tirto.id - Lebih dari setengah abad, Arab Saudi menggantungkan perekonomian pada minyak. Bahan bakar fosil itu menjadi komoditas ekspor utama Saudi, mencapai 76 persen dari total ekspor. Produksi minyaknya tertinggi di dunia, lebih dari 9 juta barel per hari.
Harga minyak lalu bergejolak. Januari tahun lalu, ia turun ke titik terendah selama 13 tahun. Pada perdagangan 18 Januari 2016, harga minyak internasional Brent anjlok di angka $27,67 per barel. Harga minyak perlahan membaik memang, tapi tak melebihi $55 per barel. Padahal, tahun 2008, harga minyak mentah pernah mencapai $140 per barel. Tahun 2012-2014, harganya selalu berada di atas $80 per barel.
Perekonomian Arab Saudi dan negara-negara yang bergantung pada minyak lainnya jelas terpukul. Menurut Capital Economics — lembaga riset independen di bidang ekonomi makro, pendapatan Arab Saudi dari ekspor minyak turun sekitar $200 miliar setelah mencapai puncaknya pada 2012.
September tahun lalu, dalam ajang pertemuan tingkat tinggi G20 di Cina, Wakil Putera Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman tampak sibuk. Di sela-sela pertemuan, ia melakukan setidaknya 15 pertemuan dengan komandan, pemimpin dunia dan pejabat senior dalam 40 jam secara berturut-turut dari Sabtu sampai Senin siang. Setiap pertemuan rata-rata membutuhkan waktu hingga dua setengah jam.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Mohammed itu jelas merupakan sebuah langkah strategis. Kerajaan itu saat ini memang tengah berusaha untuk mewujudkan Vision 2030. Visi itu diinisiasi oleh sang Putra Mahkota dan menjadi dasar transformasi Saudi untuk menjadi negara yang tidak lagi sangat bergantung pada minyak.
Sebagai bagian dari rencana melepas ketergantungan pada minyak, kerajaan akan mengubah ribuan kilometer persegi padang pasir menjadi kota-kota baru. Langkah itu merupakan upaya meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Juli lalu, Arab Saudi mengumumkan dua proyek pembangunan yang cukup besar. Salah satunya lebih luas dari Belgia dan satu proyek lagi akan serupa luas wilayah Moskow.
Terdapat sekitar tujuh proyek pembangunan yang sedang dan akan digarap. Proyek yang lebih luas dari Belgia itu akan mengubah 50 pulau dan 34 ribu kilometer lahan di sepanjang garis pantai Laut Merah menjadi tujuan wisata dunia.
Konstruksi akan dimulai pada 2019 dengan menggunakan Dana Investasi Publik dan kekayaan negara. Proyek yang ditargetkan selesai pada 2022 itu bertujuan untuk menarik wisatawan kaya dari seluruh dunia.
Jika proyek itu selesai, pengunjung akan memiliki akses ke reruntuhan kuno di Mada'in Saleh, sebuah peninggalan dari peradaban kuno yang sama yang membangun kota Petra di Yordania. Ia akan mengubah industri pariwisata Saudi yang selama ini hanya bergantung dari para peziarah yang mengunjungi tempat-tempat suci di Mekah dan Madinah. Akan tetapi, banyak pihak yang pesimistis langkah ini akan berhasil selama ada pembatasan alkohol dan gaya berbusana di negara itu.
“Jika Saudi tidak dapat mengubah pembatasan alkohol dan pakaian, pasar itu akan lenyap dengan sendirinya,” ujar Crispin Hawes, Direktur Teneo Intelligence yang berbasis di London, seperti dikutip Bloomberg.
Megaproyek lainnya yang diumumkan kerajaan bulan lalu bernama Al Faisaliyah. Ia berlokasi di barat kota Mekah dengan luas 2.450 kilometer persegi, hampir seukuran Moskow. Di kota itu akan dibangun unit hunian, fasilitas hiburan, bandara, dan pelabuhan. Tahun 2050, seluruh pembangunan yang menggunakan dana investasi publik itu ditargetkan akan selesai.
Arab Saudi juga akan membangun sebuah kota hiburan. Di atas padang pasir seluas 334 kilometer persegi di dekat Riyadh, akan dibangun area safari dan taman hiburan dari Six Flags Entertainment Corp. Seperti disebutkan Arabnews, pembangunan akan dimulai tahun depan dan ditargetkan selesai pada 2022.
Beberapa proyek pembangunan kota-kota baru sudah berjalan. King Abdullah Financial District, misalnya. Kota baru yang diproyeksikan sebagai pusat finansial itu sudah dibangun sejak 2006 dan sudah rampung lebih dari 70 persen saat ini. Sekitar 73 gedung sudah dibangun. Sayangnya, hingga April lalu, tidak ada satu lembaga keuangan yang setuju untuk mengambil tempat.
Selain King Abdullah Financial District, ada pula King Abdullah Economic City. Luas wilayah pengembangan proyek ini setara kota Brussels. Ia mencakup pelabuhan, pusat logistik seluas 55 kilometer persegi, pusat olah raga dan rekreasi, juga proyek hunian.
Di utara kerajaan, dibangun pula satu kota baru bernama Prince Abdulaziz bin Mousaed Economic City. Luas kota itu 156 kilometer persegi. Tak hanya area perumahan, kota itu akan memiliki hotel, pusat perbelanjaan, tempat hiburan, dan sebuah bandara internasional.
Di Madinah, akan dibangun Knowledge Economic City. Ia akan fokus pada industri yang berbasis ilmu pengetahuan, medis, perhotelan, pariwisata dan multimedia. Kota ini tak begitu luas, hanya 4,8 kilometer persegi. Penduduk kota nantinya akan memiliki akses ke Mekah dan Jeddah melalui Haramain High Speed Railway, sebuah kereta cepat.
Jika dahulu Arab Saudi bergantung pada minyak, kini ia mulai menggantungkan perekonomiannya pada padang pasir, tempat kota-kota baru itu dibangun. Bukan hal yang mudah tentu saja, tetapi Arab Saudi harus memulainya karena minyak tak lagi bisa menjadi tempat mereka menggantungkan perekonomian.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti