tirto.id - Kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud dalam tur ke Asianya menarik perhatian banyak orang. Kunjungan tersebut akan berlangsung selama sebulan penuh. Raja Salman akan membawa 1500 delegasi termasuk 25 pangeran dan 10 menteri.
Salah satu negara di Asia yang akan dikunjungi Raja Salman adalah Cina. Menurut Gulf News, kunjungan Raja Salman ke Cina akan memakan waktu empat hari. Hingga kini belum diketahui dengan jelas agenda kunjungan Raja Salman di negara tersebut.
Diperkirakan kedua negara akan membahas seputar kerja sama bisnis. Ada juga yang menyebutkan bahwa kunjungan Arab Saudi Ke Cina guna memperkuat kerja sama dalam pemurnian minyak yang dioperasikan Saudi Aramco dan Sabic.
Apapun agendanya, yang perlu diketahui bahwa Raja Salman bukanlah pemimpin Arab Saudi pertama yang mengunjungi Cina. Jauh sebelumnya yakni pada Januari 2006, Raja Abdullah sudah terlebih dahulu mengunjungi Cina. Ia diterima Presiden Cina Hu Jintao. Raja Abdullah menjadi kepala negara pertama dari Arab Saudi yang mengunjungi Cina, setelah meresmikan hubungan diplomatik pada 1990.
Kunjungan tersebut merupakan kunjungan balasan Raja Abdullah yang sebelumnya dikunjungi oleh Presiden Cina Jiang Zemim guna menandatangani kesepakatan Strategic Oil Cooperation pada tahun 1999. Dalam kunjungan balasan Raja Abdullah, dihasilkan lima perjanjian besar pada kerja sama energi. Kunjungan itu juga digunakan untuk membahas soal perdagangan dan perpajakan.
Investasi Cina di Arab Saudi
Cina menjadi salah satu investor utama Arab Saudi, selain Amerika Serikat, Perancis dan Jepang. Data dari America Enterprise Institute (AEI) dalam laporannya berjudul China Global Investment menunjukkan bahwa pada tahun 2016 saja, total investasi Cina di Arab Saudi mencapai 1,25 miliar dolar AS.
Ada empat sektor utama investasi Cina di Arab Saudi pada tahun 2016. Sektor pertama yakni pada bahan kimia. Total investasi Cina mencapai 120 juta dolar AS. Kemudian, Cina juga berinvestasi di sektor transportasi. Jumlah investasinya mencapai 180 juta dolar AS.
Investasi Cina juga merambah ke sektor energi. Cina melakukan investasi sebesar 330 juta dolar AS di sektor tersebut. Terakhir, Cina investasi di sektor perumahan dengan nilai mencapai 620 juta dolar AS. Sektor perumahan sektor dengan nilai investasi tertinggi Cina di Arab Saudi untuk tahun 2016.
Namun, secara keseluruhan, menurut data dari EIA, sektor energi merupakan sektor penting dalam hubungan kerja sama Cina dan Arab Saudi. Meski pada 2016 investasi Cina lebih didominasi pada sektor perumahan, namun jika dilihat selama 10 tahun terakhir, investasi Cina di sektor energi mencakup satu per tiga dari total investasi Cina di Arab Saudi. Investasi Cina di Arab Saudi pada sektor energi dalam 10 tahun terakhir mencapai 10,08 miliar dolar AS.
Sebaliknya, Arab Saudi juga melakukan investasi di negeri Tirai Bambu tersebut. Data dari National Bureau of Statistics of China mengungkapkan jika total investasi Arab Saudi di pada 2015 mencapai 227,7 juta dolar dolar AS. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 30,6 juta dolar AS.
Kepentingan Minyak
Laporan The Arab Investment & Export Credit Guarantee Corporation (Dhaman) menyebutkan bahwa selain sebagai teman dalam berinvestasi, Cina juga menjadi teman utama Arab Saudi dalam perdagangan. Cina adalah negara utama tujuan ekspor Arab Saudi. Sedangkan AS berada di posisi kedua.
Pada 2014, sebanyak 13,9 persen ekspor Arab Saudi mengalir ke Cina atau 45,8 miliar dolar AS. Sementara nilai impor Arab Saudi dari Cina mencapai 20,5 miliar dolar AS atau sebanyak 13,5 dari total impor. Ini artinya, Cina mengalami defisit perdagangan dengan Arab Saudi sebesar 25,3 miliar dolar AS.
Adanya defisit yang tinggi ini, jika dianalisis dari komposisi perdagangan antara Cina dan Arab Saudi. Saudi mendatangkan barang-barang dari Cina yang mengandung teknologi canggih dan sebagian besar produk harga rendah, termasuk tekstil, pakaian dan mainan. Di sisi lain, ekspor Saudi ke Cina berupa minyak, bahan kimia, dan plastik dengan harga yang tinggi.
Menurut Bloomberg, selama 10 tahun terakhir, sekitar 20 persen kebutuhan minyak Cina dipasok dari Arab Saudi. Minyak menjadi komoditas utama dalam impor Cina dari Arab Saudi. Peneliti dari Durham Unversity, Naser Al-Tamimi dalam jurnalnya berjudul China Saudi Arabia Relations: Economic Partnership or Strategic Alliance? mengungkapkan bahwa dari perspektif Cina, keamanan energi adalah jantung hubungan bilateral dengan Arab Saudi.
Pernyataan itu diperkuat dengan pernyataan mantan Duta Besar Cina untuk Arab Saudi, Song Wei, yang mengungkapkan bahwa kata kunci dari hubungan kerja sama Cina dan Arab Saudi adalah “kerja sama energi.”
"Ketika saya masih menjadi duta besar untuk Arab Saudi, Arab Saudi menyarankan bahwa kita harus membangun kerja sama strategis, yang artinya bahwa Arab Saudi membutuhkan pasar yang stabil dan Cina membutuhkan pasokan yang stabil," ujar Song Wei.
Namun setelah menjadi penyokong minyak terbesar untuk Cina, Arab Saudi harus menerima kenyataan jika pasar potensialnya kini direbut Rusia. Pada November lalu, Reuters melaporkan jika Cina menaikkan impor minyak dari Rusia sebesar 39 persen menjadi 1,12 juta barel per hari. Sedangkan impor Arab Saudi jatuh 0,28 persen menjadi 935 ribu barel per hari.
Di penghujung tahun 2016, Rusia kembali memimpin dengan total 1,19 juta barel per hari di pasar Cina. Sedangkan penjualan minyak Arab Saudi jatuh sebesar 20 persen menjadi 841 ribu barel per hari. Selain itu, Cina malah terus menggenjot minyak dari Angola, Brazil, Venezuela dan Iran.
Tentu ini menjadi pukulan keras bagi Arab Saudi yang selama satu dekade menjadi raja minyak di pasar Cina. Sehingga mungkin pembicaraan soal minyak ini akan menjadi salah satu agenda Raja Salman di Cina nanti. Karena bagaimana pun, pendapatan Arab Saudi cukup bergantung pada minyak. Saudi juga perlu melakukan diversifikasi pendapatan, yang kemungkinan besar membutuhkan bantuan dari Cina.
Hubungan ekonomi yang intens antara Arab Saudi dan Cina menegaskan satu hal betapa uang dan modal memang tidak mengenal SARA. Saat investasi Cina di Indonesia dihajar isu SARA, dan pada saat yang sama mengagung-agungkan uang dan investasi Arab, mereka berdua -- Cina dan Arab Saudi-- justru saling berbaik-baik.
Ini memang soal ekonomi politik, bukan perkara teologi. Sebab di hadapan uang dan modal, semua menghasrati hal yang sama: yaitu laba.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti