontonkan antara Presiden Xi Jinping dengan Pangeran MBS setelah sesi pertemuan.
"Tiongkok adalah teman dan mitra yang baik bagi Arab Saudi," ujar Xi Jinping di hadapan wartawan.
Yang dipuji tak mau kalah.
“Dalam ratusan, bahkan ribuan tahun, interaksi antara kedua belah pihak sangat bersahabat. Selama pertukaran yang begitu lama dengan Cina, kami tidak pernah mengalami masalah dengan Cina,” balas MBS.
Pertemuan ini juga menyebut represi pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur. Tak diduga, Pangeran MBS justru mendukung langkah Cina yang menjebloskan banyak warga muslim Uighur ke kamp konsentrasi. Ia menyebut bahwa Cina berhak mengatur negaranya termasuk membangun kamp konsentrasi Muslim Uighur di Xinjiang.
“Cina punya wewenang untuk mengatasi terorisme dan ekstrimisme karena itu adalah bagian dari keamanan nasional,” kata MBS, dikutip dari The Telegraph.
Karena melihat permasalahan kamp konsentrasi dan Muslim Uighur sebagai langkah memerangi terorisme, Presiden Xi Jinping menyatakan baik Cina maupun Arab Saudi harus memperkuat kerja sama internasional terhadap deradikalisasi untuk mencegah menyebarnya pandangan ekstrimis.
Sebelumnya, di KTT G20 di di Buenos Aires, Argentina yang diselenggarakan pada Desember 2018, Xi Jinping menjadi pemimpin negara yang paling dekat dengan MBS dibanding negara-negara lain yang memilih menghindarinya. MBS dijauhi dan dikecam dunia lantaran diduga kuat sebagai otak kasus pembunuhan jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi.
Xi Jinping dalam pertemuannya dengan MBS di Argentina justru memilih untuk tidak membahas persoalan tersebut dan lebih menekankan keakraban dalam hubungan perdagangan, seperti dikutip dari siaran pers Kementerian Luar Negeri Cina.
Uang yang Mengakrabkan
Saudi dan Cina resmi membuka hubungan diplomatik sejak tahun 1990 di era kepemimpinan Raja Fahd. Sejak itu, hubungan kedua negara terutama di bidang kerjasama ekonomi terus terjalin.
Hubungan antara Cina dan Saudi makin tampak dekat terutama ketika era Raja Abdullah. LaporanThe Economistpada 2010menyebut, sejak naik ke tampuk kepemimpinan pada 2005, Raja Abdullah memakai pendekatan perdagangan yang berorientasi Asia.
Sejak itu lebih dari separuh minyak Saudi sekarang mengalir ke Asia. Di Cina, Saudi Aramco sebagai perusahaan minyak terbesar di dunia, memiliki kilang minyak di provinsi Qingdao dan di Fujian. Aramco patungan membangun kilang minyak dengan Sinopec, raksasa minyak Cina dan ExxonMobil milik Amerika Serikat. Pada musim gugur 2013, Cina secara resmi mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai importir minyak terbesar.
Arab Saudi juga memberi beasiswa kepada para warga negaranya yang belajar di kampus-kampus di Cina. Beberapa orang kaya Saudi yang sebelumnya dikenal kerap gemar berbelanja di New York atau London, kini terlihat menyambangi kota-kota di Cina untuk membeli furnitur.
Bak hubungan timbal balik, Cina menjadi salah satu investor utama Arab Saudi, selain Amerika Serikat, Perancis dan Jepang yang sejalan dengan program Jalur Sutra Abad ke-21 yang digaungkan Xi Jinping. Data dariAmerica Enterprise Institute (AEI) menunjukkan bahwa pada 2018, total investasi Cina di Arab Saudi mencapai 4,39 miliar dolar. Bagi Saudi, Cina adalah mitra dagang terbesar mereka. Pada 2018, nilai impor dari Saudi ke Cina mencapai 46 miliar dolar.
Beberapa proyek menonjol yang melibatkan kedua negara ini, antara lain, adalah misi peluncuran pesawat luar angkasa Chang'e-4 yang sukses mendarat di bulan pada Januari 2019. Misi tersebut membawa dua mikrokamera besutan King Abdulaziz City for Science and Technology.
Selain itu, ada lagi jalur kereta metro Al-Mashaaer Al-Mugaddassah hasil garapan China Railway Construction Corporation yang dipakai oleh jutaan umat Islam dari seluruh dunia selama ibadah haji.
Tampaknya, Cina akan makin punya hubungan erat --berbasis uang tentu saja-- dengan Arab Saudi, menyusul negara-negara di Afrika. Di negara seperti Afrika Selatan, Uganda, Kenya, juga Malawi, Cina banyak membiayai infrastruktur serta menjalin kerjasama ekonomi dan budaya. Di sana bahasa Mandarin sudah lebih dahulu masuk dalam kurikulum pendidikan di banyak negara.
Pembelajaran bahasa Mandarin di Afrika tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Institut Konfusius, sebuah lembaga bahasa dan kebudayaan Cina. Lembaga ini punya ruang gerak seperti Goethe (Jerman) dan Institut Francais (Perancis), dengan fokus utama untuk meningkatkan pengaruh budaya Cina secara internasional.
Editor: Nuran Wibisono