tirto.id - Calon pejabat atau kepala daerah yang akan diusung setiap partai politik di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, sudah sepatunya bersih dari kasus hukum, terutama masalah korupsi. Hal ini dinilai penting agar publik mendapatkan sosok pemimpin yang berintegritas.
Selama 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan tersangka satu orang gubernur, lima bupati/wali kota, satu kepala lembaga, dan dua menteri/wakil menteri.
Sementara dalam kurun waktu dua tahun terakhir, yakni 2021-2023, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap ada 61 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penegak hukum.
Kekinian, anggota DPRD Jawa Timur, Mahfud, resmi mengundurkan diri sebagai bakal calon Pilkada Bangkalan. Tindakan itu dilakukan usai rumahnya digeledah KPK. Politikus PDI Perjuangan tersebut juga mengundurkan diri sebagai caleg DPRD Jatim terpilih 2024-2029. Permintaan Mahfud masih diproses partai.
Ketua DPD PDI Perjuangan Jatim, Said Abdullah, menghormati pengajuan undur diri Mahfud. Bahkan dia memuji langkah politik yang diambil koleganya. Ia juga menyerahkan kasus tersebut pada KPK.
Penggeledahan rumah Mahfud merupakan pengembangan kasus suap dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) yang sebelumnya menjerat Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak. Kasus ini diusut lembaga antirasuah pada akhir Desember 2022. Adapun status hukum Mahfud belum diumumkan resmi oleh KPK.
Calon Pejabat Harus Bebas Korupsi
Ahli hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan rekam jejak dan integritas seharusnya menjadi standar penilaian terhadap calon pejabat. Mereka yang rekam jejaknya buruk, salah satunya karena terlibat perkara rasuah, mestinya ‘haram’ dicalonkan dalam kontestasi pemilu.
“Dan parpol (partai politik) harusnya serius dan konsisten menggunakan ukuran rekam jejak ini. Bahkan tidak hanya perkara korupsi, tapi juga perkara kejahatan seksual dan lainnya,” ujar Herdiansyah kepada Tirto, Selasa (16/7/2024).
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, mengatakan sebagai calon maupun pejabat publik seharusnya bisa menjaga diri jangan sampai melakukan perbuatan melanggar hukum. Pasalnya, kasus-kasus kejahatan korupsi di masa lalu, menyebabkan trauma mendalam bagi masyarakat.
“Nah problem kita adalah ongkos politik. Ongkos politik jadi anggota dewan di semua tingkatan itu sangat mahal jauh melebihi penghasilan sah diterimanya. Sehingga by sistem ini seakan-akan seorang pejabat publik itu terdorong melakukan korupsi karena tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan,” jelas dia kepada Tirto, Selasa (16/7/2024).
Zaenur mengatakan, calon kontestan pilkada harus menimbang diri apakah memiliki kecukupan modal sosial maupun kapital. Jika keduanya tidak cukup, maka dikhawatirkan di kemudian hari mudah tergoda oleh korupsi untuk kepentingan mengembalikan modal ataupun kepentingan melayani pemodal.
“Itu sangat berbahaya. Jadi seharusnya bagi mereka yang merasa tidak miliki jaringan kuat untuk mendapatkan suara dari rakyat, tidak miliki modal kapital kuat, harus dapat menimbang diri untuk tidak mencalonkan diri. Kenapa? Karena akan menjadi beban dikemudian hari,” kata Zaenur.
Aktivis antikorupsi sekaligus mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, menambahkan, seluruh calon pejabat publik memang harus bersih dan tidak boleh tersangkut dengan kasus masa lalu. Jika kemudian hari terbukti cacat hukum, maka yang bersangkutan harus mundur dari jabatannya.
“Dari sini juga menunjukkan bahwa pentingnya calon pejabat publik yang bersih dari kasus korupsi. Tidak tersangkut kasus masa lalu juga,” tutur Yudi kepada Tirto, Selasa (16/7/2024).
Menurut Yudi, pengunduran diri Mahfud dari Pilkada Bangkalan harus dihargai dan mestinya menjadi contoh calon pejabat yang terseret kasus dugaan korupsi. Hal ini karena proses hukum sendiri akan memakan waktu mulai dari proses penyidikan hingga nanti di pengadilan.
“Selain menyita waktu. Tentu juga akan menjadi beban bagi partai atau organisasinya bernaung,” kata dia.
Meskipun ada alasan praduga tidak bersalah, tetapi proses penegakan hukum berjalan terus. Namun sekali lagi itu adalah pilihan. Idealnya memang calon pejabat publik harus bersih dari kasus masa lalu dan wajib mundur ketika terbukti bersalah.
Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, mengatakan calon pejabat atau pejabat yang terindikasi korupsi harus mundur. Selain ini menyangkut etika publik, juga agar proses hukum bisa berjalan tanpa menghambat pelaksanaan tugas negara.
“Sudah sepatutnya hal ini dijadikan sebagai preseden/contoh untuk calon lainnya yang terjerat kasus,” kata dia kepada Tirto, Selasa (16/7/2024).
Dirinya juga mendorong penegakan hukum benar-benar berjalan secara profesional, tanpa konflik kepentingan sehingga tidak dijadikan alat politik. Proses hukum juga harus memperlakukan semua dengan setara, atau tidak tebang pilih.
Dalam keterangan terpisah, Ketua Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Jawa Timur, Heru Satriyo, minta KPK untuk terus mendalami pihak yang diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi dana hibah Jatim itu.
MAKI meyakini tidak ada satu pun anggota DPRD Jatim yang tidak terlibat dalam kasus dugaan korupsi dana hibah tersebut. Menurutnya, semua anggota fraksi DPRD Jatim juga berpotensi terlibat karena aliran dana hibah diduga dinikmati banyak pihak.
"Semua anggota fraksi DPRD dan semua anggota DPRD Jatim juga dipastikan berpotensi terlibat karena aliran dana hibah Jatim dinikmati semua pihak," ucap Heru.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fahreza Rizky