tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Juli sebesar 0,64 persen secara bulan dan 4,94 persen secara tahunan. Angka tersebut merupakan tertinggi sejak Oktober 2015, yang pada saat itu terjadi inflasi sebesar 6,25 persen (yoy).
Lantas apakah BI akan mengerek suku bunga acuannya dalam merespon kenaikan inflasi?
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menegaskan, kebijakan moneter suatu negara khususnya Indonesia didasari pada pertumbuhan inflasi inti dan keseimbangan pertumbuhan ekonomi. Sehingga pengetatan kebijakan moneter akan sangat bergantung kepada ekonomi dalam negeri.
"Dengan demikian, tidak otomatis kalau suku bunga negara lain naik dan BI juga harus naik. Semuanya tergantung kondisi dalam negeri," kata Perry dalam konferensi pers Hasil Rapat Berkala III KSSK 2022, Senin (1/8/2022).
Seperti diketahui, The Federal Reserve Amerika Serikat (AS) kembali mengerek suku bunga acuan sebesar 75 basis poin. Kenaikan ini merupakan terbesar kedua berturut-turut, karena peningkatan inflasi tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan.
Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi Negeri Paman Sam tersebut tercatat sebesar 9,1 persen secara tahunan (yoy). Inflasi ini bahkan menjadi tertinggi dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.
Dari dalam negeri, BI memandang realisasi inflasi inti pada Juli sebesar 2,86 persen (yoy) dinilainya masih rendah atau di bawah perkiraan BI sebesar 2,99 persen (yoy). Dengan mempertimbangkan inflasi inti yang masih rendah dan pertumbuhan ekonomi yang kian meningkat maka BI masih tidak menaikkan suku bunga acuan.
"Inflasi inti masih sangat rendah bahkan masih di bawah perkiraan BI di angka 2,86 persen pada Juli 2022," jelasnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mengaku siap menyesuaikan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) jika ada tanda-tanda inflasi inti yang meningkat. Saat ini suku bunga bank sentral masih ditahan berada di 3,50 persen.
"Bank Indonesia akan tetap waspadai tekanan inflasi dan dampaknya terhadap ekspektasi inflasi," Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Juda Agung, di Nusa Dua, Bali, Rabu (13/7/2022).
Juda mengatakan, sejauh ini inflasi didorong oleh tekanan sisi penawaran sebagai akibat wajar dari kenaikan harga komoditas internasional. Sedangkan inflasi inti tetap dalam target Bank Indonesia jangkauan.
Sementara itu, inflasi volatile food (VF) meningkat, terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan global dan kendala sisi penawaran yang disebabkan oleh cuaca buruk. Serta inflasi tekanan pada harga yang diatur tetap tinggi, dipengaruhi oleh harga tiket pesawat dan energi.
Ke depan, bank sentral juga memperkuat koordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah serta instansi terkait melalui tim pengendalian inflasi nasional dan daerah (TPIP & TPID). Tujuannya untuk mengelola tekanan inflasi di sisi penawaran dan meningkatkan produksi.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang