Menuju konten utama

Tingkat Kepercayaan Publik Menurun, WP KPK: Karena Revisi UU

Tingkat kepercayaan publik kepada KPK menurun dari 89 persen menjadi 85,7 persen usai Pilpres 2019.

Tingkat Kepercayaan Publik Menurun, WP KPK: Karena Revisi UU
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo (kiri) didampingi Penasihat organisasi, Yudhi (kanan) memberikan pernyataan sikap mereka atas aksi teror terhadap dua pimpinan KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (9/1/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo Harahap menyoroti hasil survei LSI Denny JA yang menyatakan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK menurun pasca Pilpres 2019. Yudi menilai hal itu disebabkan oleh munculnya revisi undang-undang KPK.

"Survei terbaru semakin memperkuat argumentasi bahwa upaya kelemahan KPK melalui revisi UU KPK yang berlaku sejak tanggal 17 Oktober 2019 yang lalu sangat nyata dipercaya masyarakat," ujar Yudi melalui keterangan tertulis, Kamis (14/11/2019).

Ia menambahkan, "26 point pelemahan dalam UU Nomor 19 tahun 2019 benar-benar menjadi momok menakutkan bagi masyarakat yang ingin Indonesia bebas dari korupsi dan tak ingin koruptor dengan bebasnya mengkorupsi uang rakyat."

Berikut ini 26 persoalan tersebut, seperti dirangkum KPK:

  1. Pelemahan independensi KPK, bagian yang mengatur pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus.
  2. Dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK.
  3. Kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara.
  4. Standar larangan etik dan antikonflik kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK.
  5. Dewan pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.
  6. Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
  7. Salah satu pimpinan KPK setelah UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur atau kurang dari 50 tahun.
  8. Pemangkasan kewenangan penyelidikan.
  9. Pemangkasan kewenangan penyadapan.
  10. Operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumit pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.
  11. Terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi.
  12. Ada risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas dalam UU KPK.
  13. Ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus.
  14. Berkurangnya kewenangan penuntutan, dalam pelaksanaan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tetapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
  15. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN.
  16. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak).
  17. Terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap.
  18. Harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.
  19. Jangka waktu SP3 selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara.
  20. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara.
  21. Terdapat pertentangan sejumlah norma.
  22. Hilangnya posisi penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan.
  23. Hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik.
  24. KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara.
  25. Tidak ada penguatan dari aspek pencegahan.
  26. Kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi.
Survei Denny JA menyebutkan tingkat kepercayaan publik sebelum pilpres kepada KPK sebesar 89 persen. Namun pasca pilpres menurun meski dikatakan masih terbilang tinggi yakni 85,7 persen. Sementara mereka yang kurang percaya terhadap KPK cenderung naik dari 6,5 persen menjadi 8,2 persen usai pilpres.

"Survei LSI sebelumnya, KPK dengan prestasinya menangkapi para koruptor mampu mencapai 89 persen tingkat kepercayaan publik sehingga sangat aneh jika UU KPK di revisi," ungkap Yudi.

Oleh sebab itu, Yudi meminta Presiden Jokowi benar-benar menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai janji-janjinya saat pidato menyampaikan akan mengandalkan KPK dalam memberantas korupsi.

"Sehingga investor bisa masuk ke Indonesia karena kepercayaan tinggi tidak akan ada penghambat investasi yaitu korupsi dan suap ketika investor berinvestasi di Indonesia," ujarnya.

Lain dari itu, ia juga optimistis dengan terpilihnya Mahfud MD sebagai Menkopolhukam agar bisa mendorong terbitnya Perppu KPK.

"Pak Mahfud juga telah mengundang kembali para tokoh bangsa dan akademisi yang selama konsisten dalam menyuarakan antikorupsi dan ketika bertemu presiden sebelumnya menyampaikan bahwa Perpu merupakan cara untuk menyelamatkan nasib pemberantasan korupsi sebagai amanat reformasi," tuturnya.

Baca juga artikel terkait PERPPU UU KPK atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan