Menuju konten utama
Pertumbuhan Ekonomi

Inflasi Tinggi jadi 'Alarm' Meningkatnya Kemiskinan di Indonesia

Inflasi yang tinggi berpotensi meningkatkan garis kemiskinan dalam negeri. Terlebih inflasi menggerus daya beli masyarakat.

Inflasi Tinggi jadi 'Alarm' Meningkatnya Kemiskinan di Indonesia
Ilustrasi Inflasi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi pada Juli 2022 sebesar 4,94 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Angka tersebut menjadi tertinggi sejak Oktober 2015, di mana pada saat itu terjadi inflasi sebesar 6,25 persen (yoy).

Berdasarkan komponennya, inflasi Juli secara tahunan didorong oleh kelompok harga bergejolak sebesar 11,47 persen. Kelompok ini menjadi level tertinggi sejak Januari 2014 yang saat itu sempat berada di 11,91 persen. Komponen penyumbang inflasi lainnya pada Juli didorong harga diatur pemerintah 6,51 persen dan inflasi inti berada di 2,86 persen.

Kenaikan pada komponen harga bergejolak di atas menunjukkan bahwa harga-harga bahan makanan yang dibeli oleh masyarakat lebih mahal dibandingkan tahun lalu. Bahan makanan yang meningkat otomatis berdampak terhadap beban pengeluaran masyarakat. Kondisi tersebut pada akhirnya memicu banyak orang yang jatuh miskin.

"Dengan kenaikan harga atau inflasi yang tinggi, khususnya kelompok makanan, pasti ada potensi besar kepada angka kemiskinan," kata Kepala BPS, Margo Yuwono, dalam Rilis BPS di kantornya, Jakarta, Senin (1/8/2022).

Dalam rilis terakhir angka kemiskinan pada Maret 2022, tingkat kemiskinan Indonesia berhasil diturunkan menjadi 9,54 persen (26,16 juta) pada Maret 2022 dari semula 9,71 persen di September 2021. Sedangkan ambang batas garis kemiskinan pada Maret 2022 justru meningkat sebesar 4,0 persen menjadi Rp505.469 dari sebelumnya Rp486.168 pada September 2021.

Garis kemiskinan sendiri dapat diartikan sebagai tingkat minimum pendapatan yang harus dipenuhi penduduk untuk bisa mendapatkan standar hidup mencukupi di suatu negara. Garis kemiskinan juga diartikan sebagai representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan.

Dalam rilisnya, BPS mengemukakan peran harga makanan terhadap garis kemiskinan lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan. Tercatat, kontribusi harga makanan mencapai 74 persen dalam garis kemiskinan.

Margo menjelaskan, ketika harga pangan kian tinggi, akan memberikan dampak pada kenaikan garis kemiskinan. "Jika pendapatan tidak naik, akan menyebabkan kemiskinan semakin bertambah, jadi pengaruhnya cukup tinggi," kata Margo.

Dalam laporan Adressing the Cost-of-Living Crisis in Developing Countries yang dirilis United Nations Development Programme (UNDP) pada awal Juli lalu, mencatat sebanyak 51,6 juta manusia jatuh ke bawah garis kemiskinan ekstrem atau berpenghasilan kurang dari 1,9 dolar AS atau Rp28.400 per hari. Adapun 20 juta manusia lain harus hidup dengan kurang dari 3,2 dolar AS atau sekitar Rp50.000 per hari.

Studi UNDP mengukur kenaikan harga bahan kebutuhan pokok di seluruh dunia dan dampaknya terhadap komunitas miskin. Tanpa mengukur dampak perang di Ukraina pun, penduduk di negara-negara berpenghasilan rendah rata-rata mengalokasikan 42 persen dari pemasukannya untuk membeli bahan pangan. Dengan naiknya harga gandum, gula, dan minyak nabati, himpitan ekonomi bagi penduduk miskin semakin berlipat ganda.

Indonesia sendiri mendapat rapor merah, dengan kenaikan garis kemiskinan sebesar 2,94 persen untuk kelompok berpenghasilan di bawah 1,90 dolar AS per hari. Kenaikan rata-rata 3,09 persen untuk kelompok 3,20 dolar AS dan 3,72 persen untuk kelompok di bawah 5,50 dolar AS per hari.

Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah mengatakan, inflasi yang tinggi memang akan berpotensi meningkatkan garis kemiskinan di dalam negeri. Terlebih inflasi menggerus daya beli masyarakat yang artinya bisa meningkatkan kemiskinan di Indonesia.

"Tingkat inflasi yang tinggi berpotensi meningkatkan garis kemiskinan," ujarnya kepada reporter Tirto.

Piter memahami meningkatnya inflasi memang menjadi sebuah keniscayaan di tengah kenaikan harga komoditas khususnya energi. Peningkatan juga disertai terjadinya fenomena inflasi tinggi di berbagai negara. Meskipun demikian, inflasi di Indonesia dinilainya masih dalam tingkatan yang rendah bila dibandingkan negara-negara lain.

“Apalagi kalau dibandingkan dengan Turki yg mengalami inflation dengan tingkat inflasi di atas 80 persen," ujarnya.

Inflasi Juli Masih Relatif Moderat

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menilai laju inflasi Indonesia pada Juli 2022 masih relatif moderat, meski mengalami tren peningkatan. Terlebih inflasi terjadi di Indonesia lebih rendah bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya.

Berdasarkan data yang dihimpun tim riset Tirto, inflasi terjadi seperti di Thailand saat ini sudah menyentuh mencapai 7,66 persen (yoy), Filipina sebesar 6,1 persen (yoy), Kamboja 7,2 persen (yoy), Myanmar 17,3 persen (yoy), Laos 23,6 persen (yoy).

“Dibandingkan dengan negara yang selevel dengan Indonesia tersebut, maka inflasi Indonesia yang di 4,94 persen yoy masih relatif moderat," ujar Ketua KSSK sekaligus Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati alam konferensi pers hasil rapat KSSK di Jakarta.

Sri Mulyani menjelaskan, peningkatan inflasi pada Juli 2022 tak lepas dari dampak kenaikan harga komoditas dunia. Di sisi lain, terjadinya peningkatan permintaan, di samping pula adanya gangguan pada pasokan domestik.

Pada komponen inflasi komoditas harga bergejolak (volatile food) memang mengalami peningkatan mencapai 11,47 persen (yoy). Kenaikan itu, kata Sri Mulyani, utamanya karena kenaikan harga pangan global dan terganggunya produksi dalam negeri akibat cuaca.

Pada komponen harga yang diatur pemerintah atau administered price juga naik menjadi 6,51 persen (yoy), karena dipengaruhi peningkatan harga tiket pesawat. Meski demikian, pemerintah telah berupaya menekan inflasi dengan menjaga harga minyak dan gas, juga listrik di tengah lonjakan harga komoditas energi global.

“Ini merupakan hasil dari kebijakan pemerintah untuk mempertahankan harga jual energi di domestik, melalui kenaikan subsidi listrik dan BBM (bahan bakar minyak) dan elpiji yang dialokasikan oleh APBN," ujarnya.

Sementara itu, pada komponen inflasi inti tercatat tetap terjaga di 2,86 persen (yoy). Menurutnya, hal ini didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi Indonesia. Karena itu, Sri Mulyani memastikan BI bersama pemerintah pusat dan daerah, akan terus meningkatkan koordinasi untuk mengendalikan laju inflasi.

“Sinergi dan koordinasi terkait pengendalian inflasi dilakukan BI bersama-sama pemerintah, termasuk dengan meningkatkan koordinasi dan sinergi dalam forum inflasi pusat dan tim pengendali inflasi daerah," ujarnya.

Inflasi Tinggi Perlu Direspons Kenaikan Suku Bunga?

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menegaskan, kebijakan moneter suatu negara khususnya Indonesia didasari pada pertumbuhan inflasi inti dan keseimbangan pertumbuhan ekonomi. Sehingga pengetatan kebijakan moneter akan sangat bergantung kepada ekonomi dalam negeri.

“Dengan demikian, tidak otomatis kalau suku bunga negara lain naik dan BI juga harus naik. Semuanya tergantung kondisi dalam negeri," kata Perry dalam konferensi pers hasil rapat berkala III KSSK 2022.

Seperti diketahui, The Federal Reserve Amerika Serikat (AS) kembali mengerek suku bunga acuan sebesar 75 basis poin. Kenaikan ini merupakan terbesar kedua berturut-turut, karena peningkatan inflasi tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi Negeri Paman Sam tersebut tercatat sebesar 9,1 persen secara tahunan (year on year). Inflasi ini bahkan menjadi tertinggi dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.

Dari dalam negeri, BI memandang realisasi inflasi inti pada Juli sebesar 2,86 persen (yoy) dinilainya masih rendah atau di bawah perkiraan BI sebesar 2,99 persen (yoy). Dengan mempertimbangkan inflasi inti yang masih rendah dan pertumbuhan ekonomi yang kian meningkat, maka BI masih tidak menaikkan suku bunga acuan.

“Inflasi inti masih sangat rendah bahkan masih di bawah perkiraan BI di angka 2,86 persen pada Juli 2022," jelasnya.

Bank sentral sendiri mengaku siap menyesuaikan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) jika ada tanda-tanda inflasi inti yang meningkat. Saat ini suku bunga bank sentral masih ditahan berada di 3,50 persen.

“Bank Indonesia akan tetap waspadai tekanan inflasi dan dampaknya terhadap ekspektasi inflasi," Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Juda Agung.

Juda mengatakan, sejauh ini inflasi didorong oleh tekanan sisi penawaran sebagai akibat wajar dari kenaikan harga komoditas internasional. Sedangkan inflasi inti tetap dalam target Bank Indonesia jangkauan.

Sementara itu, inflasi volatile food (VF) meningkat, terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan global dan kendala sisi penawaran yang disebabkan oleh cuaca buruk. Serta inflasi tekanan pada harga yang diatur (AP) tetap tinggi, dipengaruhi oleh harga tiket pesawat dan energi.

Ke depan, bank sentral juga memperkuat koordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah serta instansi terkait melalui tim pengendalian inflasi nasional dan daerah (TPIP & TPID). Tujuannya untuk mengelola tekanan inflasi di sisi penawaran dan meningkatkan produksi.

Upaya Pemerintah Kendalikan Laju Inflasi

Pemerintah sendiri memiliki strategi dalam mengendalikan laju inflasi. Sri Mulyani sebut, kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang positif menjadi modal untuk mengantisipasi lonjakan inflasi. Dalam hal ini, pemerintah akan menjaga daya tahan ekonomi melalui instrumen fiskal untuk pengendalian inflasi dan melindungi daya beli masyarakat.

“Dalam rangka menjaga daya beli masyarakat yang terancam akibat kenaikan inflasi akibat kenaikan harga-harga komoditas global, maka APBN melaksanakan melalui menjaga harga jual BBM, LPG dan listrik yang merupakan komponen sangat penting dalam administered price di dalam inflasi agar tidak mengalami kenaikan,” katanya.

Sri Mulyani mengatakan, upaya lain yang ditempuh pemerintah untuk mengendalikan inflasi dan daya beli yaitu dengan memberikan insentif selisih harga minyak goreng dan menambah bantuan langsung tunai pangan. Melalui APBN, pemerintah juga menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok dalam negeri dengan menyediakan cadangan stabilisasi harga pangan antara lain untuk komoditas kedelai dan jagung.

Pemerintah juga telah menurunkan pungutan ekspor untuk mendorong ekspor dan sekaligus mendorong kenaikan harga tandan buah segar dari produk kelapa sawit di level petani dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115/PMK.05/2022.

Sementara upaya untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi ditempuh pemerintah dengan menjaga pelaksanaan APBN 2022 tetap fleksibel dan antisipatif terhadap ketidakpastian melalui penerapan automatic adjustment. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga akan tetap responsif dan antisipatif diselaraskan dengan perkembangan pandemi Covid-19 dan tren pemulihan ekonomi.

“Dukungan pemerintah untuk UMKM tetap dan terus ditingkatkan terutama melalui kredit usaha rakyat dan kredit ultra mikro serta pemberian penjaminan kredit,” kata Sri Mulyani.

Upaya lain untuk menjaga momentum pemulihan juga ditunjukkan pemerintah dengan menjaga pasokan batu bara untuk ketahanan energi melalui PMK-17/PMK.02/2022, memberikan dukungan untuk proyek padat karya, pariwisata, dan ketahanan pangan, serta pemberian insentif perpajakan PPh Pasal 22 impor.

Adapun upaya untuk menjaga agar peran APBN sebagai shock absorber dapat berjalan optimal, namun tidak mengancam keberlanjutan fiskal jangka menengah panjang. Bendahara Negara itu mengatakan pemerintah akan terus melakukan langkah-langkah reformasi di bidang fiskal dan struktural.

Selain itu, dibutuhkan komitmen seluruh kementerian/lembaga untuk penguatan spending better, penerapan zero based budgeting agar belanja APBN makin efisien dan produktif. “Pemerintah juga akan mengendalikan defisit APBN dan menjaga manajemen utang dalam batas aman melalui komitmen pelaksanaan konsolidasi fiskal pada 2023,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait INFLASI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz