tirto.id - Ajang pertemuan tingkat tinggi G20 di Hangzhou, Cina, pada 4 hingga 5 September lalu merupakan masa yang sibuk bagi Wakil Putera Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman.
Pangeran Mohammed setidaknya melakukan 15 pertemuan di sela-sela pertemuan tingkat tinggi tersebut dengan komandan, pemimpin dunia dan pejabat senior dalam 40 jam secara berturut-turut dari Sabtu sampai Senin siang. Arabnews mencatat, setiap pertemuan rata-rata membutuhkan waktu hingga dua setengah jam.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Mohammed itu jelas merupakan sebuah langkah strategis. Kerajaan itu saat ini memang tengah berusaha untuk mewujudkan Vision 2030, sebuah visi yang diinisiasi oleh sang Putra Mahkota, yang menjadi dasar transformasi Saudi untuk menjadi negara yang tidak lagi sangat bergantung pada minyak.
Perekonomian Arab Saudi memang sangat terpukul dengan fluktuasi dan rendahnya harga minyak – komoditas jualan nomor satu kerajaan itu – dalam satu tahun terakhir. Menurut Capital Economics, pendapatan Arab dari ekspor minyak turun sekitar $200 miliar setelah mencapai puncaknya pada tahun 2012.
Sebelum pertemuan itu dimulai, Pangeran Mohammed bahkan sudah "mencuri" start dengan melakukan kunjungan ke negara-negara anggota G20, seperti Cina dan Jepang dalam dua pekan terakhir.
Langkah tersebut tidak sia-sia. Bank terbesar Jepang Mizuho Finansial Group, Inc. dan Saudi Arabian Oil Co. (Saudi Aramco) pada awal bulan September ini sepakat untuk menandatangani kerja sama bisnis yang bertujuan untuk mendukung perusahaan-perusahaan Jepang untuk berinvestasi di Arab Saudi.
Dalam sebuah pernyataan pers yang dikeluarkan oleh Mizuho, dikatakan bahwa, "Mizuho akan menggunakan pengalaman dan jaringan Aramco untuk memperkenalkan perusahaan Jepang [...] kepada Aramco dan perusahaan Arab lainnya sebagai mitra bisnis mereka."
Perlu dicatat, meningkatkan investasi asing ke dalam negeri dapat mendorong pula terbukanya lapangan pekerjaan yang merupakan salah satu bagian pencapaian utama dari Vision 2030, yaitu menekan angka pengangguran.
Gerak cepat Pangeran Mohammed tersebut bisa jadi merupakan pertanda bahwa Arab Saudi sedang berupaya untuk mempercepat pencapaian target dari Vision 2030. Sebuah indikasi jika memang kondisi keuangan Negara Kaya Minyak itu terus menuju ke arah negatif.
Selasa kemarin, Bloomberg melaporkan bahwa Arab Saudi sedang menargetkan untuk membatalkan sejumlah proyek utama yang secara total bernilai lebih dari $20 miliar. Anggaran kementerian juga dipangkas hingga seperempatnya, dan sebagian kementerian ada yang dihapus ataupun digabungkan.
Pengetatan itu bukan yang pertama. Seperti dikutip dari Forbes, beberapa analis mengatakan bahwa pengeluaran negara sudah dipotong sekitar 26 persen.
"Penghematan fiskal telah menimbulkan banyak rasa sakit pada ekonomi," kata Jason Tuvey, ekonom Timur Tengah di Capital Economics. "Tracker PDB [Produk Domestik Bruto] kami menunjukkan bahwa ekonomi terkontraksi sebesar 2 persen year-on-year pada kuartal kedua tahun ini."
National Transformation Plan
Pada bulan Juni lalu, negara dengan cadangan minyak nomor satu di dunia itu mengumumkan rencananya untuk menaikkan pendapatan non-minyak mereka sebesar tiga kali lipat.
Saudi juga akan menekan pengeluaran pada sektor publik dalam periode lima tahun ke depan. Termasuk dalam rencana itu adalah mengurangi gaji pegawai negeri sehingga proporsinya menjadi 40 persen dari anggaran negara, serta dipotongnya subsidi air dan listrik sebesar 200 miliar riyal.
Langkah itu merupakan bagian dari apa yang disebut dengan The National Transformation Plan (NTP), sebuah rencana nasional yang didesain untuk mereformasi ketergantungan ekonomi Saudi pada minyak dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan, seiring dengan populasi kerajaan tersebut yang terus meningkat.
NTP bertujuan untuk menaikkan pendapatan non-minyak Saudi menjadi 530 miliar riyal pada tahun 2020, serta menciptakan 450.000 pekerjaan di luar pemerintahan.
Mencakup lebih dari 500 proyek dan inisiatif – serta indikator-indikator kinerja untuk para menteri dan berbagai lembaga pemerintahan – keseluruhan rencana tersebut diperkirakan menghabiskan 270 miliar riyal apabila akan sungguh-sungguh diaplikasikan.
NTP merupakan materialisasi dari Vision 2030, visi yang berisikan beberapa target fundamental yang ingin dicapai oleh kerajaan tersebut untuk mewujudkan ekonomi Arab Saudi yang bebas dari ketergantungannya terhadap minyak.
Beberapa visi tersebut antara lain kemungkinan untuk mencapai pendapatan non-minyak sebesar 600 miliar riyal pada tahun 2020, dan satu triliun riyal pada tahun 2030, dari 163,5 milyar riyal pada tahun lalu.
"Kami tidak akan membiarkan negara kami berada pada posisi yang tergantung dari volatilitas harga komoditas atau pasar eksternal," kata Pangeran Mohammed kepada pers ketika ia mengumumkan visi tersebut pada bulan April.
Pangeran Mohammed tampaknya tidak main-main. Sepekan sebelum pengumuman itu, Saudi untuk pertama kalinya berani menggunakan minyak sebagai sebuah senjata diplomasi dalam dialog pembekuan produksi minyak untuk menekan Iran terkait kebijakan nuklirnya.
Dalam dokumen NTP sendiri disebutkan bahwa Kementerian Energi Saudi akan mempertahankan kapasitas produksi minyaknya sebesar 12,5 juta barel per hari (bph), meningkatkan kapasitas produksi gas menjadi 17,8 miliar standar kaki kubik per hari dari 12 miliar, dan meningkatkan kapasitas penyulingan menjadi 3,3 juta barel per hari dari 2,9 juta.
Pangeran Mohammed juga mendepak Ali al-Naimi sebagai Menteri Perminyakan dan menggantinya dengan orang kepercayaannya Khalid al-Falih yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Kesehatan dan chairman Saudi Arabian Oil Co (Aramco).
Al-Falih tak hanya akan mengurusi perminyakan, seperti al-Naimi. Ia juga akan memegang peran vital dalam transformasi tersebut karena listrik dan sumber daya mineral lainnya juga akan menjadi kewenangannya, seiring dengan bergantinya nama Menteri Perminyakan menjadi Menteri Energi, Industri, dan Sumber Daya Mineral. Al-Naimi kini ditunjuk menjadi penasihat istana.
Melalui Vision 2030, Saudi juga akan melakukan privatisasi pada Aramco dengan menjual kurang dari 5 persen saham perusahaan itu melalui Initial Public Offering (IPO), dengan nilai perusahaan antara $2 triliun dan $2,5 triliun.
Sebagian dana yang didapat kemudian akan digunakan untuk mempersiapkan sovereign wealth fund (SWF) sebesar $2 triliun. Sebagai catatan, SWF memang biasanya digunakan oleh negara-negara yang bergantung pada minyak untuk mendiversifikasi aliran pendapatannya.
Dengan dana yang sedemikian besar – mengalahkan milik Norwegia, yang merupakan negara dengan SWF paling besar di dunia dengan sebesar $865 miliar – Saudi akan menjadi investor global yang sangat penting di dunia.
Dalam Vision 2030, kerajaan itu juga menargetkan untuk dapat meningkatkan kapasitas penerimaan jemaah umrah menjadi 30 juta pengunjung setiap tahunnya pada tahun 2030.
Sebagai catatan, industri pariwisata Saudi saat ini hanya berkontribusi 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sebagian besar dari wisatawan adalah jamaah umrah dan haji. Kunjungan religi itu memberikan kontribusi sebesar $12 miliar setiap tahunnya.
Pada NTP sendiri ditargetkan kunjungan haji meningkat menjadi 15 juta pengunjung pada tahun 2020, demikian seperti dikutip dari Arabnews.
Target Ambisius yang Meragukan
Rencana besar dibuat untuk melepaskan Saudi dari jeratan minyak. Namun demikian, banyak pengamat yang masih skeptis terhadap keberhasilan dari proses restrukturisasi ekonomi tersebut, mengingat posisi Saudi yang mungkin masih akan mengalami defisit di tengah harga minyak yang tak kunjung membaik.
Sebagai catatan, minyak menyumbang 73 persen dari pendapatan kerajaan tersebut pada tahun lalu.
Tahun ini, Saudi diprediksi akan mengalami defisit sebesar $87 miliar. Cadangan fiskal Saudi juga turun menjadi $611,9 miliar pada tahun lalu dari $732 miliar pada 2014.
Namun, Pangeran Mohammed bersikukuh pada kebijakannya. Ia meyakini pada 2020, Saudi bisa hidup tanpa sokongan minyak.
Di balik semua keraguan yang ada, Arab Saudi mendapat dukungan penuh dari Britania Raya (United Kingdom/UK) dalam upayanya mewujudkan Vision 2030 tersebut.
Dalam sebuah konferensi pers bersama antara Menteri Luar Negeri Saudi Adel Al-Jubeir dengan Menteri Luar Negeri Inggris Philip Hammond pada akhir bulan lalu, Hammond memuji Vision 2030. Tentu saja karena mereka hendak menggaet Saudi untuk bekerja sama dengan Inggris terkait transformasi ekonomi itu.
Ia mengatakan bahwa Britania Raya siap bekerja sama dengan Saudi untuk mewujudkan visi tersebut. "Kita melihat sejumlah area di mana UK dapat memainkan peran pendukung yang kuat," sebut Hammond, seperti dikutip dari Arabnews.
Saudi memang sedang bekerja keras untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap harga minyak yang kini sedang rendah. Pertanyaannya, apakah rencana ini akan tercapai sepenuhnya atau hanya target ambisius semata? Jawabannya akan kita lihat beberapa tahun lagi.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti