Menuju konten utama

Pengeboman BCA 1984, Soeharto, dan Islam

Peristiwa ledakan bom di BCA Gajah Mada, Jakarta, pada 4 Oktober 1984 dikaitkan dengan ketegangan hubungan Orde Baru dengan Islam.

Pengeboman BCA 1984, Soeharto, dan Islam
Ilustrasi BCA pasca pengeboman, 1984. FOTO/Istimewa

tirto.id - Beberapa pekan setelah kerusuhan Tanjung Priok, sebuah bom meledak di gedung Bank Central Asia (BCA) Jl. Gajah Mada, Jakarta Pusat. Peristiwanya terjadi tepat pada 4 Oktober 1984. Selain di Gajah Mada, bom juga meledak di BCA Cabang Sudirman, Jakarta Selatan.

Tiga minggu sebelumnya, kerusuhan Tanjung Priok meletus yang mengakibatkan panasnya kembali hubungan antara negara dengan kelompok Islam politik. Pemerintah Orde Baru pun mencurigai adanya makar melawan kekuasaan berada di balik ledakan bom tersebut.

Baca juga: Mengenang 33 Tahun Tragedi Pembantaian Tanjung Priok

Beberapa orang yang diduga berafiliasi dengan kelompok Islam garis keras menjadi tertuduh. Demikian pula dengan orang-orang yang terlibat dalam kelompok Petisi 50—kelompok “oposisi” yang melawan kekuasaan Soeharto. Mereka kemudian diajukan ke muka pengadilan.

Orde Baru menyebarkan ketakutan akan kelompok Islam politik sejak awal dasawarsa 1970-an. Kerusuhan Tanjung Priok adalah puncak dari ketakutan yang sebenarnya difabrikasi intelijen negara itu. Pada saat pengadilan kasus Tanjung Priok masih berlangsung, muncul pula desas-desus yang mengangkat kembali soal bahaya Islam radikal.

Persidangan kasus bom BCA dijadikan pemerintah sebagai momen untuk mendemonstrasikan bahwa beberapa kelompok Islam politik membahayakan keamanan negara. Menurut Al Chaidar, peneliti yang banyak menulis soal Islam politik di Indonesia, persidangan kasus bom sepanjang 1984-1985 menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut telah direkayasa sebagai dalih untuk menangkap orang-orang yang melakukan kritik terhadap penguasa.

Al Chaidar melanjutkan bahwa kejadian yang terkait dengan pengeboman sepanjang 1984-1985 adalah operasi rahasia intelijen dengan cara memantik aksi-aksi beruntun. Salah satu tujuan yang paling utama adalah menciptakan perasaan takut serta saling curiga di antara aktivis gerakan Islam.

Hal itu juga ditegaskan Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Salim menyatakan kekuatan Islam politik adalah target Soeharto berikutnya setelah ia berhasil membereskan para pengikut Sukarno dan penyokong awal Orde Baru yang dianggap bisa membahayakan kekuasaannya (hlm. 118).

Infografik Mozaik Ledakan Bom

Ali Murtopo lah yang ditunjuk Suharto sebagai operator kebijakan anti-Islam. Dari tangan Murtopo kemudian muncul kisah fabrikasi tentang Komando Jihad. Kelompok yang dianggap Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) ini dituduh hendak berbuat makar kepada pemerintah yang sah. Dengan jalan seperti itu, Murtopo sebenarnya sedang melakukan teror kepada kekuatan Islam politik.

Kelompok yang dipakai Murtopo untuk menjalankan aksi sebagian besar berasal dari bekas aktivis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang pernah mengobarkan pemberontakan pada 1950-an. Bagi beberapa kalangan, khususnya tentara Divisi Siliwangi, apa yang dilakukan Murtopo membuat mereka dongkol. Orang-orang Siliwangi lah yang berhasil menjinakkan DI/TII dan Murtopo mencoba membangkitkannya. Bagi Himawan Sutanto, bekas Panglima Siliwangi, Komando Jihad hanyalah barang “jadi-jadian” yang wujudnya tidak ada.

Baca juga:

Tapi organisasi boneka bukanlah boneka sebenarnya. Mereka punya inisiatif dan kepentingan sendiri yang kadang-kadang berbeda dengan penciptanya—seperti dalam kisah Pinocchio, boneka kayu ciptaan Geppetto. Eks DI/TII yang dibangkitkan pada awal 1970-an adalah sejenis Pinocchio.

Dalam perkembangan berikutnya, para Pinocchio ciptaan Murtopo ini ternyata tidak bisa dijinakkan seluruhnya. Aktivitas para bekas DI/TII terus menerus menghantui Orde Baru, paling tidak hingga awal 1990-an. Soeharto juga cemas menghadapi para boneka ini karena kontrolnya atas kelompok intelijen dan tentara yang loyal kepada L.B. Moerdani dan Murtopo mulai melemah.

Peristiwa Tanjung Priok dan Pengeboman BCA adalah pintu masuk bagi rezim Orde Baru untuk benar-benar memandulkan gerakan Islam dan dimanfaatkan juga untuk menghantam lawan-lawan politiknya. Dua orang tokoh menonjol dari kelompok Petisi 50, H.M. Sanusi dan H.R. Dharsono, ditangkap terkait pengeboman itu.

Baca juga:

Sanusi dituduh sebagai koordinator para pelaku teror yang melakukan pengeboman dan gerakan makar lainnya. Dalam persidangan, terlihat jelas adanya rekayasa terhadap peran Sanusi. Para saksi yang diajukan jaksa mencabut kesaksian mereka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Para saksi mengaku, terjadi intimidasi dan penyiksaan ketika BAP disusun, karena itu mereka terpaksa membuat kesaksian palsu.

Sementara Dharsono, pensiunan jenderal yang sebenarnya sangat berjasa menaikkan Suharto ke puncak kekuasaan, dituduh memimpin rapat-rapat para teroris setelah meletusnya peristiwa Tanjung Priok. Setelah pengeboman BCA, ia dipenjara bersama orang-orang yang dicurigai pemerintah sebagai dalang peristiwa tersebut. Padahal, yang dilakukan Dharsono hanya melakukan protes terhadap penembakan aparat terhadap rakyat di Tanjung Priok.

Nasib Dharsono kemudian mencerminkan betapa ganas kekuasaan Orde Baru dalam memberangus lawan-lawan politiknya: dilempar ke bui dan semua tanda jasanya dicabut. Setelah meninggal, ia juga tidak bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Baca juga artikel terkait ORDE BARU atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Politik
Reporter: Ivan Aulia Ahsan
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti