Menuju konten utama

Pro-Kontra Wacana Mendikdasmen Hidupkan Kembali Penjurusan SMA

P2G meminta Kemdikdasmen untuk terlebih dulu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Kurikulum Merdeka dan tidak tergesa-gesa mengubah kurikulum berjalan.

Pro-Kontra Wacana Mendikdasmen Hidupkan Kembali Penjurusan SMA
Sejumlah siswa mengikuti kegiatan belajar di SMAN 70 Jakarta, Jakarta, Senin (14/4/2025). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nym.

tirto.id - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, mewacanakan akan menghidupkan kembali sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA) mulai tahun ajaran baru 2025/2026. Dia menilai keputusan ini dilakukan untuk mendukung penyelenggaraan Tes Kemampuan Akademik (TKA) pengganti UN yang akan berbasis pada mata pelajaran tertentu.

Atas rencana penghidupan kembali penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa ini muncul berbagai opini dari berbagai kalangan. Misalnya, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang setuju dengan keputusan ini karena menilai siswa akan mempelajari ilmu sesuai dengan minatnya.

"Harapannya agar siswa menguasai semua ilmu itu dengan baik, tapi jika tidak siap yang terjadi malah siswa tidak mendapatkan ilmu apa-apa atau hanya mendapatkan sedikit. Jadi dengan adanya penjurusan IPA, IPS dan Bahasa itu bagus agar siswa bisa mempelajari ilmu sesuai dengan minatnya dan menjadi ahli,” ujar Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi, dalam keterangan tertulis dikutip Selasa (15/4/2025).

Dalam keterangan yang sama, praktisi pendidikan, Heriyanto, mengeklaim bahwa saat penghapusan penjurusan SMA di lapangan tidak sepenuhnya dapat dijalankan dengan baik. Dia mencontohkan terkait siswa yang sebelumnya ingin menjadi dokter dan fokus mempelajari kimia dan biologi. Akan tetapi, dirinya berubah pikiran dan memilih jurusan teknik padahal siswa tersebut tidak mengikuti pelajaran fisika, yang justru menjadi dasar penting dalam bidang teknik.

Oleh karena itu, Herianto menilai agar penjurusan dihidupkan untuk mengarahkan siswa mempelajari bidang keilmuan tertentu dengan tanpa mengecualikan kemungkinan perubahan pikiran itu terjadi.

“Sehingga mata pelajaran tersebut, tetap diajarkan sebagai bekal di PTN nantinya, termasuk untuk pilihan IPS. Karena apabila siswa yang memiliki cita-cita menjadi akuntan dapat melepaskan geografi atau sosiologinya. Namun, apabila berubah menjadi ahli hukum diberikan syarat kedua pelajaran tersebut akan dipelajari saat di perguruan tinggi,” pungkas Heri.

Di sisi lain, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai rencana Mendikdasmen Abdul Muti mengembalikan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA terkesan terburu-buru. Rencana ini disebutnya tanpa didahului evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Kurikulum Merdeka yang baru berjalan beberapa tahun.

"Format jurusan kan baru saja dihapus dalam kurikulum merdeka, kita belum lihat dampak dan efektivitasnya termasuk evaluasi IKM secara komprehensif belum ada. Menghidupkan kembali jurusan IPA/IPS terkesan tanpa kajian matang," ungkap Kornas Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, dalam keterangannya.

Menurut Satriwan, menghidupkan jurusan akan menimbulkan adanya pengkastaan kembali antar jurusan, di mana IPA dianggap sebagai pilihan dan favorit dan siswa di jurusan lain dipandang sebagai pilihan sisa. Dia menyebut presepsi ini tak dapat dihindarkan karena sudah terbentuk puluhan tahun.

Selain itu, P2G juga menilai bahwa pembagian jurusan semacam ini dinilai tidak relevan dengan perkembangan dunia kerja dan ilmu pengetahuan yang kini lebih bersifat interdisipliner.

"Penjurusan tiga kelompok itu rasanya agak jadul (obsolete), akan memilah kecerdasan anak secara absolut. Padahal, tiap diri anak itu dapat punya potensi multi-intelegensia, punya minat bakat yang bersifat lintas disiplin," kata Kabid Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri.

Lebih lanjut, perubahan ini juga dinilai P2G menjadi inkonsistensi kebijakan pendidikan yang kerap berubah hampir setiap pergantian menteri tanpa menyentuh persoalan-persoalan fundamental. Menurut Iman kebijakan yang diskontinu ini dikhawatirkan akan membingungkan masyarakat dan merugikan siswa.

"Diskontinu dalam kebijakan pendidikan dapat berakibat tidak baik, sebab acuannya bukan ke RPJPN dan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025-2045. Menyebabkan kebingungan masyarakat, guru, siswa, dan orang tua," ungkapnya.

Sebagai rekomendasi, P2G meminta Kemdikdasmen untuk terlebih dulu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Kurikulum Merdeka dan tidak tergesa-gesa mengubah struktur kurikulum yang sedang berjalan, termasuk menyarankan agar setiap kebijakan didasarkan pada Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025-2045 agar ada kesinambungan jangka panjang.

“Kemdikdasmen hendaknya membuat kajian akademik terlebih dulu yang melibatkan semua stakeholder pendidikan dengan meaningfull participation, sebelum membuat kebijakan strategis,” tutur Iman.

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN INDONESIA atau tulisan lainnya dari Rahma Dwi Safitri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Rahma Dwi Safitri
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Andrian Pratama Taher