Menuju konten utama
Daffy al-Jugjawy

Kolor Perdamaian dan Kancut Penghormatan Gus Dur

Di tangan Gus Dur, barang-barang seperti kolor dan kancut punya fungsi lain yang sangat berguna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan juga fungsi menghormati persahabatan.

Kolor Perdamaian dan Kancut Penghormatan Gus Dur
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sedang berbicara pada sesi wawancara di Jakarta, (25/6/2008). Foto/Reuters/Crack Palinggi

tirto.id - KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah membuat heboh karena keluar dari istana kepresidenan dengan menggunakan celana kolor pendek dan kaos oblong. Ia melambaikan tangannya dan disambut suara riuh simpatisannya. Kamera wartawan tak henti-hentinya mengabadikan momen tersebut.

Malam itu bisa dikatakan Gus Dur sudah bukan lagi Presiden Republik Indonesia. Setelah cukup lama “bersengketa” dengan MPR/DPR yang dipimpin Amien Rais, Gus Dur akhirnya dilengserkan secara paksa dari kursi kepresidenan melalui Sidang MPR-RI.

Malam itu juga Gus Dur menemui para pendukungnya di istana. Ia keluar dari dalam istana, muncul di beranda, dengan pakaian ala kadarnya. Gus Dur tampil dengan celana pendek. Tampilan itu, oleh sebagian kalangan, dianggap sebagai pemandangan yang kurang elok, tidak etis, dan tidak memperlihatkan wibawa seorang kepala negara.

Menanggapi itu, Gus Dur menjawab enteng saja.

“Lha, ya, itu supaya saya enggak dianggap sebagai presiden,” kata Gus Dur kepada Andy F. Noya pada wawancara khususnya di Kick Andy.

“Terus manfaatnya apa dengan tidak dianggap sebagai presiden?” tanya Andy.

“Orang jadi dingin hatinya, enggak jadi marah,” jawab Gus Dur santai.

Jauh sebelum Presiden Joko Widodo muncul sebagai sosok kepala negara yang tidak terlalu mementingkan protokoler, Gus Dur sudah lebih dulu melakukannya. Keluar dengan celana kolor saat dilengserkan hanyalah satu di antara beberapa sikapnya yang di luar kelaziman “resmi” seorang presiden.

Gus Dur seolah menunjukkan bahwa ada yang lebih penting daripada sekadar bungkus dan pakaian kenegaraan. Dengan celana kolor, orang-orang jadi teralihkan amarahnya. Sikap yang secara tidak langsung cukup efektif memadamkan api amarah para simpatisannya. Orang boleh menilai celana kolor hanyalah sebagai perilaku yang melecehkan institusi kepresidenan, tapi bagi Gus Dur, substansi di dalamnya lebih penting daripada sekadar menjaga harga diri sebuah atribusi.

Hal ini sudah tercermin sejak dulu. Paling tidak saat Gus Dur masih terdaftar sebagai mahasiswa Al-Azhar, Kairo. Kali ini saksinya adalah K.H. Syukri Zarkasyi, sosok yang saat ini merupakan pengasuh Pondok Modern Darussalam Gontor. Kisah yang juga pernah diceritakan oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam esainya "Mati Ketawa Gaya Gus Dur" di bukunya Markesot Bertutur Lagi (kumpulan tulisan Cak Nun dalam kolom rutin mingguan Surabaya Post edisi 1980-an sampai 1990-an)

Sebagai mahasiswa yang merantau di luar daerah yang sangat jauh, tentu saja akan terasa menyenangkan jika kedatangan tamu dari satu daerah, atau paling tidak dari satu negara. Tak terkecuali dengan Gus Dur, yang tinggal satu kos dengan KH. Musthofa Bisri (Gus Mus). Mereka mendapatkan kebetulan yang menyenangkan karena kedatangan tamu istimewa, Gus Syukri, yang memang sudah berteman dengan Gus Mus sebelum kenal dengan Gus Dur.

Jadi dalam kamar kos kala itu terdapat tiga gus dengan sanad mentereng. Cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama, putra dari kiai sekaligus pengarang banyak kitab terkemuka, K.H. Bisri Musthofa, dan putra dari K.H. Imam Zarkasy, salah satu dari tiga pendiri pondok yang nantinya akan jadi banyak rujukan pondok modern di Nusantara: Pondok Modern Darussalam Gontor.

Namun, baik Gus Mus maupun Gus Syukri, secara angkatan keduanya masih di bawah Gus Dur. Masih adik kelas. Jadi urutannya, Gus Dur paling senior, Gus Mus agak senior, dan Gus Syukri adalah junior. Selain soal senioritas, secara maqom pun Gus Dur sedikit di atas daripada dua gus lainnya. Untuk itulah Cak Nun, dalam ceritanya, menulis bahwa Gus Dur sedang melakukan “perploncoan” kepada Gus Syukri, mahasiswa baru Al-Azhar yang masih malu-malu kucing. Meskipun banyak cerita yang mengisahkan bahwa yang terjadi bukan perploncoan, tapi kesalahpahaman saja.

Infografik Kancut Gus Dur, Superman & Batman Hikmah Ramadan

Sudah jadi adat, jika ada tamu datang, mau sesulit apapun kondisinya, sebisa mungkin tetap harus dijamu. Paling tidak dijamu dengan secangkir teh. Untuk itulah Gus Mus jadi kelihatan repot memanaskan air, menyiapkan gula, teh, dan—tentu saja—cangkir. Barangkali karena kondisi Kairo yang kering dan berdebu, cangkir yang akan digunakan begitu kotor. Gus Mus pun celingak-celinguk mencari sesuatu.

“Di mana lapnya tadi?” kata Gus Mus kepada Gus Dur.

Awalnya Gus Dur ikut mencari di sekitar dapur, tapi karena tidak ada, ia pun memilih mengambil lap baru di lemari. Berjalan menuju lemari lalu mengambil sesuatu dan melemparkannya begitu saja ke Gus Mus. Gus Syukri terkejut melihat lap yang dilemparkan Gus Dur tersebut. Bukan apa-apa, lap yang akan digunakan Gus Mus untuk membersihkan cangkirnya adalah sebuah celana dalam alias kancut.

Karena tinggal di kos-kosan yang kecil di Kairo, kamar, dapur, dan ruang belajar kos yang ditinggali Gus Dur jadi satu, sehingga aktivitas tuan rumah jelas akan bisa diketahui oleh tamu. Uniknya, Gus Mus pun santai saja dengan “lap” yang dilemparkan Gus Dur. Seolah memang itu adalah peristiwa biasa. Biasa bagi Gus Dur dan Gus Mus, tapi tidak dengan Gus Syukri. Wajahnya merah padam.

Begitu teh sudah siap, Gus Dur mempersilakan Gus Syukri.

“Monggo, silakan diminum. Seadanya, ya,” kata Gus Dur.

Gus Sukri tetap meminum teh yang sudah disajikan karena merasa tidak enak. Padahal dalam dadanya ada perasaan jijik. Tapi, rasa tidak enak kepada Gus Dur mengalahkan semuanya.

Melihat perubahan wajah Gus Syukri ini Gus Dur menyadari.

“Ada apa? Kok wajahmu enggak enak begitu? Tehnya enggak enak?” tanya Gus Dur tanya-tanya usil.

“Oh, enggak, Gus. Enggak apa-apa,” jawab Gus Syukri.

Gus Dur tersenyum hampir tertawa.

“Sini aku kasih tahu,” kata Gus Dur. “Kamu pasti merasa aneh ngelihat kancut dipakai buat bersihin cangkir minum tadi, ya?”

Gus Sukri cuma mengangguk sambil malu.

“Begini, lho. Saya pakai kancut itu sebenarnya justru menghormati dan mengistimewakan kamu,” kata Gus Dur.

“Kok bisa, Gus?” tanya Gus Syukri terkejut.

“Ya, karena cangkir untuk tamu itu harus dilap dengan kain paling bersih yang aku punya. Lha masalahnya di ruangan ini enggak ada lagi kain sebersih kancut tadi. Soalnya kancut tadi masih gres dari toko, jadi belum pernah dipakai sama sekali. Belum bisa disebut kancut juga, sih,” kata Gus Dur terkekeh yang langsung disambut tawa oleh Gus Syukri.

Bagi Gus Dur yang melihat sesuatu menurut fungsi daripada bentuk, kain yang bersih sebagai penghormatan, bisa dibaca sebagai penghinaan jika orang melihat hanya dari bentuk. Gus Syukri yang tidak tahu menahu tentu saja merasa bahwa apa yang dilakukan Gus Dur adalah bentuk penghinaan terhadap dirinya, akan tetapi ketika dijelaskan duduk perkaranya, kancut yang digunakan malah merupakan wujud penghormatan tertinggi untuknya.

Hal yang masih ditunjukkan Gus Dur saat keluar dari Istana Negara dengan celana kolor dan kaos oblong bertahun-tahun kemudian. Bahwa fungsi meredakan amarah para pendukungnya dan menjaga kondisi negara yang stabil jauh lebih penting dari “bentuk” pakaian yang dikenakan.

Dua peristiwa yang menunjukkan bahwa kancut pun bisa digunakan sebagai alat penghormatan dan kolor pun bisa menjadi simbol perdamaian. Tentu saja selama keduanya ada di tangan Gus Dur.

Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.

Baca juga artikel terkait DAFFY AL-JUGJAWY atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti