Menuju konten utama

Indonesia Permisif terhadap Korupsi, Siapa Harus Tanggung Jawab?

Pejabat publik diminta menjadi teladan antikorupsi. Penguatan KPK secara kelembagaan juga harus dilakukan agar penindakan makin efektif.

Indonesia Permisif terhadap Korupsi, Siapa Harus Tanggung Jawab?
Ilustrasi korupsi. FOTO/ Getty Images

tirto.id - Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia pada 2024 turun menjadi 3,85 dari sebelumnya di 2023 sebesar 3,92. IPAK merupakan ukuran yang mencerminkan perilaku antikorupsi masyarakat yang diukur dengan skala 0-5. Semakin tinggi nilai IPAK, maka semakin tinggi budaya antikorupsi, dan semakin rendah nilai IPAK, maka masyarakat semakin permisif atau menoleransi perilaku korupsi.

Survei IPAK dilakukan dengan mengukur perilaku masyarakat dalam tindakan korupsi skala kecil dan tidak mencakup korupsi skala besar. Data yang dikumpulkan mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam hal perilaku penyuapan, gratifikasi, pemerasan, nepotisme dan sembilan nilai antikorupsi.

IPAK dibentuk dari dua dimensi, yakni persepsi dan pengalaman. Keduanya kompak mengalami penurunan. Di mana dimensi persepsi tercatat sebesar 3,76, turun 0,06 poin dibandingkan 2023 yang sebesar 3,82. Sedangkan dimensi pengalaman tercatat sebesar 3,89, turun 0,07 poin dari 2023 yang sebesar 3,96

“Penurunan IPAK tentunya merupakan indikasi bahwa masyarakat lebih permisif terhadap perilaku korupsi,” kata Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar, dalam Rilis Berita Resmi Statistik, di Jakarta, Senin (15/7/2024) lalu.

Turunnya dimensi presepsi menunjukkan semakin sedikit masyarakat yang menganggap perilaku korupsi sebagai sesuatu yang tidak wajar. Sedangkan turunnya indeks dimensi pengalaman mencerminkan bahwa masyarakat yang mengalami pengalaman terkait petty corruption alias korupsi kecil-kecilan relatif lebih banyak.

Ilustrasi korupsi

Ilustrasi korupsi. FOTO/ Getty Images

Ancaman Serius

Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Lalu Hendri Bagus, mengatakan penurunan skor IPAK menjadi 3,85 tahun ini dari sebelumnya 3,92 merupakan ancaman yang serius. Apalagi skor IPAK yang dirilis oleh BPS tersebut juga berbanding lurus dengan stagnasi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) yang dirilis pihaknya.

IPK 2023 yang dirilis TII tercatat stagnan di angka 34. IPK ini dihitung oleh Transparency International dengan skala 0-100, yaitu 0 artinya paling korupsi, sedangkan 100 berarti paling bersih. Total yang dihitung IPK atau CPI-nya adalah 180 negara.

Stagnasi skor CPI 2023 memperlihatkan respons terhadap praktik korupsi masih cenderung berjalan lambat bahkan terus memburuk akibat minimnya dukungan yang nyata dari para pemangku kepentingan.

“Dua duanya ini kan sebagai cerminan yang mengindikasikan tren negatif dalam upaya pemberantasan korupsi kita,” ujar Hendri kepada reporter Tirto, Rabu (17/7/2024).

Menurut dia, banyak sekali yang menyebabkan tren penurunan ini terus terjadi. Misalnya pemberantasan hukum yang lemah tentu berakibat pada lunturnya kepercayaan masyarakat. Jadi wajar saja jika masyarakat merasa bahwa korupsi adalah hal yang biasa.

“Mereka akan kehilangan kepercayaan pada pemerintah dan sistem hukum di negeri ini,” ujarnya.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menyayangkan penurunan IPAK tahun ini. Padahal secara trennya dari tahun ke tahun IPAK mengalami peningkatan meskipun tidak terlalu masif.

"Tapi sayang sekali di 2024 ini [IPAK] turun. Ini menunjukan bahwa spirit antikorupsi meredup di mana-mana," ujar Zaenur kepada reporter Tirto, Rabu (17/7/2024).

Menurut Zaenur, penurunan ini menjadi gejala mengkhawatirkan termasuk di kalangan rakyat. Karena dimensi penilaian terhadap indeks tersebut berdasarkan dua yakni menggunakan persepsi dan pengalaman.

"Artinya memang ini menunjukkan gejala korupsi itu ditemui oleh banyak rakyat dan kedua rakyat semakin permisif. Karena itu kedua kan pendapat dan pengalaman jadi ini menunjukkan memang gerakan antikorupsi ini semakin turun," kata dia.

Mural edukasi tolak politik uang

Warga melintas di depan mural bertema anti politik uang di kampung Sondakan, Laweyan, Solo, Jawa Tengah, Selasa (16/5/2023). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/nym.

Hilangnya Keteladanan Nasional

Zaenur menduga, turunnya IPAK ini karena tidak adanya keteladanan secara nasional. Ditambah ada harapan yang pupus dari masyarakat ketika KPK dirundung banyak masalah. Maka wajar, masyarakat pada akhirnya menilai KPK-nya saja masih banyak masalah, sehingga apatis terhadap antikorupsi.

"Maka untuk apa rakyat antikorupsi. Begitu kurang lebih," tandasnya.

Kemudian faktor lainnya, kata Zaenur, sangat mungkin karena imbas Pemilu 2024. Pemilu yang dipersiapkan sejak 2023 ini, ada banyak sekali politik uang dan sangat merusak. Politik uang merebak di mana-mana menandakan masyarakat semakin permisif terhadap korupsi.

"Ini justru suatu kemunduran sangat disayangkan. Tidak akan mudah untuk mengembalikan posisi IPAK ini ke posisi yang baik," tutur dia.

Peneliti TII, Lalu Hendri Bagus, mengatakan, banyaknya permintaan dari pejabat agar KPK tidak melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi indikasi yang sangat mengkhawatirkan dan membuat lembaga antirasuah semakin melempem. Karena menurutnya, OTT adalah salah satu alat penting dalam pemberantasan korupsi.

“Saya melihat ini sebagai upaya untuk terus melemahkan KPK dalam menjalankan tugasnya secara independen dan efektif,” ujarnya.

Dalam konteks penurunan IPAK, kelemahan penegakan hukum yang termasuk pembatasan OTT dapat berdampak signifikan. Ini dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah dan melemahkan integritas sistem hukum.

Dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 27 Mei-2 Juni 2024, menunjukkan KPK adalah lembaga dengan citra positif paling rendah. Menurut survei, KPK mendapat penilaian citra positif sebanyak 56,1 persen. Sedangkan, sebanyak 33,4 persen menyatakan buruk dan 10,5 persen mengaku tidak tahu.

Adapun survei ini dilakukan dengan metode wawancara telepon terhadap 1.200 responden dari 38 provinsi se-Indonesia. Metode survei memiliki tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian kurang lebih 2,83 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana

“Oleh karena itu, untuk menjaga integritas dan efektivitas dalam pemberantasan korupsi, penting bagi pemerintah dan semua pemangku kepentingan untuk mendukung KPK dan memastikan bahwa lembaga ini dapat beroperasi secara independen dan tanpa tekanan politik,” jelas Hendri.

Sementara itu, Ketua IM57+ Institute, M Praswad Nugraha, mengamini bahwa penurunan IPAK tahun ini menjadi konsekuensi logis akibat ulah pejabat mulai dari presiden, menteri dan KPK yang mengatakan bahwa OTT sudah tidak diperlukan lagi. Hasilnya tidak hanya KPK yang hancur, level kepercayaan publiknya rontok sampai terendah berdasarkan Litbang Kompas dan rilis IPAK dari BPS.

“Tindakan masyarakat semakin permisif terhadap pelaku korupsi dan korupsi semakin merajalela. Artinya sampai ke level masyarakat di segala tingkatan sosial di tengah masyarakat,” ujar Praswad saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (17/7/2024).

Menurut Abung, sapaan akrab Praswad, kondisi ini adalah jawaban atas semua yang dilakukan pejabat untuk hilangkan OTT. Nyatanya bahwa KPK sangat minim sekali melakukan OTT, paling-paling hanya satu sampai dua kali saja sepanjang tahun.

“Karena pencegahan tidak mungkin ada tanpa penindakan, tidak ditangkap, tidak dilakukan tindak nyata dan sanksi jelas hukum akan jadi ilusi,” katanya.

Bagi Abung, kondisi ini bukan menjadi ancaman lagi. Melainkan sudah kiamat ketika KPK tidak melakukan penindakan. Jika ini dibiarkan, dia khawatir Indonesia justru akan menjadi negara korup yang paripurna. “Sempurna Indonesia menjadi negara korupsi kalau tidak ada penindakan tidak ada lagi OTT,” tegas dia.

IM57+ Institute laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK

Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha (tengah) didampingi Dewan Penasehat Novel Baswedan (dua kanan) menunjukkan barkas laporan di gedung lama KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (26/4/2024). IM57+ Institute melaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas dugaan pelanggaran kode etik. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.

Penurunan IPAK harus menjadi perhatian bersama, khususnya pemerintah, karena mereka yang memiliki pengaruh terbesar. Perbaikan lembaga antikorupsi harus terus dilakukan agar publik mendapat contoh dari aparatur negeri ini.

“Sekarang proses seleksi calon pimpinan KPK menjadi salah satu elemen krusial, harus terpilih orang-orang berani yang dapat menjaga integritas, independensi dan tentu kompetensi yang mumpuni, jadi sudah waktunya kita melakukan pembenahan besar-besaran,” ucap Peneliti TII, Lalu Hendri Bagus.

Dalam keterangan terpisah, Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, mengatakan skor penurunan IPAK menunjukkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah bersama seluruh pemangku kepentingan. Terutama untuk menguatkan kembali komitmen dan perbaikan melalui langkah-langkah nyata.

Tessa menyebut, hasil survei IPAK bukan hanya diukur dari persepsi, tapi juga dari pengalaman para responden. Oleh karena itu, ekosistem masyarakat yang antikorupsi menjadi tanggung jawab bersama. Sehingga, kata Tessa, KPK bisa menciptakan persepsi dan pengalaman yang baik di masyarakat.

Tessa menambahkan, dalam menurunkan tingkat korupsi di Indonesia, KPK tidak hanya melakukan upaya penindakan, tetapi juga pendekatan, pencegahan dan pendidikan dengan berkolaborasi bersama pemangku kepentingan.

"Melalui upaya pencegahan KPK di antaranya melakukan kajian dan pengukuran potensi risiko korupsi pada kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (KLPD) melalui survei penilaian integritas (SPI)," ucapnya kepada reporter Tirto, Selasa (16/7/2024).

KPK juga mendorong kepatuhan terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta anti gratifikasi pada pelayanan publik. Tidak hanya itu, serangkaian koordinasi dan supervisi, baik dengan pemerintah pusat maupun daerah, dalam upaya perbaikan pelayanan publik juga sudah dilakukan, salah satunya melalui instrument Monitoring Centre for Prevention (MCP).

Baca juga artikel terkait INDEKS PERILAKU ANTI KORUPSI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fahreza Rizky