tirto.id - Pada subuh hari Minggu, 28 April 1996, Siti Hartinah mendadak kena serangan jantung. Ia kesulitan bernapas sehingga harus dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto. Presiden Soeharto, suaminya, bersama kedua anaknya, Tommy dan Sigit, ikut mendampingi ke rumah sakit.
Namun, nyawa ibu negara itu tak tertolong meski telah dilakukan berbagai upaya medis. Hanya berselang satu jam sejak serangan jantungnya, Ibu Tien—demikian panggilan akrab perempuan kelahiran Surakarta ini—berpulang. Hari itu Soeharto benar-benar patah hati.
Menurut kesaksian dokter Satyanegara—kala itu Direktur Utama Rumah Sakit Pusat Pertamina—yang melayat ke Cendana, itulah satu-satunya momen Soeharto terlihat begitu terluka.
“Pak Harto memeluk saya, kemudian berkata sangat perlahan, ‘Piye to, kok ora biso ditulung...’ (Bagaimana, kok tidak bisa ditolong?) Saya tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun untuk menjawab. Saya hanya tertegun, turut merasakan dalamnya kepiluan di hati Pak Harto, terenyak menyaksikan beliau mengusap setetes air matanya dengan sapu tangan,” ungkapnya dalam Pak Harto: the Untold Stories (2011: 565), sebuah buku yang berisi bunga rampai kenangan tentang sosok Soeharto.
Dia yang Menopang Sang Suami
Bukan rahasia lagi bahwa sosok Tien sangat penting dalam kehidupan dan karier Soeharto. Selama menjadi ibu negara, perempuan kelahiran Surakarta, 23 Agustus 1923, itu beberapa kali menjadi muasal kebijakan yang diambil Soeharto.
Pada 1950, Soeharto yang masih berpangkat letnan kolonel dikirim bertugas ke Sulawesi. Ia bertindak sebagai komandan Brigade Garuda Mataram dengan tugas utama mematahkan pemberontakan Andi Aziz.
Selagi bertugas di sana, tanpa ia duga tiba-tiba Tien datang berkunjung dari Jawa. Kepada suaminya, Tien menyampaikan pesan dari para istri prajurit yang ditinggal suami bertugas di Sulawesi. Para istri prajurit itu khawatir jika suami mereka kawin lagi atau main perempuan selama bertugas. Soeharto percaya belaka kepada Tien. Pada upacara apel esok harinya, Soeharto memperingatkan kepada seluruh prajuritnya agar setia kepada istri mereka.
Tak hanya itu, sebagaimana dicatat O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1976), sekembalinya Brigade Garuda Mataram di Yogyakarta Soeharto menegaskan lagi peringatannya itu menjadi aturan militer. Kelak, atas pengaruh Tien pula, lahir Peraturan Pemerintah No. 10/1983 yang salah satu intinya membatasi praktik poligami oleh PNS (hlm. 214).
Saat kembali bertugas di Jawa Tengah pada akhir 1950, Soeharto terbelit masalah pelik yang membuatnya cukup tertekan. Saat itu, konsep pertahanan teritorium baru saja dimulai di seluruh wilayah Indonesia. Program demobilisasi juga sedang berlangsung. Ini persoalan sensitif bagi Soeharto, karena hubungan dirinya dengan para bawahan sejak masa Revolusi telah menjadi ikatan tersendiri.
Ia tak tega membiarkan bekas bawahannya yang terdepak kehilangan penghidupan. Karena itulah Soeharto membentuk beberapa unit bisnis untuk membantu bekas bawahannya yang tak terserap lagi dalam kesatuan. Bisnis itu bergerak dalam bidang jasa transportasi dengan memanfaatkan kendaraan militer. Atas inisiatif tersebut, Soeharto mendapat teguran dari atasannya, Gatot Subroto.
Akibat teguran dan kritik itu, Soeharto sempat mengalami kegalauan untuk melanjutkan karier sebagai tentara atau tidak. Dalam Soeharto: A Political Biography (2001), sejarawan Australia R.E. Elson bahkan menyebut bahwa Soeharto sampai ingin berhenti saja dari ketentaraan dan berganti profesi jadi supir taksi. Saat itulah peran Tien sebagai penopang sang suami tampak menonjol.
Dengan nada tegas ia berkata kepada Soeharto, “Saya diambil istri bukan oleh supir taksi, saya menikah dengan seorang tentara. Seharusnya kamu menghadapi masalah itu dengan kepala dingin walaupun hatimu panas” (hlm. 50).
Keadaan saat itu memang memaksa pasangan muda ini untuk lebih realistis, karena mereka harus menghidupi dua orang anak. Tien bahkan berjualan batik untuk membantu perekonomian keluarga.
Mengerem Ambisi Berkuasa Sang Suami
Ketika sudah jadi presiden, sentimen-sentimen miring kerap menerpa Soeharto. Sentimen itu juga mengarah kepada Tien. Para pengkritiknya menjuluki Tien sebagai “Mrs Ten Percent”. Menurut Retnowati Abdulgani-Knapp dalam Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President (2007) julukan itu bermula dari tuduhan bahwa Tien selalu mendapat komisi sepuluh persen dari setiap proyek pemerintah (hlm. 21).
Soeharto juga menjadi pembela utama istrinya kala dikritik soal proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 1972. Proyek itu dianggap tidak tepat diteruskan saat masih banyak agenda pembangunan yang lebih mendesak. Lagi pula, ditengarai terjadi potensi penyalahgunaan dana pembangunan. Tetapi, seperti diungkap Roeder, TMII tetap dibangun dengan dukungan pemerintah dan akhirnya diresmikan pada 20 April 1975 (hlm. 199).
Saat Soeharto jatuh oleh gerakan mahasiswa pada 1998, banyak kalangan berasumsi bahwa ketiadaan Tien di samping Soeharto turut jadi salah satu penyebabnya. Bisa jadi, asumsi itu bukan sekadar isapan jempol.
Sebelum berpulang pada 1996, Tien sudah menyampaikan tak lagi berkenan jika Soeharto menjadi presiden. Soeharto semakin tua sehingga sudah waktunya menyerahkan kepemimpinan Indonesia kepada yang lebih muda.
Dalam Pak Harto: the Untold Stories, Ajudan Presiden Laksamana TNI (Purn.) Sumardjono menuturkan bahwa dalam beberapa kesempatan pada 1995, Soeharto telah menyatakan agar dirinya tidak dipilih lagi menjadi presiden. Beberapa kalangan menganggap pernyataan itu sebagai upaya melihat reaksi masyarakat saja (2011: 488). Tapi bagaimanapun juga, pernyataan itu keluar berdasarkan permintaan dari Tien untuk mengerem ambisi berkuasa Soeharto.
Sinyal itu terlihat dalam pengakuan Mien Sugandhi, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita 1993-1998. Dalam buku yang sama, Mien mencatat penuturan Tien. Ia ingat dalam sebuah acara Golkar, Tien berkata kepadanya, “Tolong katakan kepada... (Ibu Tien menyebut salah seorang petinggi Golkar), agar Pak Harto jangan menjadi presiden lagi. Sudah cukup, sudah cukup, beliau sudah tua” (hlm. 211).
Tetapi, sebelum Soeharto memenuhi permintaan itu, istri tercintanya wafat lebih dulu. Sejarah mencatat, pada Sidang Umum MPR 1998 Soeharto terpilih lagi sebagai presiden dan beberapa bulan kemudian kekuasaannya runtuh.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan