Menuju konten utama

Raibnya Jamal Khashoggi dan Kebrutalan Rezim Mohammed bin Salman

Jurnalis Jamal Khashoggi lenyap, diduga dibunuh dan dimutilasi orang-orang Saudi di Turki. Bukti teranyar kebrutalan penguasa Saudi?

Mohammed bin Salman al-Saud. REUTERS/SPA

tirto.id - Pada 2 Oktober 2018 lalu, jurnalis Washington Post Jamal Khashoggi, lenyap setelah menginjakkan kaki di Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul, Turki.

Meski telah membantah terlibat dalam kasus hilangnya sang jurnalis, otoritas Saudi terkenal dengan rekam jejak yang sangat buruk perlindungan atas kebebasan politik. Tak terkecuali di bawah kepemimpinan Mohammed bin Salman.

Al-Jazeera melaporkan bahwa Khashoggi pernah menjabat sebagai penasihat untuk anggota kerajaan. Namun demikian, ia memang kerap mengkritik program reformasi yang dijalankan oleh Mohammed bin Salman alias MBS.

Dalam sebuah wawancara pada bulan Maret lalu, Khashoggi mengkritik praktik-praktik represif Kerajaan Saudi terhadap para pengkritik dan pembangkang. Ia menyoroti pemenjaraan sejumlah aktivis hak asasi manusia yang mengutuk kebijakan perang Saudi di Yaman.

Sang Putra Mahkota MBS memang tengah menggencarkan reformasi besar-besaran di Kerajaan Saudi, khususnya di bidang ekonomi. Dilansir dari Washington Post, MBS merangkum program-program reformasi tersebut dalam sebuah rencana bertajuk Visi 2030. Di dalamnya terdapat rencana diversifikasi pemasukan negara non-migas, skema privatisasi, reformasi teknologi, serta pembangunan berkelanjutan.

MBS juga sering dikabarkan mendorong perubahan pada masyarakat Saudi agar lebih terbuka. Pada Juni 2018 lalu, misalnya, ia mengizinkan perempuan untuk menyetir mobil.

Ia juga mencopot wewenang polisi agama yang sebelumnya menjaga ketat pemisahan laki-laki dan perempuan di tempat umum dan mengatur cara wanita berpakaian.

Konser musik yang sebelumnya dilarang kini diperbolehkan. Demikian pula dengan bioskop dan acara-acara olahraga yang telah puluhan tahun dilarang.

Kebrutalan Terselubung

Namun, upaya MBS melepaskan Arab Saudi dari kerangkeng konservatisme juga diikuti oleh rentetan kekerasan politik dan pembungkaman paksa.

Para imam di Arab yang tak sependapat dengan cara MBS menjalankan pemerintahan atau yang menolak tunduk pada otoritas kerajaan dijebloskan ke penjara. Kebijakan tangan besi juga berlaku pada aktivis dan akademisi yang vokal terhadap isu-isu pelanggaran hak asasi manusia.

Amnesty International mencatat setidaknya terdapat empat pegiat HAM yang mendekam di penjara sejak awal 2018. Pada Januari, pengadilan Kerajaan Saudi memenjarakan Mohammad al-Otaibi dan Abdullah al-Attawi. Al-Otaibi divonis 14 tahun penjara sementara al-Attawi dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara.

Keduanya dipenjara karena mendirikan organisasi hak asasi manusia. Namun, dakwaan berlapis yang dijatuhkan kepada mereka adalah “menyebarkan kekacauan dan menghasut opini publik”; “menerbitkan pernyataan-pernyataan yang membahayakan reputasi Kerajaan Saudi serta lembaga peradilan dan keamanan”; dan “berpartisipasi dalam mendirikan sebuah organisasi dan mengumumkan pendirian tersebut sebelum mendapatkan otorisasi dari pemerintah.”

Sebulan setelahnya, hukuman penjara juga dijatuhkan untuk dua aktivis HAM, yakni Essam Koshak dan Issa al-Nukheifi. Masing-masing mendapat hukuman empat dan enam tahun kurungan.

“Hukuman keras yang dijatuhkan kepada mereka menunjukkan bahwa menjunjung kebebasan berekspresi tidak termasuk dalam proses ‘transformasi’ yang dijanjikan [Kerajaan Arab Saudi],” tulis Amnesty International.

Sementara itu, jumlah orang yang dieksekusi mati juga meningkat. Berdasarkan catatan organisasi HAM Reprieve, angka tersebut meningkat dua kali sejak MBS berkuasa di Kerajaan Saudi. Delapan bulan sejak ia menjabat posisi putra mahkota, sebanyak 133 orang telah dieksekusi. Delapan bulan sebelumnya, jumlah eksekusi mati tercatat 67 kali.

Reprieve juga mencatat naiknya tren hukuman mati sebagai metode untuk membungkam protes-protes pro-demokrasi. “Banyak anak muda dan anak-anak telah ditangkap, disiksa, dan dijatuhi hukuman mati berdasarkan ‘pengakuan’ paksa dan bukti yang diperoleh dari pemantauan dan pengawasan siber,” tulis Reprieve.

Washington Post melaporkan, MBS telah menegaskan bahwa Saudi Arabia tidak akan pernah menjadi negara demokrasi dan akan terus mempertahankan sistem monarki absolut.

“Ketika kita berbicara mengenai reformasi politik, MBS sama reaksionernya dengan elite politik Wahabi,” ujar David Ottaway, pengamat spesialis Arab Saudi dari Wilson Center. “Jika dulu negara ini biasa dijalankan oleh konsensus oleh sejumlah pangeran senior, sekarang semuanya mengerucut ke satu orang, dengan sedikit masukan dari ayahnya.”

src="//mmc.tirto.id/image/2018/10/23/rezim-saudi-nan-progresif-agresif--mild-nadya_ratio-9x16.jpg" width="860" alt="Infografik Rezim Saudi nan progresif agresif" /

Dukungan Trump

Meskipun kecaman terhadap kerajaan terus berdatangan, Amerika Serikat, salah satu sekutu utama AS di Timur Tengah, tetap mendukung rezim MBS. Pada Selasa (16/10), Presiden AS Donald J. Trump balik mengecam siapapun yang menghakimi Saudi sebagai pihak yang bersalah dalam kasus raibnya Khashoggi.

“Anda tahu, Anda bersalah sampai terbukti tidak bersalah,” ucap Trump mengomentari kasus Khashoggi, sebagaimana dikutip Associated Press. Sikap Trump dianggap membenarkan kekerasan politik yang dilakukan Kerajaan Saudi.

Editorial Washington Post menyebutkan bahwa Saudi sedang mengarang sebuah cerita yang bakal menghubungkan pembunuhan Khashoggi dengan penyalahgunaan wewenang oleh tim yang dikirim untuk menginterogasinya.

Cerita ini diharapkan akan mengalihkan tuduhan pembunuhan Khashoggi yang selama ini terarah kepada MBS. MBS sendiri diyakini telah memerintahkan pembunuhan Khashoggi dan mengawasi operasi tersebut.

Sebelumnya, Guardian mengabarkan bahwa sejumlah pejabat Turki mengatakan Khashoggi telah dibunuh oleh tim khusus di dalam gedung konsulat Arab di Istanbul, Turki, berdasarkan sejumlah berkas video yang mereka miliki.

Sejumlah spekulasi pun mulai bermunculan, termasuk dugaan bahwa tubuh Khashoggi telah dimutilasi. Washington Post melaporkan bahwa Intelijen AS telah meretas komunikasi para pejabat Saudi. Menurut hasil peretasan tersebut, ditemukan bahwa Saudi memang berencana menangkap Khashoggi.

Di sisi lain, dukungan Trump hanya akan mempersulit pengungkapan kasus Khashoggi dan secara tak langsung bakal membiarkan kekejaman-kekejaman di bawah rezim MBS di masa depan.

“Sekarang, tak seorang pun bakal berani bicara dan mengkritik reformasi [yang dimulai MBS],” ujar Khashoggi pada Maret lalu merespons pemenjaraan para aktivis HAM di Kerajaan Saudi.

Baca juga artikel terkait ARAB SAUDI atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Politik
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf