tirto.id - Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) hasil Sidang Umum MPR 1978 menetapkan dua hal yang bikin kecewa kalangan Islam: mengakui aliran kepercayaan sejajar dengan agama-agama resmi dan mewajibkan indoktrinasi ideologi negara secara massal lewat Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Anggota MPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang tergabung dalam Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) menolak dua poin tersebut. PPP adalah partai yang saat itu masih berasas Islam. Setelah kebijakan fusi partai diberlakukan pemerintah pada 1974 (dari 9 menjadi 2 partai plus Golkar yang dianggap “bukan partai” tapi mengikuti Pemilu), PPP adalah satu-satunya representasi Islam dalam panggung politik.
Dua poin itu memang sensitif bagi umat Islam. Pengakuan resmi terhadap aliran kepercayaan dianggap merendahkan Islam sebagai agama. Sementara indoktrinasi Pancasila dikhawatirkan bisa “mengganti” posisi agama dalam kehidupan masyarakat.
Baca juga: Zahid Hussein, Jenderal Aliran Kepercayaan dan Soeharto
Seperti diungkap Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru (1994), K.H. Bisri Syansuri memandang keputusan tersebut sebagai “ancaman terhadap status Islam sebagai agama dan memprotesnya dengan keras” (hlm. 106). Sebagai Presiden Majelis Syuro PPP sekaligus ulama NU terkemuka, pendapat Kiai Bisri tentu sangat berpengaruh dan banyak diikuti para kader PPP.
Kiai Bisri sendiri sebenarnya bukan tipikal ulama yang terlalu peduli politik. Perhatian dan pertimbangannya lebih tertuju kepada persoalan keagamaan dan keumatan. Ia dikenal tidak memiliki naluri politik dan keluwesan yang dibutuhkan untuk memimpin sebuah partai. Penalaran dan dasar keputusannya selalu berlandaskan prinsip fiqh (hukum Islam) alih-alih kepentingan politik.
Sebagaimana lazimnya ulama nahdliyin, ia pun lebih memilih menghindari konflik dengan pemerintah. Tetapi, menurut Bruinessen, “dia menolak bersikap kompromi apabila menyangkut prinsip agama” (hlm. 104).
Maka, ketika mengetahui pemerintah mengesahkan dua poin tersebut, Kiai Bisri murka. Tak biasanya ia terlihat semarah itu dan sampai memutuskan sesuatu yang jarang ia lakukan: mengeluarkan pendapat politik.
Dalam Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2003), Greg Barton mengungkapkan, “Tahun berikutnya [1978], NU dan PPP memiliki kesempatan lebih lanjut untuk menunjukkan independensi politik mereka. Kiai Bisri marah dengan dua keputusan yang muncul dari parlemen” (hlm. 114).
Ketidaksukaan Kiai Bisri dan kalangan Islam bisa dipahami sebagai ketidaksetujuan terhadap indoktrinasi P4, bukan pada Pancasila itu sendiri. Dalam indoktrinasi itu, tertangkap kesan soal relativisme agama yang menyatakan semua agama diakui sama benarnya dan bahkan menyejajarkan aliran kepercayaan dengan agama-agama resmi.
Baca juga: Cara Orde Baru Membungkam Para Ulama
Sensitivitas Kiai Bisri dan orang-orang PPP sebenarnya berkaitan erat dengan kebijakan Soeharto terhadap Islam dan represinya kepada aspirasi politik umat Islam. Pada dekade 1970-an, Orde Baru bukan hanya dianggap tidak memberi proporsi yang layak namun juga malah meminggirkan aspirasi politik Islam. Padahal, peran kalangan Islam dinilai cukup besar dalam melahirkan Orde Baru -- khususnya dalam pemberangusan PKI sebagai poros penting kekuatan politik Orde Lama.
Diungkapkan lebih lanjut oleh van Bruinessen, “Kepekaan umat Islam dapat dimengerti lebih baik jika orang ingat bahwa umat Kristen terlalu banyak duduk di elite kekuasaan dan karena Soeharto sendiri dan para penasehat terdekatnya dipercaya sebagai penganut Aliran Kepercayaan dan tidak simpatik terhadap Islam skripturalis” (hlm. 106).
Tepat di masa itu pula, banyak kalangan Islam menganggap Pancasila sebagai produk aliran kepercayaan yang tidak sesuai syariat. Dan Soeharto, yang saat itu sudah menampakkan tanda-tanda sebagai “penafsir tunggal Pancasila”, dikhawatirkan akan memaksakan ideologi negara itu sebagai pengganti agama.
Baca juga: NU, PPP, dan Represi Orde Soeharto kepada Islam
Aksi Walk Out dan Pembungkaman
Di tengah kondisi politik dan represi macam itulah Fraksi Persatuan Pembangunan memutuskan walk out dari Sidang Umum MPR 1978. Walk out itu bisa dimaknai sebagai akumulasi kekecewaan dan kemarahan terhadap pemerintah. Selain juga sebagai protes atas abainya pemerintah kepada aspirasi umat Islam.
Dalam negara Orde Baru yang selalu memprioritaskan konsensus, tindakan walk out FPP tentu saja bentuk perlawanan yang, mengutip van Bruinessen, “sangat radikal”. Dengan kata lain, mereka melakukan delegitimasi terhadap kekuasaan Soeharto.
“Pemerintah menganggap kejadian ini sebagai tidak kurang dari penghinaan terhadap pemerintah dan ideologinya,” tulis van Bruinessen pula.
Baca juga:
Hal serupa dikemukakan oleh C.W. Watson dalam Muslims and the State in Indonesia (1996). Ia menyatakan, tindakan walk out 1978 adalah “bukti lebih lanjut dari keengganan NU [dan PPP] untuk sejalan dengan garis pemerintah.”Secara politik, dampak walk out sangat merugikan bagi PPP. Ketua Umum Mintaredja diturunkan dari jabatannya secara paksa lewat operasi politik yang dijalankan Ali Moertopo. Penggantinya adalah Djaelani Naro, orang yang dikenal dekat dengan tangan kanan Soeharto itu.
Aksi walk out itu juga kian mempertebal kecurigaan Orde Baru terhadap Islam. Lebih lanjut, pemerintah kemudian menjadikannya dalih bagi pembungkaman aspirasi umat Islam dan depolitisasi Islam di Indonesia.
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS