tirto.id - Dalam momen Sewindu Haul Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan (22/12/2017), K.H. Sanusi Baco turut membagi kisahnya tentang sosok pria bernama lengkap Abdurrahman Wahid itu. Sanusi, yang menjabat sebagai Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mengisahkan sisi romantis Gus Dur.
Sanusi pernah satu kapal bersama Gus Dur dalam perjalanan menuju Mesir untuk menimba ilmu. Suatu kali, ia tak sengaja melihat Gus Dur sedang memandangi buku catatannya. Terlihat ada selembar foto seorang gadis terselip di antara halaman buku itu.
“Siapa itu?” tanya Kiai Sanusi penasaran.
“Wanita lah,” jawab Gus Dur dengan lagak bercanda.
Ketika Kiai Sanusi menanyai lebih lanjut, barulah Gus Dur menjawab bahwa itu adalah foto calon istrinya.
Gadis dalam foto itu bernama Sinta Nuriyah. Kepada Sanusi, Gus Dur mengaku selalu membawa foto itu ke mana-mana. Baginya, foto itu adalah pengobat rindu dan penyemangat belajar.
Bertemu di Ruang Kelas dan Jatuh Cinta
Gus Dur muda bertemu pertama kali dengan Sinta saat mengajar di madrasah Tambakberas, pada awal 1960-an. Sinta adalah salah seorang muridnya di madrasah itu. Selain berpenampilan menarik, Sinta juga termasuk murid yang cerdas. Karena itu, tak heran jika ia menarik minat banyak lelaki.
Gus Dur sendiri—meskipun kakek dan ayahnya adalah kiai-kiai besar—adalah guru yang canggung. Ia seorang kutu buku yang berkacamata tebal dan agak gemuk. Sebagai seorang santri, sampai pada umurnya saat itu yang menginjak dua puluhan, ia belum pernah berkencan atau menjalin hubungan dengan seorang perempuan.
Gus Dur mulai mendekati Sinta sebelum ia berangkat ke Kairo, Mesir, pada November 1963. Salah satu caranya ialah dengan kerap memberi buku untuk Sinta. Sayangnya, pemberian Gus Dur selalu ditolak. Tidak ada respons yang memadai dari Sinta saat itu, meski Gus Dur tak sepenuhnya ia tolak.
Dalam Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2017), Greg Barton menulis, “Gus Dur bukanlah sama sekali tanpa daya tarik. Baginya Gus Dur menarik perhatiannya karena keintelekan dan juga tujuan hidupnya yang kuat. Tetapi ia tentu saja bukanlah seorang bintang film sehingga harus bekerja keras selama beberapa tahun untuk mendapatkan cinta gadis ini” (hlm. 58-59).
Dari sahibul hikayat yang lain, musabab Sinta belum mau menerima cinta Gus Dur adalah karena trauma oleh pinangan seorang gurunya saat masih berusia 13. Kebetulan, nama guru itu juga Abdurrahman.
Selama di Mesir, Gus Dur mencoba menjalin komunikasi dengan Sinta melalui surat. Ia merasa masih punya harapan karena Sinta teratur mengirim surat balasan. Selama tiga tahun, keduanya menjalin hubungan via surat dan perlahan mulai yakin bahwa mereka serasi.
Pada pertengahan 1966, ketika dirasa hubungan mereka cukup dekat, Gus Dur memberanikan diri bertanya apakah Sinta bersedia menjadi istrinya. Sinta menjawab, “Mendapatkan teman hidup bagaikan hidup dan mati. Hanya Tuhan yang tahu.”
Mendapat jawaban menggantung seperti itu, Gus Dur tetap gigih berusaha meluluhkan hati Sinta. Ia tetap mengirimi pujaan hatinya surat sambil mengungkapkan rasa frustrasi atas kegagalan pendidikannya di Mesir. Dibanding kata cinta yang berbuih-buih, curhat itu lebih ampuh meluluhkan hati Sinta.
Dalam surat balasannya, Sinta dengan simpatik menulis, “Mengapa orang harus gagal dalam segala hal? Anda boleh gagal dalam studi, tetapi paling tidak Anda berhasil dalam kisah cinta.”
Gus Dur merasa itu sebagai sinyal positif. Segera ia menulis surat kepada ibunya untuk melamarkan Sinta untuknya (hlm. 101-102).
Menikah Secara "In Absentia"
Akhirnya menikahlah Gus Dur dan Sinta Nuriyah pada 11 Juli 1968. Saat akad nikah dilakukan, Gus Dur diwakili kakeknya dari garis ibu, K.H. Bisri Syansuri. Gus Dur tentu saja tak bisa hadir secara langsung karena sedang menuntut ilmu di Irak.
“Pernikahan ini sempat membuat geger tamu yang menyaksikan acara ijab kabul. Bagaimana tidak, pengantin laki-laki sudah tua. Namun kesalahpahaman itu hilang setelah pada 11 September 1971, pasangan Gus Dur–Nuriyah melangsungkan pesta pernikahan,” tulis M. Hamid dalam Jejak Sang Guru Bangsa (2014: 19).
Meskipun berasal dari keluarga kiai terpandang, bukan berarti Gus Dur hidup berkelimpahan. Tahun-tahun pertama pernikahannya harus dilewati dengan kesederhanaan. Untuk menjaga dapur tetap mengepulkan asap, Gus Dur mulai aktif menulis pemikiran-pemikirannya di beberapa media seperti Prisma, Tempo, dan Kompas. Kolom-kolomnya mendapat sambutan baik dan segera moncer sebagai pengamat sosial.
Gus Dur juga mendapat honorarium dari ceramah-ceramahnya di muka umum. Tetapi sumber-sumber pemasukan itu belum dapat menutup semua kebutuhan hidup pasangan muda itu. Sinta pun ikut turun tangan membantu suaminya mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan membuat kacang goreng dan es lilin.
Tentang ini, Greg Barton menulis, "Ibu Gus Dur memberikan kepadanya sebuah skuter Vespa. Gus Dur menggunakan skuter ini untuk mengantar 15 termos es yang diisi penuh dengan es lilin ke tempat-tempat strategis di segenap kota. Es lilin ini cepat menjadi populer dan dikenal sebagai ‘Es Lilin Gus Dur’” (hlm. 119-121).
Mendampingi Suami sebagai Tokoh Nasional
Kebersamaan seperti itu terbawa terus hingga Gus Dur menjadi tokoh nasional. Di awal dekade 1990-an, pasangan ini telah hidup mapan. Tetapi, ujian hidup memang tak bisa diterka datangnya. Pada medio 1993, minibus yang ditumpangi Sinta dan ibu Gus Dur mengalami kecelakaan di sebuah jalan tol di Jakarta.
Keduanya selamat meski terluka. Sinta mendapat luka paling parah. Ia mengalami tumbukan serius pada tulang belakang. Setelah dirawat selama beberapa minggu, ia tak pernah benar-benar pulih. Dokter yang merawatnya mengatakan bahwa Sinta mengalami kelumpuhan dan harus berkursi roda untuk seterusnya.
Kenyataan ini membuat Gus Dur terpukul. Apalagi sang ibunda, Solichah, meninggal dunia setahun kemudian. “Bersama dengan Nuriyah, sang ibu merupakan kekuatan dalam hidupnya. Sekarang sang ibu telah tiada dan Nuriyah sedang menjalani terapi yang lama dan menyakitkan,” tulis Greg Barton (hlm. 242-243).
Meski dalam keadaan lumpuh, Sinta tetap menjadi pendamping Gus Dur yang setia kala perpolitikan Indonesia mengalami masa pasang naik pada periode 1998-2001. Ketika itu, ada saja berita miring yang ditujukan untuk menjatuhkan Gus Dur. Salah satunya adalah kabar sumir tentang perselingkuhan Gus Dur. Sinta hanya menganggapnya sebagai angin lalu.
Dalam bukunya, M. Hamid mencatat bahwa betapa entengnya Sinta menanggapi isu itu. “Menurut Sinta, tanpa Gus Dur selingkuh pun sudah banyak orang yang menawari suaminya untuk kawin lagi dengan alasan untuk ngalap berkah” (hlm. 23).
Sinta juga tegar mendampingi Gus Dur kala sang suami dilengserkan MPR. Ketika MPR memakzulkannya pada 23 Juli 2001, Gus Dur tetap berada di Istana Merdeka bersama Sinta. Awalnya, Gus Dur bersikukuh tetap tinggal di istana sebagai bentuk perlawanan terakhir.
“Saya siap untuk tinggal di sini apa pun yang akan mereka lakukan—biarlah mereka menghentikan aliran air atau aliran listrik. Biarlah mereka masuk dan mencincang saya. Saya tidak akan beranjak,” kata Gus Dur kepada istrinya.
Seperti diungkap Greg Barton, Nuriyah lalu menjawab, “Bagus, memang bagus dan selama Anda ada di istana ini Anda tidak dapat menolong mereka yang menunggu Anda di luar istana” (hlm. 479-480).
Mendengar jawaban Sinta itu, Gus Dur yang terkenal keras kepala akhirnya luluh. “Nah, oleh karena Anda yang mengatakannya demikian, mari kita keluar. Mari kita tinggalkan istana.”
Dua hari kemudian, Gus Dur benar-benar meninggalkan istana. Sinta tetap setia menemani Gus Dur hingga suaminya itu wafat pada 30 Desember 2009.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan