tirto.id - Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi memastikan bahwa 55 orang WNI yang disekap perusahaan penipuan berbasis daring (online scam) di Sihanoukville, Kamboja, telah diselamatkan. Sementara lima orang WNI lain yang juga korban penyekapan sedang diupayakan untuk dievakuasi ke tempat aman.
Update tersebut berdasarkan konferensi pers secara daring, Sabtu, 30 Juli 2020. Retno menjelaskan bahwa sejak menerima laporan tentang para WNI yang disekap di Kamboja, pemerintah segera melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan mereka.
Upaya juga dilakukan pada tingkat tinggi melalui komunikasi Menlu Retno dengan Menlu Kamboja Prak Sokhonn, yang langsung merespons laporan tersebut dengan koordinasi bersama Kepolisian Kamboja.
“Alhamdulillah tim khusus Kepolisian Kamboja telah berhasil menyelamatkan para WNI dan membawa 55 orang WNI ke tempat aman, sementara lima WNI lainnya masih dalam proses,” kata Retno.
Setelah dipindahkan ke lokasi aman, kepolisian setempat akan melakukan proses berita acara pemeriksaan (BAP) untuk bahan penyelidikan lebih lanjut. Selanjutnya, para WNI akan diserahterimakan kepada KBRI Phnom Penh dan akan dipindahkan dari Sihanoukville ke Phnom Penh.
Kemudian sesuai prosedur, staf KBRI akan melakukan wawancara berdasarkan screening form indikasi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebelum membantu merepatriasi puluhan WNI tersebut ke Indonesia.
Retno menegaskan kerja sama dengan pemerintah dan otoritas Kamboja akan terus dilakukan untuk mencegah berulangnya kasus serupa di kemudian hari.
Potret Lemahnya Perlindungan Pekerja Migran
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah menyatakan, peristiwa ini merupakan potret lemahnya perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI) oleh pemerintah. “Dengan modus investasi bodong di Kamboja, kami sangat menyayangkan,” kata Anis saat dihubungi reporter Tirto.
Hal yang paling dikritisi oleh Anis lantaran peristiwa ini merupakan kasus yang berulang dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data KBRI Pnom Penh, pada 2021 ditemukan 119 WNI korban investasi palsu dan telah dipulangkan.
Pada 2022, kasus serupa justru semakin meningkat di mana hingga Juli 2022, tercatat terdapat 291 WNI menjadi korban. 133 di antaranya sudah dipulangkan. Lalu ditambah lagi dengan 55 WNI yang saat ini menjadi korban.
Selain kasus di Kamboja, terdapat kasus serupa di negara lain yang membuat buruh migran menjadi korban atas jasa ketenagakerjaan ilegal. Misalnya, pada 27 Juli 2022, polisi menangkap 91 orang calon pekerjaan migran ilegal yang akan diselundupkan ke Malaysia melalui kapal di perairan Asahan-Tanjungbalai, Sumatera Utara.
Maraknya kasus seperti ini, kata Anis, lantaran banyaknya masyarakat yang tergiur dengan tawaran kerja ke luar negeri, meski harus lewat jalur ilegal yang bermodus investasi bodong, baik secara langsung maupun media sosial. Alhasil, terjadi kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Apalagi banyak masyarakat terdampak pandemi Covid-19 sehingga memilih jalur investasi bodong tersebut. “Ini menjadi satu bukti bahwa pandemi menyebabkan para pekerja migran itu rentan menjadi korban sindikat, karena perekonomian kita ambruk, sehingga banyak orang yang menjadi korban dari sindikat,” kata dia.
Oleh karena itu, kata Anis, Migran Care mendesak kepada pemerintah untuk mengevaluasi kasus puluhan WNI menjadi korban penipuan perusahaan investasi palsu di Kamboja maupun negara lainnya.
Selain itu, kata dia, Migran Care juga meminta Bareskrim Polri bekerja sama dengan interpol dan kepolisian Kamboja untuk mengusut tuntas jaringan-jaringan ini untuk diproses secara hukum.
“Bagaimana jaringan-jaringan ini bergerak, siapa saja yang terlibat di Indonesia, Kamboja, dan mungkin ada di negara-negara transit. Di Indonesia bisa diterapkan UU TPPO, lalu di Kamboja juga sama," tuturnya.
Selanjutnya pemerintah diminta untuk meningkatkan edukasi publik bahwa maraknya sindikat TPPO dengan modus baru, salah satunya investasi bodong. “Terutama lewat medsos, begitu upaya-upaya perekrutannya,” kata dia.
Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta juga menyayangkan kasus seperti ini masih saja terjadi. Apalagi saat ini mereka dalam kondisi rentan, bekerja melebihi batas waktu di satu tempat dan dilarang keluar. Hal itu jelas melanggar hak-hak pekerja dan hak asasi manusia.
Kasus PMI ini, kata dia, membuktikan masih banyak pekerjaan rumah pemerintah. Padahal, pemerintah sudah memiliki UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang memberikan peran lebih besar kepada pemerintah pusat dan daerah untuk mengurus dan melindungi TKI sejak perekrutan.
Namun sayangnya, kata dia, meski UU terkait perlindungan PMI sudah ada, tapi masih terjadi kasus yang memprihatinkan seperti ini.
“Adanya UU Pelindungan PMI ini seharusnya pola kerja pemerintah berubah dari pemadam kebakaran penyelesai masalah di luar negeri menjadi fokus pada penyiapan, penyaringan ketat PMI, dan perusahaan penyalur PMI,” kata Sukamta melalui keterangan tertulisnya.
Politikus PKS ini mengatakan, pemerintah harus lebih serius menangani 8 juta PMI yang tersebar di beberapa negara. Apalagi mereka setiap tahunnya mengirimkan remitansi lebih dari Rp160 triliun. Jumlah ini menjadi penerimaan devisa terbesar kedua setelah penerimaan devisa dari sektor migas. Bahkan lebih besar dari program tax amnesty jilid 1.
Oleh karena itu, Sukamta meminta, koordinasi antar stakeholder ketenagakerjaan di pemerintah harus diperkuat lagi. Mengingat, saat ini Indonesia terpilih sebagai Anggota Reguler Governing Body (GB) International Labour Organization (ILO) periode 2021-2024 dari Government Electoral College.
“Seharusnya bisa dioptimalkan untuk perbaikan kondisi ketenagakerjaan Indonesia,” kata dia.
Anggota Komisi IX DPR RI dari daerah pemilihan DKI 2 yang meliputi luar negeri, Kurniasih Mufidayati menambahkan, agar siapa saja tidak terjebak dan tergiur dengan tawaran pekerjaan di luar negeri dengan jalur nonprosedural.
“Pastikan jika ingin berangkat ke luar negeri cek semua persyaratan dan dokumennya bisa melalui Dinas Tenaga Kerja setempat atau BP2MI di masing-masing wilayah. Pastikan lewat jalur aman dan legal,” kata Mufida melalui keterangan tertulisnya.
Di sisi lain, kata dia, BP2MI dan Kemnaker harus terus melakukan sosialisasi dan edukasi peluang penempatan PMI dengan jalur resmi.
“Mereka yang tergiur hingga jatuh ke kasus penipuan tenaga kerja adalah korban. Mereka berharap mendapatkan pekerjaan yang layak, artinya pekerjaan kita untuk memberikan akses pekerjaan yang layak baik di dalam negeri maupun luar negeri belum optimal,” kata dia.
Respons Kementerian Luar Negeri
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah mengaku tidak mudah bagi pihaknya mengawasi WNI yang ingin bekerja melalui jasa investasi bodong, apalagi pola perekrutannya melalui media sosial.
“Memang tidak mudah karena mereka datang secara mandiri tanpa melalui proses penempatan yang baku. Mereka tertipu iklan mencari kerja di medsos,” kata Teuku saat dihubungi reporter Tirto pada Jumat (29/7/2022).
Namun, kata dia, jika terdapat bukti kasus kriminal dan laporan dari aparat penegak hukum, maka Kemenlu dapat melakukan tindakan.
Dia menuturkan untuk menekan jumlah kasus penipuan investasi yang melibatkan WNI, Kemlu telah memfasilitasi penyidik Bareskrim Polri untuk melakukan penyelidikan di Kamboja. Pemerintah pun menerima informasi bahwa perekrut masih berkeliaran dan berupaya menarik warga Indonesia sebagai bagian dari kelompok tersebut.
“Dari para WNI yang telah dibebaskan, KBRI juga telah memperoleh informasi mengenai para perekrut yang sebagian besar masih berasal dari Indonesia. Informasi tersebut terus disampaikan kepada pihak Bareskrim Polri untuk diselidiki lebih dalam guna penindakan terhadap para perekrut," tuturnya.
Di sisi lain, pemerintah mengaku berupaya untuk mencegah angka penculikan WNI dengan dalih lowongan kerja di Kamboja dengan upaya sosialisasi kepada masyarakat. “Berbagai langkah sosialisasi juga ditingkatkan agar masyarakat waspada pada modus-modus penipuan lowongan kerja di Kamboja tersebut,” kata dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz