Menuju konten utama

Potensi Masalah Usai Kebijakan Pemerintah Hapus Penjurusan SMA

P2G menilai Kurikulum Merdeka sebetulnya memiliki konsep yang bagus namun sayang dalam implementasi belum terealisasi secara maksimal.

Potensi Masalah Usai Kebijakan Pemerintah Hapus Penjurusan SMA
Kegiatan belajar di SMAN 05 Bengkulu di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Senin (15/2/2021). (ANTARA/DAVID MUHARMANSYAH)

tirto.id - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) resmi menghapus sistem penjurusan di jenjang pendidikan sekolah menengah akhir (SMA). Kini tak ada lagi jurusan IPA, IPS, dan Bahasa bagi murid SMA di tahun ajaran baru 2024/2025. Ini merupakan kebijakan ikutan setelah ditetapkannya Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional lewat Permendikbud Nomor 12 tahun 2024.

Kebijakan ini sebetulnya sudah dilakukan bertahap sejak 2021, seiring Kurikulum Mereka dicoba di beberapa sekolah. Lewat kebijakan ini, penjurusan dihapus sehingga siswa boleh memilih mata pelajaran yang mereka minati atau sejalan dengan proyeksi jurusan yang ingin mereka tembus di perguruan tinggi.

Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, menjelaskan lewat Kurikulum Merdeka, maka murid bisa memilih mata pelajaran lebih leluasa sesuai minat, bakat, kemampuan, serta aspirasi studi lanjut atau karier. Kurikulum Merdeka, kata dia, mendorong murid untuk melakukan eksplorasi dan refleksi minat, bakat serta aspirasi karier.

“Memberi kesempatan untuk mengambil mata pelajaran pilihan secara lebih fleksibel sesuai rencana tersebut,” kata Nino, sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto, Kamis (18/7/2024).

Nino mengklaim, penghapusan jurusan di tingkat SMA diyakini akan mengikis diskriminasi. Terutama terhadap murid jurusan non-IPA saat seleksi nasional mahasiswa baru.

“Murid bisa lebih fokus untuk membangun basis pengetahuan yang relevan untuk minat dan rencana studi lanjutnya,” urai Nino.

Menurut Kemendikbudristek, pada 2022 Kurikulum Merdeka sudah diterapkan di 50 persen sekolah di seluruh Indonesia. Adapun pada tahun ajaran 2024/2025 ini, tingkat penerapan Kurikulum Merdeka diklaim akan mencapai 90-95 persen untuk sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan SMA/SMK.

Pemerhati pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, menilai Permendikbud Nomor 12/2024 memang membuat seluruh sekolah harus menerapkan Kurikulum Merdeka paling lambat dua tahun sejak peraturan disahkan. Namun, pelaksanaan Kurikulum Merdeka sejauh ini belum dievaluasi secara komprehensif oleh pemerintah.

“Walau diinisiasi sejak 2022 dan Permendikbud tentang kurikulum tersebut keluar Maret 2024, namun evaluasi kurikulum belum dilakukan,” kata Edi kepada reporter Tirto, Kamis (18/7/2024).

Evaluasi kurikulum dilakukan bukan sekadar menyebarkan survei. Namun perlu dilihat betul proses awal pengembangan kebijakan, daya dukung sistem pelaksanaan, pelatihan guru, hingga pelaksanaan dan hasilnya.

“Sejauh ini belum ada evaluasi Kurikulum Merdeka, jadi kita tidak bisa mengambil simpulan apakah Kurikulum Merdeka sudah berhasil atau belum,” ungkap Edi.

Menurut Edi, kebijakan penghapusan jurusan di SMA memang berpotensi mengembangkan minat karena tidak ada sekat-sekat rumpun ilmu. Begitupun studi lanjut ke perguruan tinggi, bisa terbekali dengan baik lewat minat studi yang bebas dipilih murid.

Guru memiliki peran penting dalam kebijakan ini untuk membimbing mata pelajaran yang ingin diambil murid. Sebab, kata dia, jika murid tidak dibimbing dengan baik memilih mata pelajaran yang tepat, maka akan terjadi asal pilih.

“Maka kebijakan ini juga berpotensi menghasilkan lulusan SMA yang tidak jelas masa depannya,” kata Edi.

Masalah lainnya, kebijakan ini berpotensi menelurkan mata pelajaran yang sepi peminat. Imbasnya, guru mata pelajaran tersebut jadi tidak dapat memenuhi ketentuan jam mengajar minimal sebagai syarat penilaian kinerja dan sertifikasi guru.

Kendati demikian, kata Edi, mempertahankan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa, justru membuat murid dibagi rata secara paksa dan cenderung bias kastanisasi jurusan. Biasanya murid yang pintar-pintar ditempatkan di IPA, kelas berikutnya di IPS, yang paling tidak pintar di Bahasa. Menurut Edi, ini bias yang merugikan dan mengkerdilkan bidang ilmu.

“Nah, kalau di kebijakan yang baru, bisa saja ada kelas yang siswanya sedikit, ada yang banyak. Masalah lain yang potensial ya kemampuan guru mengarahkan siswa mengambil mata pelajaran yang tepat,” ungkap Edi.

Tantangan Kebijakan

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan Guru (P2G), Satriwan Salim, menyatakan memang kebijakan bebas memilih mata pelajaran memiliki tantangan, terutama bagi guru atau pengajar. Misalnya temuan P2G di salah satu SMA Negeri di Jakarta. Sekolah tersebut memiliki tiga guru bahasa Jerman.

Akibat khawatir sepi pemilih mata pelajaran bahasa Jerman, sekolah membuat skema paket agar tetap memiliki murid. Hal ini terpaksa dilakukan sekolah agar guru pengampu pelajaran itu tetap bisa mengajar dan memenuhi syarat tunjangan sertifikasi guru.

“Tunjangan guru akan terancam tidak didapatkan atau tidak diberikan gitu kalau gurunya tidak mengajar sampai minimal 24 jam per minggu,” jelas Satriwan kepada reporter Tirto.

Secara kebijakan, sekolah-sekolah yang menawarkan sistem paket mata pelajaran bagi murid tentu bertentangan dengan Kurikulum Merdeka. Pasalnya, esensi kebebasan murid memilih sendiri mata pelajaran yang diminati jadi terhapuskan. Namun, hal ini terpaksa dilakukan banyak sekolah agar guru mata pelajaran yang berpotensi sepi, masih dapat jam mengajar.

“Nah, jadi kondisi-kondisi teknis di lapangan memang tidak semulus yang ada di dalam peraturan gitu,” jelas Satriwan.

Kendati demikian, kata Satriwan, pihaknya tidak alergi perubahan kurikulum. Adapun untuk Kurikulum Merdeka, ia memandang sebetulnya memiliki konsep yang bagus namun sayang dalam implementasi belum terealisasi secara maksimal.

Satriawan memandang masalah Kurikulum Merdeka disebabkan masih banyak miskonsepsi dan penyimpangan saat implementasi di sekolah. Hal ini berakar dari narasumber atau pemateri yang dikirim pemerintah untuk menjelaskan Kurikulum Merdeka tidak terlalu baik menerangkan kepada guru saat pelatihan.

“Sehingga distorsi informasi justru bersumber dari narasumber atau pelatih-pelatih guru,” kata Satriwan.

Miskonsepsi program bawaan Kurikulum Merdeka di sekolah misalnya terjadi dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Menurut Satriwan, tujuan P5 ini sebetulnya mulia karena berupaya menanamkan dan menghabituasi nilai-nilai Pancasila terhadap murid lewat projek lintas mata pelajaran. Namun di sejumlah sekolah, P5 justru jadi sekadar ajang adu hasil projek murid yang dirayakan dengan gelaran festival berbiaya mahal.

“Jadi P5 lebih berorientasi hanya kepada hasil, kepada produk dari serangkaian projek. P5 jadi sebatas seremoni dan festivalisasi,” ujar Satriwan.

Lebih lanjut, masalah yang masih sering dikeluhkan guru terkait Kurikulum Merdeka adalah penggunaan platform merdeka belajar (PMM). Satriwan menuturkan PMM, menjadi momok mayoritas guru sebab mereka harus ikut pelatihan daring dan pengisian administratif lainnya yang menyita waktu.

Padahal, pelatihan daring hanya menghasilkan sertifikasi yang berakhir menumpuk-numpuk dan cuma digunakan untuk urusan administratif. Maka pembekalan yang baik kepada guru dan evaluasi perlu dilakukan jika Kurikulum Merdeka tidak ingin menuju lubang kegagalan.

“Jadi perubahan kurikulum baru dimaknai sebatas perubahan administrasi belaka. Belum apa namanya, mengubah mindset guru ya, dalam implementasi,” terang Satriwan.

Sementara itu, praktisi pendidikan, Indra Charismiadji, menilai bahwa setiap perubahan kebijakan atau kebijakan baru perlu diiringi dengan adanya kajian akademik. Sayangnya, implementasi Kurikulum Merdeka yang akhirnya menghapus sistem penjurusan SMA tidak disokong dengan kajian yang ilmiah.

“Penjurusan yang dihapus ini ada nggak kajian akademisnya? Ada enggak risetnya? Jadi enggak bisa bikin kebijakan cuma sesuai selera atau kemauan pejabat,” kata Indra kepada reporter Tirto, Kamis (18/7/2024).

Indra memandang, Kemendikbudristek selalu menggaungkan klaim keberhasilan Kurikulum Merdeka, namun tidak disertai bukti kajian ilmiah kesuksesannya. Selain itu, kata Indra, penghapusan sistem jurusan di SMA seharusnya diikuti dengan penyesuaian kebijakan di tingkat perguruan tinggi.

“Misalkan gini, SMA jurusan sudah dihapuskan, tapi apakah rekrutmen perguruan tinggi itu tidak lagi mengindahkan jurusan? Kalau masih, kan, bingung dong, artinya ini hanya asal saja kebijakan,” jelas Indra.

Indra menilai, klaim-klaim keberhasilan Kurikulum Merdeka seharusnya dibuktikan dengan meningkatnya kecerdasan bangsa. Masalahnya Kurikulum Merdeka belum dievaluasi dan tidak pernah ditampilkan para peneliti kebijakan pendidikan yang ada di baliknya.

“Bayangin aja Kemendikbudristek tapi dalam membuat kebijakan tidak ada risetnya kan ngeri. Jadi harusnya ada kajian dulu yang jelas dan kita butuh membedah dan mengkritisi kajian itu,” terang Indra.

Menurut Indra, kebijakan menghapus sistem jurusan SMA harus didukung dengan kesiapan sekolah-sekolah dalam implementasinya. Sistem ini juga akan seperti konsep moving class sehingga harus ditunjang sarana prasarana yang memadai di sekolah.

“Kalau mau jujur di Kurikulum 2013 [K13] itu sudah dihapus sistem penjurusan dan diganti peminatan. Tapi kan gagal, sistem peminatan juga. Gagalnya sebab ekosistem di sekolah masih belum bisa,” ungkap Indra.

Baca juga artikel terkait KURIKULUM MERDEKA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz