Menuju konten utama

Bara Api Antikorupsi IM57+: Masa Depan KPK hingga Harun Masiku

IM57+ memandang pembenahan di KPK tidak bisa dilakukan biasa-biasa saja.

Bara Api Antikorupsi IM57+: Masa Depan KPK hingga Harun Masiku
Header Wansus FYP Harun Masiku. tirto.id/Tino

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah dalam proses mencari calon pimpinan baru mereka untuk periode 2024-2029. Krisis kepemimpinan di KPK dan masalah internal di lembaga antirasuah saat ini membuat IM57+ – organisasi masyarakat sipil mantan pegawai KPK – memandang pembenahan di KPK tidak bisa dilakukan biasa-biasa saja.

Bertandang ke kantor Tirto, Ketua IM57+, M Praswad Nugraha, dan Sekjen mereka, Lakso Anindito, menuturkan banyak pandangan soal situasi kinerja KPK dan kondisi upaya pemberantasan korupsi saat ini.

Menurut Abung, sapaan akrab Praswad, penurunan kinerja pemberantasan korupsi saat ini memang buah dari upaya pemerintah dan DPR menggembosi taji KPK lewat revisi UU KPK pada 2019 silam. Revisi itu membuat lembaga antirasuah berada di bawah rumpun eksekutif sehingga kehilangan independensi mereka dalam memberantas korupsi.

Ditambah, Pansel untuk capim dan dewas KPK periode 2019-2023, malah meloloskan calon pimpinan bermasalah sebab punya rekam jejak etik dalam pemberantasan korupsi. Terbukti hasilnya, mantan Ketua KPK, Firli Bahuri, saat ini merupakan tersangka kasus pemerasan di pusaran perkara korupsi yang menyandung Syahrul Yasin Limpo (SYL).

“Dan kita tahu persis [saat itu] bahwa ini bakal hancur nih KPK kalau begini. Sampai sempat kita tutup gedung KPK pakai kain hitam. Lalu kita buat acara pemakaman KPK,” kata Abung kepada Tirto dalam acara podcast For Your Politics - Intervensi di Kasus Harun Masiku dan Pesan untuk Pak Prabowo.

Abung menilai idealnya calon pimpinan KPK tidak diisi oleh figur yang juga aktif bertugas di lembaga penegak hukum lain. Pasalnya, hal tersebut menimbulkan konflik kepentingan dan loyalitas ganda.

“Jadi harapan kami memang periode yang akan datang ini, periode yang akan dipilih 2024 ini, itu adalah pimpinan-pimpinan KPK yang tidak berasal dari petugas-petugas dari penegak hukum dari lembaga penegak hukum lain,” tegas dia.

Di sisi lain, Lakso memandang bahwa pembenahan di KPK sudah harus ada di taraf luar biasa. Pembenahan biasa-biasa saja menurut dia tidak cukup mengembalikan taji KPK.

“Jadi sebetulnya kalau ingin ada itikad untuk memperbaiki KPK, itu upaya biasa-biasa saja tidak cukup,” ujar Lakso.

Selain itu, kata dia, pembenahan KPK harus dilakukan sepaket karena tak cukup dengan hanya mengembalikan kondisi KPK seperti sebelum revisi undang-undang. Dia menilai, yang dibutuhkan saat ini adalah pansel KPK periode 2024-2029 harus punya kemauan politik membabat calon pimpinan bermasalah dan titipan penguasa.

Hingga pendaftaran capim KPK ditutup oleh panitia seleksi (pansel) KPK, Senin (15/7/2024) malam, jumlah pendaftar capim KPK sudah ada sebanyak 318 orang, yang terdiri dari 298 laki-laki dan 20 perempuan. Sedangkan, jumlah pendaftar calon Dewan Pengawas (Dewas) KPK ada sebanyak 207 orang, yang terdiri dari 184 laki-laki, serta 23 perempuan.

Abung dan Lakso turut bicara soal kemungkinan revisi UU KPK yang wacananya sempat dilempar di Senayan. Selain itu, mereka juga buka-bukaan soal intervensi kekuasaan dalam kasus KPK yang kembali menjadi sorotan, perkara Harun Masiku. Bagaimana obrolan Tirto dengan mereka berdua? Simak petikannya di bawah ini:

Apa sih makna dari IM7+ itu?

Abung: Sebenarnya IM57+ itu filosofinya dari Indonesia Memanggil. Karena Indonesia Memanggil itu trademarknya KPK dalam program rekrutmennya kala itu. Tapi waktu itu kami bingung ya soalnya, mau dikasih nama apa nih.

Organisasi kami, teman-teman 57 yang disingkirkan. Terus tidur-tiduran di sofa di C1 itu ya. Apa ya soalnya? Lagi sambil ngelamun-ngelamun gitu.

Terus jadi filosofinya bahwa saat itu ya at that time itu 30 September 2021 itu Indonesia Memanggil kami gitu loh. [Memanggil] Kembali ke pangkuan masyarakat sipil. Itu untuk memperkuat masyarakat sipil. Karena saat itu KPK itu sudah tidak lagi membutuhkan kami.

Atau negara sudah tidak lagi membutuhkan kami. Ya sudah lah kami dipanggil kembali gitu loh. Indonesia Memanggil 57+. Jadi seluruh rakyat Indonesia ini adalah bagian dari yang perlawanan.

Bagian dari bara api perlawanan itu. Dan harapannya api perlawanan itu menyebar ke seluruh rakyat Indonesia. Dan mereka semua adalah bagian dari kita yang saat itu disingkirkan oleh oligarki, oleh kekuatan politik.

Jadi ya mudah-mudahan IM57 itu bisa terus berkesinambungan, melanjutkan perlawanan antikorupsi dalam kondisi misalnya KPK bisa ter-absorbs mereka. Oleh kekuatan oligarki, lalu kami akan terus melawan.

Lakso: Jadi apa yang membuat make a difference IM57+ itu sebetulnya merupakan center of excellence. Dari resource yang sangat luar biasa. Jadi di KPK itu, sebetulnya investasi paling besar itu bukan dikeluarkan pada alat penyadapan dan alat-alat yang aneh-aneh.

Tetapi sebetulnya investasi yang besar ada pada manusia. Itu kenapa kalau dilihat banyak penyidik KPK itu lulusan luar negeri, pernah dilatih FBI, dan lain-lain. Nah resource ini itu kan sebetulnya untuk bisa membangun sampai tahapan itu, itu kan bukan menggunakan uang yang sedikit.

Untuk sampai menjadi penyidik penyelidik yang tangguh. Sayang sekali apabila resource ini ketika dipecat digunakan hanya untuk kepentingan-kepentingan yang sifatnya pekerjaan dan lain-lain. Nah disini lah sebetulnya sumbangsih ketika kami sudah dihentikan secara paksa oleh negara, untuk berkontribusi melalui lembaga negara, kami pindahkan menjadi resource ini untuk membantu melalui kolaborasi dengan elemen masyarakat sipil.

Nah sebetulnya itu filosofi. Jadi center of excellence yang mengumpulkan orang-orang sudah dibiayai negara untuk menjadi excellence tapi tidak dipakai oleh negara.

AKSI TOLAK PEMECATAN PEGAWAI KPK

Mahasiswa dari BEM di sejumlah universitas Kabupaten Banyumas menggelar aksi menolak pemecatan pegawai KPK yang tidak lulus TWK di Alun-alun Purwokerto, Banyumas, Jateng, Sabtu (25/9/2021). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/rwa.

Sebenarnya kalian sendiri melihat apa situasi KPK sekarang itu seperti apa?

Lakso: Kalau kita bicara kemampuan, jangan salah, penyidik-penyidik di kepolisian itu jagoan-jagoan. Kalau kita bicara penuntutan, penuntut di kejaksaan agung itu rajanya, sudah menangani bukan hanya perkara korupsi, tapi perkara juga nonkorupsi.

Sebetulnya membedakan KPK dengan lainnya adalah KPK itu didirikan dengan semangat untuk adanya independensi dalam proses penegakan hukum.

Makanya disitu ada tiga pilar penting. Yang pertama, posisi KPK dalam kata ketatanegaraan sebagai state auxiliary agencies. Yang kedua, independensi pengelolaan manajemen kepegawaian.

Yang ketiga adalah kita bicara mengenai one-roof enforcement system.

Jadi mulai dari penyelidikan sampai penuntutan itu di satu atap. Perjalanan pasca-revisi [UU KPK] 2019, proses penurunan KPK itu tidak hanya terjadi mulai dari saat pemecatan.

Tetapi skenario itu dilakukan mulai dari revisi hukumnya sampai dengan ditaruh pemimpin-pemimpin yang mempunyai catatan integritas. Nah, hasilnya ketika manajemen tidak lagi independen karena menjadi ASN, setelah itu posisi berada di bawah presiden, habis itu yang ketiga one-roof enforcement system menjadi tidak jelas dengan beberapa kali praperadilan termasuk kasus Gazalba terakhir. Apa yang membuat KPK [saat ini] menjadi istimewa?

Karena kita bicara mengenai integritas kelembagaan. Mulai dari tahap penyidikan, sudah ada yang penyidik jadi tersangka. Karena menerima lebih dari 11 miliar rupiah dari penanganan kasus. Kita bicara apa namanya proses penuntutan.

Kemarin ada ramai-ramai soal pemeriksaan etik. Terkait dugaan ada jaksa yang dianggap menerima. Nah itu perlu dibuktikan.

Kita bicara mengenai pasca-penuntutan dalam proses itu ya, pengelolaan rumah tahanan. Kita sudah melihat ada korupsi jemaah dalam di sana.

Sampai ke pimpinan pun, kita lihat bahwa pimpinan sudah ada yang jadi tersangka. Kasus korupsi lagi yang tersangka. Dan dalam level yang lebih kecil yaitu administrasi. Kita lihat ada pengelapan oleh admin sampai Rp500 juta.

Itulah yang menurut saya kalau ditanya, gimana sih keadaan KPK sekarang? Yang tidak ada uniqueness lagi.

Sebenarnya keadaan yang sekarang ini apakah sesuatu yang sudah diprediksi karena revisi UU KPK tersebut?

Abung: Aku tuh selalu suka menggunakan analogi yang sederhana. Tidak mungkin kita menanam biji cabai yang tumbuh anggur. Bahkan kita lakukan aksi massa terbesar pasca-Reformasi 98 adalah aksi masa reformasi di korupsi 2019. Itu aksi massa terbesar ya di Indonesia. Jadi itu hampir 25 tahun tuh kita enggak pernah ada aksi massa terbesar yang melibatkan seluruh elemen masyarakat Indonesia.

Pasca 1998 kecuali aksi reformasi di korupsi 2019 yang hampir membuat Senayan jatuh gitu ya. Jadi saat itu kan sebenarnya publik itu sudah sebegitu, sudah aware, sudah menghabiskan jeritannya gitu ya. Sampai bila perlu bisa tembus-tembuslah gendang telinganya Presiden saat itu ataupun Ketua DPR saat itu. Bahwa jangan dibunuh KPK.

Karena kalau KPK dibunuh maka akan terjadilah hari ini. Korupsi merajalela, KPK hancur. Ketua KPK jadi tersangka pemerasan, terus penyidik tersangka.

Pimpinan-pimpinan melanggar kode etik. Sampai ada 90 orang yang terlibat di [kasus pungli] rutan KPK, seperti yang dijelaskan Mas Lakso. Jadi kerusakan total itu sudah 5 tahun yang lalu diberikan warning.

Jadi satu tambah satu sama dengan dua, kan gitu. Kalau KPK enggak independen, kalau KPK diisi oleh pimpinan yang tidak berintegritas, saat itu di masa pendaftaran pimpinan kebetulan Firli Bahuri daftar dan lain-lain.

Dan kita tahu persis bahwa ini bakal hancur nih KPK kalau begini. Sampai sempat kita tutup gedung KPK pakai kain hitam. Lalu kita buat acara pemakaman KPK. Di aula Gedung Merah Putih. Dipimpin sama Mbak Asfinawati waktu itu ya. Kita buatin acara pemakaman.

Karena kita tahu ini mematikan KPK dan pasti akan kejadian seperti hari ini. Dan benar, jadi hari ini itu sudah bukan diprediksi lagi. Itu bahkan kita sudah, bahkan ada korban nyawa.

Pahlawan aksi reformasi di korupsi itu ada lima orang yang waktu itu wafat. Dan kemudian kita abadikan menjadi penerima IM 57+ Award yang pertama, tahun 2022 September.

Karena memang ini adalah pilihan logis ya yang diambil oleh rezim kita. Diambil oleh Presiden Jokowi dan diafirmasi, disetujui olehnya. Bahwa memang konsekuensi ini sudah disampaikan dan diambil jadi keinginan penuh dari pemerintah untuk membuat KPK menjadi hancur seperti ini.

Menurut kalian bagaimana efek yang terjadi hari ini terhadap kinerja penyidik KPK itu sendiri?

Lakso: Jadi kalau ditanya apakah berdampak atau tidak, itu kan alat ukurnya kan ada macam-macam. Sekarang kita pakai alat ukur ini aja deh. Kualitas kasus yang ditangani.

Nah kalau kita bicara mengenai kualitas kasus ditangani, zaman dulu sebelum revisi Undang-Undang KPK, sebelum adanya TWK, menangani pada tingkatan Menteri, pada tingkatan Gubernur, pada tingkatan lain-lain itu merupakan suatu hal yang biasa terjadi di KPK.

Tapi kalau kita bisa lihat sekarang, KPK baru menangani pada level Menteri itu dua kali. Pertama pada saat teman-teman belum di TWK, ini salah satu penyidiknya nih Mas Praswad, kasus Menteri Sosial, dan waktu itu ada KKP ya.

Kedua, pada saat Pilpres. Jadi kita bisa melihat bahwa memang dampaknya itu bisa dilihat dari output yang diluarkan KPK. Dan kalau kita bisa melihat sekarang operasi tangkap tangan [OTT] KPK pun semakin turun.

Kenapa semakin turun? Karena bahkan pada level pimpinan pun tidak memahami kenapa filosofisnya ada operasi tangkap tangan. Alex [Alexander Marwata] menganggap, contohnya ya, hanya hiburan.

Pimpinan KPK yang menjabat di periode kedua mengatakan operasi tangkap tangan adalah hiburan. Dari sisi process of law, itu jelas menyalahi. Kenapa? Karena seorang penegak hukum menganggap nasib orang lain itu adalah hiburan.

Ini kita bicara mengenai haknya si tersangka loh ya. Apalagi kita bicara mengenai ekspektasi yang diinginkan publik. Sebetulnya kan OTT itu memiliki deterrence effect yang sangat luas ya.

Kalau kita bicara case building, ya kan itu proses penyelidikannya dilakukan secara terbuka. Itu lebih terbuka. Tapi kalau OTT, orang bawa duit, semua pada takut. Nah itulah kalau kita bisa melihat. Filosofis yang se-standard itu aja pimpinan KPK tidak memahami.

Ya wajar sih kalau kita lihat kan Pak Alex juga kan dulu daftar pegawai aja gagal. Pimpinan baru kepilih. Jadi saya, saya bicara fakta aja. Jadi kalau saya lihat sih memang pasti berdampak secara signifikan.

Enggak usah lah bicara mengenai kondisi di internal penyelidikannya. Tetapi dari output yang keluar saja sudah menunjukkan bagaimana kinerja KPK saat ini.

Kita mungkin bisa masuk ke persoalan Harun Masiku gitu. Nah sebetulnya kenapa sih kayak sulit sekali gitu menangkap buronan ini?

Abung: Jadi saya akan mulai dari soal intervensi politik. Kasus Harun Masiku ini kan dari hari pertama itu memang sudah sangat sulit bagi kita untuk menyatakan bahwa perjalanan kasus ini higienis dan tidak ada intervensi. Tidak tertangkapnya Harun Masiku di tanggal 8 Januari [2020] itu ada intervensi.

Ada insiden di PTIK yang melibatkan kekuasaan yang mengintervensi berjalannya proses penangkapan Harun Masiku. Itu adalah fakta. Jadi tidak tertangkapnya Harun Masiku karena akhirnya intervensi. Itu fakta.

Kenapa hari ini kemudian kasus Harun Masiku kemudian muncul kembali? Ini juga adalah satu fakta bahwa munculnya kasus Harun Masiku hari ini itu setelah Pilpres 2024. Setelah adanya gonjang-ganjing politik, ada partai koalisi menjadi oposisi, ada oposisi menjadi koalisi dan lain-lain. Ini adalah fakta.

Jadi ini sebenarnya yang kita khawatirkan ya. Kami sangat mendukung sekali bila perlu kita lagi ngobrol ini Harun Masiku harus ditangkap gitu. Tapi kan yang membuat kita risau adalah ada satu kasus yang dibuat timbul tenggelam karena intervensi.

Saat dia tenggelam menjadi mati suri selama 4,5 tahun itu dikarenakan intervensi oleh anasir-anasir lain selain hukum. Saat hari ini dia timbul itu juga dikarenakan intervensi.

Jadi ada faktor di luar yuridis, di luar hukum, yang bisa memutuskan berjalan atau tidak berjalannya satu kasus di KPK. Ini yang menjadi concern kita semua.

Dan kalau KPK sudah turun masuk ke gelanggang politik, maka kiamat lah pemberantasan korupsi kita karena dia akan menjadi alat kekuasaan.

Begitu juga kekuasaan tidak boleh turun ke gelanggang penegakan hukum. Karena kalau kekuasaan turun ke gelanggang penegakan hukum, maka akan ada insiden-insiden di PTIK yang terulang.

Kalau penegak hukum turun ke gelanggang kekuasaan, maka akan ada lagi kasus-kasus timbul-tenggelam, timbul-tenggelam seperti Harun Masiku, saling kode-mengkode, ancam-mengancam. Yang faktor penentunya itu adalah malah justru anasir non-hukum. Ini yang kemudian membuat kita sangat-sangat concern.

Kita enggak peduli siapa pun yang terlibat melakukan, misalnya membantu pelarian Harun Masiku. Itu harus ditetapkan tersangka. Jangan dikasih kode itu loh.

Maksudnya ada permohonan cekal lah, ada ini lah, tapi [kata KPK] kita nggak cekal karena kooperatif. Itu kan sebuah hal yang, oh Harun Masiku sudah diketahui lokasinya 7 hari lagi. Itu kan kode loh [untuk buronan].

Kok gimana ada penegak hukum yang mengumumkan kehalayak ramai sesaat sebelum menangkap si buronan. Kan nggak logis. Justru seharus sekedap-kedapnya, karena dia buronan, dia tidak boleh tahu bahwa kita sudah mencium lokasinya.

Buronan ini, secara nature, secara sifatnya, dia kan butuh uang tunai yang banyak. Pertama, dia nggak bisa mengakses lembaga keuangan, gak bisa ke ATM, nggak bisa ke bank, nggak bisa buka rekening, nggak bisa di transfer juga.

Karena once dia ke ATM, dia akan ter-capture oleh CCTV. Once dia ke teller bank, dia akan ter-capture oleh CCTV, saksi, ada satpam, ada segala macam. Nah, sementara Harun Masiku ini enggak hanya pelarian di dalam negeri, lintas negara.

Artinya semakin banyak lagi uang tunai yang dia butuhkan. Di satu sisi, sebegitu besarnya kebutuhan dia akan uang tunai, namun di satu sisi, dia tidak boleh bekerja, tidak bisa bekerja. Karena sekali dia bekerja, ya atasannya tahu, oh gue memperkerjakan seorang buronan.

Maka kesimpulannya akan sangat mustahil seorang buronan lintas negara tidak didukung oleh fiskal yang sebegitu, resource fiskal yang sangat besar. Jadi, pastinya ada yang membantu dan pasti ada yang membiayai.

Tinggal KPK, ya sudah, tetapkan aja, tersangka kan gitu kan. Potong logistiknya. Once dia terpotong logistiknya, mati resource-nya, sumber daya kehidupannya mati, pasti akan ketangkep.

Kalau kita mau menangkap Harun Masiku sesederhana itu menurut saya, potong jalur logistiknya, pasti ketangkep.

Aksi tuntut KPK tangkap Harun Masiku

Mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas BEM Indonesia membawa poster dan spanduk bergambar DPO Harun Masiku saat aksi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (29/8/2023). Mereka meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak takut tekanan dan pengaruh parpol untuk menangkap buronan Harun Masiku. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/tom.

Kalau tidak ada intervensi politik, berapa lama Harun Masiku bisa ketangkap?

Abung: Ya hitungan hari lah mungkin ya. Saya enggak mau nyebutin angka di hari, tapi saya yakin bahwa teman-teman KPK sangat profesional. Di level penyelidik, penyelidik, surveillance, team intelijen saya tahu persis mereka sangat profesional dan sangat jago-jago sekali.

Bagaimana IM57+ melihat komposisi pansel capim dan dewas KPK?

Lakso: Sebetulnya kan persoalan di KPK ini dari awal, tadi kan udah dijelaskan sama, apa namanya, Mas Praswad juga ya, bukan hanya persoalan etik pimpinan. Etik pimpinan, terpidana pimpinan, macam itu sudah banyak. Ditambah lagi sekarang kepercayaan publik turun.

Jadi sebetulnya kalau ingin ada itikad untuk memperbaiki KPK, itu upaya biasa-biasa saja tidak cukup. Kedua, sebetulnya kalau kita bicara mengenai pemilihan pimpinan, kurang data apa lagi sih, yang diberikan untuk Pansel KPK pada saat Firli Bahuri dan kawan-kawan terpilih.

Saya sama Mas Praswad, waktu itu sampai ke istana untuk memberikan dan menceritakan soal kandidat-kandidat yang bermasalah. Pada saat itu, KPK secara terpisah, secara institusi memberikan data juga kepada pansel mana calon-calon yang memiliki track record buruk, mana yang memiliki catatan etik, dll. Tapi apa yang terjadi, Firl Bahuri tetap dipilih.

Padahal beberapa bulan sebelumnya, dia dipetisi untuk bisa keluar dari KPK. Karena waktu itu penyelidik dan penyidik merasa ada yang menahan kasus pada saat dia menjadi Deputi Penindakan. Artinya, kalau kita bicara satu, perlu ada upaya yang luar biasa, bukan biasa.

Yang kedua, informasi itu pasti datang dan pasti komprehensif. Ini kan soal political will akhirnya. Political will keberanian pansel untuk menunjuk calon-calon yang berintegritas, dan bukan hanya menjadi legitimasi dari pilihan Pak Jokowi saja.

Kalau melihat dari komposisi dengan mayoritas pemerintah, walaupun di sana ada Kepala PPATK, dengan segala hormat saya kepada Pak Ivan [Ivan Yustiavandana], kalau data dan informasi sudah lengkap kok pansel itu. Yang dibutuhkan bukan data dan informasi. Tetapi keberanian untuk bilang: Pak Jokowi ini calon bermasalah. Jangan pilih ini.

Bukan malah memberikan cap, oke Pak, calon-calon Bapak, kita cap menjadi calon yang dipilih oleh pansel KPK. Jadi kalau saya sih sejak awal sudah pesimistis saja dengan komposisi pansel yang ada dan saya tidak berharap apapun.

Dan kita perlu menyiapkan upaya-upaya untuk bisa nantinya mengawal pimpinan yang terpilih. Karena saya yakin pimpinan yang terpilih pasti tidak baik-baik saja.

Dan jangan lupa, pimpinan KPK sekarang itu dipilih oleh presiden di masa akhir jabatannya. Semua tahu bahwa ketika masa akhir jabatan pasti dia ingin mengamankan semuanya. Apa yang sudah terjadi di 10 tahun, masa kepimpinan. Bisa bayangkan komposisi pimpinan yang terpilih seperti apa untuk mengamankan, berpotensi untuk mengamankan kepentingan.

Kriteria pimpinan yang seperti apa sih yang dibutuhkan KPK?

Abung: Karena saya itu sudah hampir, bukan sudah hampir, saya mengalami seluruh periode pimpinan KPK. Seluruh periode pimpinan itu saya alami dan memang setiap era itu pasti ada upaya intervensi. Tidak mungkin tidak ada.

Setiap era itu pasti ada. Jadi tidak ada juga pimpinan KPK yang tidak pernah mengalami diintervensi. Tapi mungkin yang paling imune itu adalah pimpinan-pimpinan yang memang, yang paling sedikit resikonya, untuk dilakukan intervensi oleh kekuasaan atau oleh politik atau oleh lembaga eksekutif lainnya. Itu adalah pimpinan-pimpinan yang tidak berasal dari lembaga negara atau lembaga penegak hukum lain.

Jadi harapan kita memang periode yang akan datang ini, periode yang akan dipilih 2024 ini, itu adalah pimpinan-pimpinan KPK yang tidak berasal dari petugas-petugas dari penegak hukum dari lembaga penegak hukum lainnya.

Karena ini jadi permasalahan laten sebenarnya di KPK. Ketika ada masuk pimpinan atau masuk struktural atau fungsional yang dari lembaga penegak hukum lain, itu sebenarnya mau ke arah mana loyalitas itu ditegakkan. Karena kan statusnya dua, pegawainya kan dua.

Satu, masih bekerja di penegak hukum. Status penggajian, status kepegawaian masih di lembaga penegak hukum lain gitu kan. Terutama karir ya, masih di lembaga penegak hukum lain. Tapi sehari-hari bekerja di KPK. Jadi tidak mungkin bisa objektif ataupun tidak mungkin bisa “bermatahari satu” ya istilah kita dulu-dulu di KPK.

Loyalitas itu tidak mungkin bisa mono-loyalitas kalau status kepegawainya saja double-double gitu loh. Jadi apalagi di level pimpinan. Ini sangat berbahaya sekali kalau misalnya kita teruskan sistem yang seperti ini dan itu terbukti gagal.

Apalagi pada saat, pada saat Firli Bahuri masuk itu dia masih statusnya jenderal aktif. Dan tidak berhenti dari status jenderalnya [di Polri]. Jadi pimpinan KPK saat itu adalah anggota Polri aktif jenderal gitu loh.

Dan masih memasang bintang tiga di kerahnya gitu ya. Jadi kita juga sampai bingung waktu itu ini sebenarnya kita sedang berhadapan dengan seorang jenderal polisi aktif atau kita sedang berhadapan dengan ketua KPK. Ini yang sangat menurut kami concern kita yang paling utama.

Tidak boleh ada perwira aktif masuk jadi pimpinan KPK lalu double status kepegawainya. Terus juga akan double karena dia memiliki garis komando yang masing-masing gitu loh. Jadi mono-loyalitas itu harga mati sih.

*Eks pegawai KPK [termasuk IM57+] saat ini sedang mengajukan judicial review UU KPK terkait batas usia calon pimpinan yang dikembalikan ke 40 tahun. Nah kira-kira kalau dari teman-teman sebenarnya apa sih alasannya gitu?

Lakso: Sebetulnya ada dua hal yang melatarbelakangi itu. Yang pertama kita bicara hal yang sifatnya membosankan. Bicara mengenai legalitas hukum formalitas. Jadi kenapa kita tulis disitu 40 tahun ya dan pengalaman sebagai pegawai KPK selama minimum satu periode pimpinan KPK.

Karena memang secara filosofis Nurul Ghufron saja bisa mengajukan itu. Jadi kenapa kalau sampai Mahkamah Konstitusi memutuskan hal yang lain maka perlu dipertanyakan ada ketidak konsistenan dengan putusan-putusan sebelumnya. Jadi itu yang pertama. Karena kalau kita bicara mengenai pengalaman kerja itu ada syarat lain yang tidak diubah sebetulnya.

Yaitu pengalaman serial kapasitas ya telah berbelas tahun itu ya bergerak di bidang antikorupsi penegakan hukum dan lain-lain. Jadi yang pertama ya sebetulnya kenapa 40 tahun dan kenapa pernah menjadi pegawai KPK, karena senada dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya.

Yang kedua hal yang lebih mengkhawatirkan ini sebetulnya apa yang kita ajukan di judicial review. Adalah satu bentuk sikap. Sikap atas kegagalan revisi undang-undang KPK.

Revisi undang-undang KPK mensyaratkan 50 tahun. Nyatanya hasil produknya 5 pimpinan yang hampir semuanya bermasalah. Dan satu menjadi tersangka.

Enggak pernah ada sejarahnya pimpinan KPK aktif menjadi tersangka kasus korupsi yang itu bukan kriminalisasi ya. Dan memang itu memang terjadi gitu dan dibuktikan kemarin di sidang SYL memang ada penerimaan. Jadi kita ini adalah satu bentuk sikap.

Kalau kalian sudah merevisi yang katanya untuk memperbaiki KPK tidak bisa menemukan pimpinan terbaik. Why not, kita kembalikan lagi ke semangat yang awal untuk bisa memilih pimpinan KPK yang berumur 40 tahun. Dan memiliki pengalaman dalam bekerja di Komisi Pembatasan Korupsi.

Kalau misalnya itu Mahkamah Konstitusi [MK] mau mengabulkan secara waktu cepat, udah siap daftar semua [jadi calon pimpinan KPK]. Jadi Novel Baswedan, Praswad Nugraha dan 12 orang lainnya itu siap untuk mendaftar sebagai pimpinan KPK. Kenapa? Karena tanggung jawab ini harus diambil.

Kita tidak bisa hanya bicara, ini pimpinan KPK tidak benar. Nantikan satu saat anak cucu kita bertanya, kenapa bapak dulu nggak daftar? Saya bilang, kita udah daftar tapi hakim Mahkamah Konstitusinya memang belum memulai sidang itu.

Harusnya kan Mahkamah Konstitusi berpikir bahwa ini sama wajibnya. Dengan soal pencalonan presiden yang di bawah 40 tahun atau Wakil Presiden. Kan itu kan di proses dalam waktu yang singkat.

Bagaimana IM57+ melihat terbukanya kesempatan revisi UU KPK kembali?

Abung: Pendapat saya sama lah. Jadi menurut saya kalau mau direvisi ya revisi aja. Sama kayak KPK mau nangkep Harun Masiku, ya tangkep aja. Atau KPK mau menetapkan tersangka lain, ya tetapkan. Atau mau mencekal, tetapkan.

Nah begitu juga di satu sisi misalnya ada Pak Bambang Pacul mau ngatakan bahwa kita akan merevisi. Ya revisi. Jangan akan, hampir, terus aja begitu.

Tapi ya di satu sisi kan kita bisa ngomong bahwa, oh iya kalau kode mengkode biasanya memang orang politik gitu [jagonya]. Karena kan di dalam politik itu adalah mungkin seni kali ya. Saya juga enggak pernah belajar politik nih. Saya enggak paham tuh kode-kode.

Tapi yang jelas kan harga mati bahwa KPK nggak boleh main kode-kodean. Jadi kalau dia mau melakukan penangkapan ya dia tangkap. Enggak, dikode kita malam ini akan melakukan penangkapan. Kan enggak begitu, gitu loh. Kita enggak butuh informasi semacam itu. Kita besok akan melakukan pencekalan. Semua orang kabur malam ini gitu loh.

Kalau memang direvisi ada masukan apa yang perlu diperbaiki?

Saya jadi sedih kalau ngomong ini. Karena lima nyawa sudah hilang. Terkait dengan perjuangan untuk mempertahankan undang-undang KPK agar tidak dirusak ya. Dan tidak hanya nyawa. Beberapa bahkan cacat ya, cacat tetap. Ada yang gegar otak.

Ada teman-teman kita, teman-teman mahasiswa yang sampai sekarang justru enggak pernah pulih-pulih. Kena traumatik dengan kekerasan waktu itu yang dialami oleh mereka pada saat melakukan aksi reformasi di korupsi tahun 2019.

Saya agak baper nih kalau ngomongin soal aksi Reformasi Dikorupsi. Karena memang hadir ya saat itu kita semua ya dan teman-teman IM57+ malah waktu itu betul-betul hadir secara fisik. Lahir batin di depan gedung Senayan gitu. Betul-betul kami perjuangkan dan suarakan.

Lakso: Kalau saya sih bicara package. Jadi ini enggak bisa dilihat 2019 itu hanya revisi undang-undang. Tapi 2019 adalah paket lengkap gitu ya. Kalau beli itu ya enggak bisa beli ala carte gitu. Jadi harus beli itu package.

Di saat situ ada revisi undang-undang KPK, ada pemilihan pimpinan KPK bermasalah, habis itu ada pemecatan pegawai. Di balik tiga itu aja.

Pertama, pegawai yang dipecat dikembalikan. Untuk menunjukkan bahwa ada komitmen negara. Mengakui bahwa apa yang dilakukan dahulu salah.

Yang kedua, kita bicara mengenai pimpinan KPK. Kasih pimpinan yang benar. Yang ketiga, kalau teknis soal revisi itu kembalikan pegawai jadi independen. Dan kembalikan KPK bukan di bawah langsung dari kekuasaan eksekutif. Jadi harus package.

Apakah artinya kita kembali ke aturan lama?

Abung: Tetap, kalau kembali ke aturan lama, tapi masih dikasih pimpinan dalam masalah sama aja. Kembali ke aturan lama, pegawainya masih harus tunduk sama aturan di ASN, BKN, harus naik pangkat segala macam, harus ke BKN, ke Kemenpan-RB ya sama saja.

Cuma di KPK itu, jadi ada aturan khusus bagi kami, wajib menentang perintah pimpinan yang bertentangan dengan hukum, bertentangan dengan kode etik, bertentangan, jadi kita itu wajib, justru kalau kita mengikuti perintah [melanggar aturan]. Ini kan organisasi yang, dulu waktu pertama kali saya direkrut, ini aneh, ini malah wajib melawan.

Jadi perlawanan itu jadi sesuatu yang wajib di KPK. Memang didesain, memang organisasi melawan. Jadi mungkin saya nggak tahu ya, saya nggak tahu organisasi lain. Karena saya awal fresh graduate, saya langsung masuk di KPK.

Tapi ini unik loh, KPK ini, pegawainya diwajibkan untuk melawan pimpinannya. Bayangin coba. Kok ada organisasi yang kewajibannya melawan? Nah ini hasilnya, itu lah hasilnya.

Bagaimana harapan kalian untuk KPK ke depan?

Lakso: Saya jujur ya, saya sudah terlalu banyak diberikan harapan,. Semenjak bahkan sebelum dipecat. Dulu kan Presiden ya ngomong, jangan dipecat. Itu udah harapan kan.

Sampai dengan ini saya enggak ada harapan sih. Ya tadi kata Bang Praswad aja, just do it aja. Saya nggak ada harapan. Packagenya dibalikin aja.

Kalau saya sebut harapan, saya takut kecewa lagi. Kan kadang-kadang dikasih terlalu banyak janji kan sama pasangan kan nggak ada yang suka juga.

Pesan untuk presiden terpilih Prabowo Subianto terkait pemberantasan korupsi?

Lakso: Kita tidak ada yang tahu ya kejutan-kejutan yang dilakukan presiden. Dulu Pak Jokowi hampir semua orang dukung karena kepemimpinannya di Solo bagus, termasuk saya ya. Tapi ternyata apa yang dilakukan 10 tahun ini malah merusak reformasi.

Jadi kita nggak tau juga apa yang dilakukan Pak Prabowo ke depan, jadi saya pesen satu saja. Pak Prabowo kan sudah lama pengen jadi presiden, dan beberapa kali ikut kontestasi, maka pesan saya simple. Sayang banget pak kalau di satu periode kepemimpinan nanti tidak menghasilkan legasi.

Salah satu legasi yang bisa dilihat dan dirasakan publik adalah mengembalikan marwah KPK. Ketika berhasil kembalikan marwah KPK, akan ada berubahan signifikan orang-orang memandang sosok Prabowo Subianto.

Abung: Saya sih sedikit ya, selama 10 tahun terakhir kan kita di era Presiden Jokowi kan terkait kinerja pemberantasan korupsi selalu yang kita tunjuk hidungnya KPK. Salah ada di pimpinan KPK, pimpinan KPK tidak berintegritas, tapi kita lupa bahwa pangliman pemberantasan korupsi itu yang ada di konstitusi itu adalah Presiden.

Jadi panglima tertinggi penegakan hukum adalah presiden, panglima tertinggi angkatan bersenjata adalah presiden, dan panglima tertinggi pemberantasan korupsi di Indonesia adalah bapak Presiden.

Maka kalau Pak Prabowo Subianto menonton podcast ini, kami mohon pimpinlah perang besar kita, perang seluruh masyarakat Indonesia ini, kepada bapak Prabowo kami taruh harapan kami semua untuk memimpin perang pemberantasan korupsi dengan gagah berani. Dan buktikan bapak, bapak seorang pemberani, seorang pemimpin yang menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia.

IM57+ Institute laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK

Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha (tengah) didampingi Dewan Penasehat Novel Baswedan (dua kanan) menunjukkan barkas laporan di gedung lama KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (26/4/2024). IM57+ Institute melaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas dugaan pelanggaran kode etik. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto