Menuju konten utama

Bahaya Pernyataan Kemenkes soal Cacar Monyet bagi Kelompok Rentan

Upaya Kemenkes tingkatan surveilans ketat kepada kelompok gay dikhawatirkan akan menebalkan stigma dan diskriminasi pada kelompok yang sudah rentan.

Bahaya Pernyataan Kemenkes soal Cacar Monyet bagi Kelompok Rentan
Ilustrasi Monkeypox. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meningkatkan surveilans ketat kepada kelompok gay guna mencegah penularan cacar monyet atau monkeypox di Indonesia dinilai kurang tepat. Kemenkes diminta melakukan surveilans kepada seluruh kelompok masyarakat yang datang dari luar negeri, bukan kelompok tertentu saja.

Epidemiolog dari Griffith Australia, Dicky Budiman menegaskan, cacar monyet bukan penyakit khusus yang menginfeksi gay. Sejumlah negara melaporkan kasus cacar monyet juga menginfeksi perempuan dan anak-anak.

“Saya tegaskan cacar monyet bukanlah penyakit yang khusus menimpa kalangan gay, bukanlah penyakit yang khusus menimpa biseksual ataupun pekerja seksual,” kata Dicky saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/7/2022).

Hal itu disampaikan Dicky merespons kebijakan Kemenkes yang melakukan surveilans khusus kepada kelompok gay guna mencegah cacar monyet di Indonesia.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu mengatakan pemerintah akan bekerja sama dengan sejumlah organisasi dan lembaga masyarakat sipil dalam surveilans kelompok gay.

“Saat ini sesuai data kasus yang paling banyak di dunia pada kelompok gay, maka kami akan melakukan surveilans ketat pada kelompok ini,” kata Maxi Rein Rondonuwu kepada reporter Tirto, Senin (25/7/2022).

Kendati demikian, Kemenkes mengaku belum memiliki angka pasti persentase kelompok tersebut yang terinfeksi cacar monyet, Hal itu disampaikan Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, Mohammad Syahril, Rabu (27/7/2022) siang.

Syahril menyebut penularan cacar monyet pada kelompok gay bukan melalui hubungan seks. Ia hanya menjelaskan penularan pada kelompok itu terjadi lantaran “karena sering kontak sesama gay.”

Penularan Bisa ke Siapa Saja

Kemenkes melakukan surveilans di semua pintu masuk negara, khususnya di bandar udara (bandara) dan pelabuhan. Deteksi dini di bandara dilakukan oleh kantor kesehatan pelabuhan (KKP) terutama bagi pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) dari negara yang sudah memiliki kasus cacar monyet.

“[Dengan] cek suhu, memeriksa gejala-gejala monkeypox terutama pada kulit kemerahan atau ruam, bintik-bintik merah, vesikel atau pustula yang gampang dilihat di bagian muka, juga di telapak tangan. Juga pada komunitas [gay],” kata Maxi.

Kemenkes menerbitkan Surat Edaran Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit nomor HK.02.02/C/2752/2022 tentang Kewaspadaan Terhadap Penyakit monkeypox di Negara non Endemis pada Mei lalu. Kemenkes juga merevisi dan menyosialisasikan pedoman pencegahan dan pengendalian cacar monyet menyesuaikan situasi terkini, keilmuan, dan rekomendasi WHO.

Selain itu, Kemenkes menyiapkan laboratorium pemeriksaan dan rumah sakit rujukan cacar monyet. Kebijakan Kemenkes tersebut menindaklanjuti penetapan cacar monyet sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Hal itu diputuskan oleh WHO dalam pertemuan komite darurat International Health Regulations (IHR) untuk meninjau wabah multinegara pekan lalu, Jumat (22/7/2022).

WHO mendukung negara-negara berisiko dengan memberikan panduan kesehatan masyarakat serta memfasilitasi pengujian cacar monyet. Menurut WHO, virus cacar monyet ditularkan dari hewan yang terinfeksi ke manusia melalui kontak secara tidak langsung maupun langsung.

Penularan dari manusia ke manusia dapat terjadi melalui kontak langsung dengan kulit atau lesi yang menular, termasuk tatap muka, kulit ke kulit, dan droplet melalui pernapasan. Penularan juga dapat terjadi dari bahan yang terkontaminasi seperti linen, tempat tidur, elektronik, pakaian, yang memiliki partikel kulit yang menular.

Epidemiolog Dicky Budiman menjelaskan sejak awal kasus cacar monyet hingga menjadi endemi berpuluh tahun di Afrika, semua kelompok masyarakat dapat tertular virus tersebut. Seseorang dapat tertular cacar monyet selama berkontak erat baik langsung maupun tidak langsung dengan penderita cacar monyet.

“Itu semua golongan, semua jenis kelamin, semua jenis pekerjaan dari berbagai kalangan masyarakat itu bisa terinfeksi,” ujar Dicky.

Jangan Ada Stigma dan Diskriminasi dalam Penanganan Monkeypox

Penyakit cacar monyet telah menginfeksi lebih dari 20 ribu orang di 75 negara. Sebagian besar kasus itu dilaporkan oleh negara non-endemik cacar monyet.

Per 28 Juli 2022, negara-negara Pasifik sudah mulai melaporkan sejumlah kasus cacar monyet. Singapura saat ini sudah mengonfirmasi 10 kasus cacar monyet, satu kasus di Thailand, 44 kasus di Australia, 4 kasus di India, satu kasus di Jepang, dua kasus di Selandia Baru, dua kasus di Korea Selatan, dan satu kasus di Taiwan.

Menyikapi itu, WHO meminta negara-negara di kawasan Asia Tenggara--termasuk Indonesia--untuk memperkuat sistem pengawasan terhadap virus cacar monyet.

“Cacar monyet telah menyebar dengan cepat ke banyak negara yang belum pernah mengalami kejadian sebelumnya," kata Direktur Regional WHO Asia Tenggara, Poonam Khetrapal Singh dikutip dari Antara, Senin (25/7/2022). Kasus yang ditemukan di India, kata Khetrapal Singh, dialami warga yang pulang dari Timur Tengah. Sementara kasus di Thailand dialami pelaku perjalanan internasional.

“Yang penting, upaya dan tindakan yang dilakukan terfokus harus sensitif, tanpa stigma atau diskriminasi," tegas dia.

Soal penanganan cacar monyet tanpa stigma dan diskriminasi juga disampaikan Petugas Advokasi di ASEAN SOGIE Caucus (ASC), Jaringan Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Asia Tenggara, Lini Zurlia. Dia menyarankan agar Kemenkes menghindari kata gay dalam pernyataannya agar tidak menimbulkan stigma kepada kelompok tersebut di tengah masyarakat.

“Kita udah tahu stigma terhadap kelompok homoseksual sudah begitu tinggi dan apabila menggunakan itu sebagai pendekatan maka akan menambah stigma lagi,” kata Lini ketika dihubungi reporter Tirto, Senin malam.

Lini tidak sepakat dengan pendekatan Kemenkes yang melakukan surveilans khusus kepada kelompok gay guna mencegah penularan cacar monyet di Tanah Air.

"Apa yang dilakukan oleh Kemenkes akan memperparah stigma terhadap kelompok homoseksual dalam hal ini gay,” kata dia.

Hal senada juga disampaikan aktivis Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) Gunn Wibisono. Dia bilang para ilmuwan dan penentu kebijakan publik seharusnya mengetahui bahwa stigma akan memperburuk kesehatan publik.

“Di kasus cacar monyet ini, para ilmuwan dan penentu kebijakan publik diuji kebijaksanaannya untuk berlaku adil pada suatu kelompok dan mencegah stigma,” kata Gunn.

Sementara itu, dokter cum aktivis HIV, gender, dan seksualitas, Alegra Wolter berpendapat surveilans Kemenkes tetap penting dilakukan dengan catatan bahwa penyebaran virus bukan disebabkan oleh orientasi seksual tertentu.

“Surveilans adalah hak dari Kemenkes atau pemerintah untuk menjaga kesehatan warga negara. Hanya saja, penting bagi kita untuk mengenali bahwa penyebaran monkeypox, bukan disebabkan orientasi seksual tertentu,” katanya.

Dia menyarankan agar semuanya perlu berhati-hati dalam mengomunikasikan soal orientasi seksual yang dikaitkan dengan penyakit tertentu.

“Karena dapat meningkatkan stigma pada populasi yang sudah rentan mendapat kekerasan dan diskriminasi,” terang Alegra.

Pembina GAYa NUSANTARA, pelopor organisasi gay di Indonesia, Dede Oetomo pun berharap pernyataan Kemenkes tersebut tidak menimbulkan stigma dan diskriminasi terhadap kelompok gay.

“Memang dalam pendekatan kesehatan masyarakat ada gunanya menyasar kelompok risiko tinggi karena perilakunya. Tapi mudah-mudahan tidak disertai dengan stigma dan diskriminasi yang tidak perlu, yang justru membuat orang-orang yang hendak ditolong menghindar,” tutur Dede kepada Tirto, Selasa (26/7/2022).

Dia menegaskan bahwa “penyakit menular ditularkan oleh apa yang kita lakukan, bukan oleh siapa kita.”

Surveilans kepada seluruh kelompok masyarakat akan membuat deteksi cacar monyet menjadi lebih akurat serta meminimalisir stigma dan diskriminasi kepada kelompok tertentu. Pengalaman dengan COVID-19 seharusnya menjadi pelajaran, peningkatan surveilans tanpa pandang bulu dapat mencegah penularan yang lebih luas.

Baca juga artikel terkait WABAH CACAR MONYET atau tulisan lainnya dari Gilang Ramadhan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Restu Diantina Putri