tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di era kepemimpinan Firli Bahuri kembali menjadi sorotan publik. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya tersangka KPK yang masih menjadi buronan. Hingga pertengahan 2022, setidaknya masih ada lima buronan komisi antirasuah yang belum diketahui jejaknya.
Dari kelima tersangka KPK yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) tersebut, ada yang sudah menjadi buron selama 5 tahunan. Ia adalah Kirana Kotama, buronan KPK yang masuk DPO sejak 15 Juni 2017.
Kirana Kotama diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi memberi hadiah atau janji terkait penunjukan Ashanti Sales Inc sebagai agen eksklusif PT PAL Indonesia (Persero) dalam pengadaan kapal SSV untuk Pemerintah Filipina pada 2014-2017 kepada Arif Cahyana selaku Kadiv Perbendaharaan PT PAL bersama-sama dengan M Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama PT PAL, serta Saiful Anwar selaku Direktur Desain dan Teknologi merangkap Direktur Keuangan PT PAL.
Nama kedua adalah Surya Darmadi yang menjadi buronan KPK sejak 2019. Surya Darmadi belakangan kembali menjadi sorotan publik setelah dijerat perkara TPPU oleh Kejaksaan Agung.
Pada Senin (1/8/2022), Kejaksaan Agung menetapkan Surya Darmadi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyerobotan lahan seluas 37.095 hektare di wilayah Riau. Surya disebut melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008, Raja Thamsir Rachman. Surya juga dijerat dengan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Pada 2019, Surya Darmadi juga telah dijerat sebagai tersangka oleh KPK. Ia diduga menjadi salah satu pemberi suap terhadap Annas Maamun selaku Gubernur Riau saat itu.
Dalam kasus tersebut, Surya Darmadi dkk diduga menjanjikan Rp8 miliar kepada Annas Maamun. Tujuannya ialah agar memasukkan lahan milik sejumlah anak perusahaan PT Darmex Argo yang bergerak dalam usaha perkebunan kelapa sawit, dalam revisi usulan perubahan luas kawasan bukan hutan di Provinsi Riau.
Selain kedua buronan di atas, KPK juga punya buronan lainnya, yaitu Harun Masiku dan Izil Azhar. Izil Azhar masuk dalam DPO KPK pada 2018 atas kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya bersama Gubernur Aceh periode 2007-2012, Irwandi Yusuf.
Sedangkan Harun Masiku telah masuk dalam DPO KPK sejak 20 Januari 2020. Harun Masiku terjerat kasus dugaan suap penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dari Fraksi PDIP periode 2019-2024.
Teranyar, pada Juli 2022, KPK menetapkan Bupati Mamberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak dalam daftar pencarian orang (DPO) KPK. Ia dinilai tak kooperatif terhadap proses hukum kasus dugaan suap dan gratifikasi pelaksanaan berbagai proyek di Pemkab Mamberamo Tengah, Provinsi Papua.
Dalam upaya pencarian Ricky Ham Pagawak, KPK mengaku telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak mulai dari Gubernur Papua hingga Interpol.
“Kami juga sudah meminta kepada Bareskrim Polri, termasuk juga NCB Interpol tentunya untuk melakukan pencarian terkait dengan DPO KPK ini,” kata Plt. Juru Bicara KPK, Ali Fikri, Selasa (2/8/2022).
Ali Fikri mengatakan permintaan bantuan tersebut merupakan bentuk keseriusan KPK dalam upaya pencarian Ricky Ham Pagawak. “Betul itu adalah tanggung jawab KPK, tetapi pemberantasan korupsi adalah peran serta kita semua,” kata Ali.
KPK Akui Keterbatasan Kapasitas dalam Pencarian DPO
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata mengakui adanya keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan informasi yang dimiliki KPK dalam upaya pencarian DPO, salah satunya Harun Masiku.
Hal itu diungkapkan Alexander saat publik mempertanyakan keseriusan KPK dalam mencari DPO Harun Masiku. Untuk itu, KPK bekerja sama dengan interpol dan Polri melakukan pencarian politikus PDIP yang masuk dalam DPO KPK tersebut.
“Tentu dengan kerja sama dengan Polri, dengan interpol, menjadi lebih mudah, keberadaan yang bersangkutan bisa dilacak dan kalau nanti sudah bisa dipastikan posisi yang bersangkutan ada di mana, tentu akan kami jemput,” kata Alexander dalam keterangan persnya, Kamis (28/7/2022).
Pada kesempatan lain, Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan bahwa upaya penurunan tingkat korupsi seharusnya tidak hanya dilihat dari penindakan saja. Padahal pencegahan dan pendidikan antikorupsi menjadi strategi pemberantasan korupsi yang tidak kalah penting.
“Kami berharap, masyarakat semakin memahami bahwa untuk menurunkan tingkat korupsi, kita tidak bisa hanya mengandalkan upaya-upaya represif,” kata Ali dalam keterangan tertulis, Senin (25/7/2022).
Komitmen KPK Dipertanyakan
Lambannya KPK menemukan DPO membuat publik mulai mempertanyakan keseriusan komisi antirasuah. Mantan penyidik KPK, Novel Baswedan pun ikut mempertanyakan komitmen para pimpinan KPK dalam upaya pengejaran sejumlah tersangka yang masuk dalam DPO KPK tersebut.
“Sekarang sepertinya pimpinan (KPK) tidak ada kesungguhan untuk mengejar (buronan) sehingga pegawai tidak terdukung untuk melakukan pengejaran secara optimal," kata Novel saat dihubungi pada Rabu, 13 Juli 2022.
Novel kemudian mencontohkan pengejaran terhadap Harun Masiku yang buron sejak 2020. Novel meragukan kemungkinan KPK melakukan upaya pencarian terhadap calon legislatif dari PDIP di Pemilu 2019 tersebut.
“Contohnya Harun Masiku. Saya tidak yakin dilakukan pencarian terhadap yang bersangkutan, padahal diduga kuat yang bersangkutan ada di Indonesia,” kata Novel.
Novel mengatakan bahwa keberhasilan pencarian buronan sangat dipengaruhi oleh dukungan pimpinan KPK. “Bila tidak ada dukungan atau bahkan pimpinan justru menghambat atau resisten, maka akan sulit dilakukan," ujar Novel.
Menurut Novel, berkaca dari keberhasilan pengejaran Djoko Chandra setelah 11 tahun buron, mestinya upaya penangkapan buronan di luar negeri semakin mudah dilakukan bila diupayakan dengan sungguh-sungguh.
“Apalagi selama ini KPK paling banyak pengalaman melakukan hal tersebut. Bisa dilihat (penangkapan Nazaruddin di Cartagena - Bogota (Colombia), Nunun Nurbaeti di Bangkok (Thailand), Anggoro di Cina,” kata Novel.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menilai, sebenarnya KPK memiliki keseriusan dalam upaya menangkap para buronannya tersebut. Akan tetapi, kata Boyamin, kapasitas KPK saat ini sudah tidak sekuat dulu, ia bahkan menyebut KPK sekarang ini tak ubahnya jago kandang.
“Sebenarnya KPK periode ini, ya serius ingin menangkap (buronannya), tapi tak mampu melaksanakan operasi tingkat tinggi. KPK yang sekarang memang jago kandang. Beda dengan dulu menangkap Nazarudin sampai ke Columbia. Itu, kan, memang operasi tingkat tinggi melibatkan 2, 3 pemerintahan,” kata Boyamin saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (3/8/2022).
Boyamin mengatakan jika KPK menginginkan perubahan, maka KPK perlu kembali melakukan operasi tingkat tinggi yang melibatkan lebih dari pemerintahan.
“Kalau KPK ingin hebat lagi, ya harusnya berani menangkap buron dengan operasi tingkat tinggi melibatkan pemerintahan untuk melakukan barter dengan negara yang sekarang tempat bersembunyi Surya Darmadi atau buronan lain,” kata dia.
Perburukan Citra KPK & Kepercayaan Publik
KPK sebagai institusi penegak hukum dinilai mengalami perburukan. Hal ini berdasarkan temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang bertajuk “Persepsi publik terhadap penegakan hukum, tugas lembaga-lembaga hukum, dan isu-isu ekonomi.” Salah satu poin survei tersebut menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap KPK masih tergolong rendah dibandingkan lembaga hukum lainnya, seperti Kejaksaan dan Polri.
“Jadi KPK berada di nomor buncit dalam tingkat kepercayaan meskipun tingkat kepercayaannya itu masih di angka 60 persenan ke atas," kata Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, Minggu, 24 Juli 2022.
Dalam hasil survei tersebut, tingkat kepercayaan tertinggi masyarakat didapatkan TNI dengan 89 persen, disusul dengan Presiden 77 persen, Polri 72 persen, Kejaksaan 70 persen, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 68 persen.
Sebelumnya, hasil survei “Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga-Lembaga Penegak Hukum” yang dirilis lembaga Indikator Politik Indonesia juga menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK tergolong rendah bila dibandingkan dengan lembaga penegak hukum yang lain.
“KPK di antara lembaga penegak hukum tingkat trust-nya paling rendah," ucap Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dalam rilis survei secara daring pada 8 Juni 2022.
Dalam survei tersebut, Indikator menyebut TNI sebagai lembaga penegak hukum paling dipercaya dengan tingkat kepercayaan 85,3 persen, disusul presiden 73,3 persen, dan Polri sebanyak 66,6 persen.
Lalu, Kejaksaan Agung berada di urutan kelima setelah Polri dengan tingkat kepercayaan 60,5 persen, pengadilan dengan 51,1 persen, dan KPK dengan 49,8 persen. Di bawah KPK, ada MPR, DPD, DPR dan partai politik.
Survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 36,2 persen masyarakat Indonesia saat ini menilai pemberantasan korupsi masih tergolong buruk. “29,9 persen responden menyatakan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tergolong buruk dan 6,3 persen mengatakan sangat buruk,” kata Burhanuddin.
Bak lingkaran setan, Boyamin Saiman menyebut, memburuknya penilaian masyarakat terhadap KPK tersebut salah satunya disebabkan oleh lambannya kinerja KPK dalam menangkap buronannya. Akan tetapi, di sisi lain perburukan penilaian juga membuat KPK semakin tak bertaji melakukan operasi pencarian buron.
“Survei turun ya berkaitan dengan macam-macam, selain buronan, Harun Masiku misalnya, ini kan berkaitan dengan partai politik sehingga kesannya KPK menjadi sangat melempem dan tidak berdaya. Itu hanya salah satu. Tapi kontroversi pimpinan yang melanggar kode etik, tes wawasan kebangsaan dan sebagainya memang membuat nilai KPK semakin turun," tutut Boyamin.
Di sisi lain, pemerintah negara lain juga mempertimbangkan keseriusan KPK dalam menangani sebuah perkara. “Negara luar itu melihat apakah kita serius atau tidak serius dalam menangani perkara hukum untuk menyerahkan buronan. Jadi KPK yang menurun prestasinya dan surveinya ini bisa jadi kendala untuk pemerintahan luar negeri untuk menyerahkan buron. KPK harus memperbaiki citranya supaya dipercaya," ujar Boyamin.
Melemahnya kinerja KPK tersebut, kata Novel Baswedan, dinilai sebagai cerminan kepemimpinan dalam tubuh KPK yang melahirkan banyak permasalahan. “Masalah ini menjadi cerminan kerja pimpinan KPK era sekarang, yang bermasalah dan justru menjadi bagian dari masalah (banyak melakukan pelanggaran hukum)” kata dia.
Novel berharap agar persoalan ini menjadi pembelajaran bahwa ketika pimpinan KPK-nya bermasalah, maka akan merugikan kepentingan negara dalam upaya memberantas korupsi.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz