tirto.id - “Orang-orang pasti heran lihat ada banci duduk sama anak kecil, berjilbab pula,” ujar Syaiful, 40 tahun, kepada putrinya, Cahaya, seorang gadis berjilbab lulusan pesantren yang mengandung anak pacarnya.
Baru saja bertemu sang bapak yang telah lama menghilang sejak usianya belum genap balita, Cahaya menemukan Syaiful tengah dikejar-kejar mafia akibat mencuri uang untuk ganti kelamin supaya bisa menikah dengan seorang laki-laki.
Adegan tersebut berasal dari film Lovely Man yang disutradari Teddy Soeriaatmadja. Dinominasikan oleh Festival Film Indonesia pada 2012, film ini menuai protes dari Front Pembela Islam saat diputar di Q Film Festival pada Mei tahun yang sama.
Lovely Man bukan film Indonesia pertama yang menampilkan sosok bapak transeksual. Dalam film Realita, Cinta dan Rock ‘n Roll (2006), aktor laga Barry Prima memainkan karakter serupa: ia bertemu dengan Ipang, anaknya yang telah lama berpisah dan kabur dari rumah setelah mengetahui dirinya adalah anak adopsi.
Geliat film Indonesia pada akhir 1990-an salah satunya ditandai oleh potret keluarga yang berbeda: tidak melulu harmonis, terdiri dari satu ayah atau satu ibu yang belum tentu heteroseksual, anak-anak yang galau karena masalah seks, cinta, perceraian atau perpisahan dengan orangtua.
Ayah Rangga dalam Ada Apa Dengan Cinta? (2002) adalah seorang duda yang dipecat dari pekerjaan dan dituduh komunis. Eliana-Eliana (2002) menuturkan pertemuan seorang janda dengan anaknya yang kabur dari rumah lantaran menolak dikawinkan. Ardi, seorang anak berayah pensiunan polisi yang gemar menyiksa dirinya, menemukan keluarga baru di lingkaran pertemanan dalam Mengejar Matahari (2004)
Kecenderungan ini berbeda dari gambaran keluarga baku yang direpresentasikan oleh tontonan-tontonan populer selama Orde Baru: satu bapak, satu ibu, dan dua anak atau lebih. Ia bahkan diidealkan dalam konsep NKKBS (Nilai Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera) yang disebut “keluarga catur warga”.
Tentu ada banyak film Indonesia lain yang memajang potret keluarga konvensional. Namun, representasi keluarga yang berbeda dalam film-film pasca-1998 adalah sebuah upaya yang menunjukkan pengakuan atas kenyataan sehari-hari di luar layar perak dan konsep "keluarga batih" tidaklah steril dari dinamika sosial di luar rumah.
Soeharto sebagai 'Sang Bapak'
Keluarga, sebagai salah satu bentuk organisasi sosial terkecil dalam masyarakat, menjadi salah satu konsep politik terpenting ideologi Orde Baru. Negaranya Soeharto diposisikan sebagai model ideal tatanan masyarakat yang harmonis, yang dipoles lagi dengan jargon “kekeluargaan”.
Maka, siapa pun yang mengkritik pemerintah, tidak saja dicap subversif, tetapi juga melawan nilai-nilai kekeluargaan. Tiap aspirasi regional untuk memerdekakan diri akan dianggap sama dengan memberontak terhadap orangtua. Bangsa, dengan demikian adalah keluarga, sementara pemerintah—lebih tepatnya (Keluarga) Cendana—berperan sebagai sosok orangtua.
Studi-studi tentang keluarga pada era Orde Baru menggarisbawahi upaya rezim mempromosikan wacana “kekeluargaan”. Studi klasik Saya Shiraisi, Young Heroes: The Indonesian Family in Politics (1999), menelusuri asal-usul dan operasi konsep kekeluargaan sebagai elemen penting dalam ideologi Orde Baru.
Konsep kekeluargaan, menurut Shiraishi, berlangsung melalui politik bahasa sehari-hari yang dapat dilihat ketika orang menyebut laki-laki asing di luar keluarga sebagai “bapak” dan perempuan sebagai “ibu”. Tradisi ini bermula dari Ki Hadjar Dewantara yang memberlakukan aturan-aturan tersebut di Sekolah Taman Siswa.
Shiraishi mencatat, dalam kisah-kisah bikinan negara pasca-Oktober 1965, Soeharto selalu digambarkan sebagai bapak yang dianggap menyelamatkan bangsa dari komunisme.
“Soeharto tiba di tempat kejadian dan mengumumkan bahwa anak buah semestinya mustahil bisa “menculik” bapak (ayah/bos) dan mereka seharusnya membawa bapaknya ke tempat yang aman,” tulis Shiraishi.
Maka, tidak heran jika film Pengkhianatan G30S/PKI, puncak dari revisionisme sejarah oleh Orde Baru di layar perak, membingkai konflik politik pada malam Oktober itu sebagai drama keluarga, dengan adegan tragis Ade Irma Suryani yang ditembak komunis.
Setelah Orde Baru mengonsolidasikan kekuasaannya pasca-1965, pandangan bahwa bangsa sama dengan keluarga dipropagandakan melalui acara-acara populer di layar kaca. Misalnya Si Unyil, sebuah panggung boneka berseri di TVRI yang ditujukan untuk anak-anak.
Definisi keluarga yang lengkap bahkan berlaku tidak saja untuk keluarga batih, tetapi juga warga Sukamaju, sebuah desa multi-etnis yang mendukung program-program pemerintah. Unyil beserta keluarganya digambarkan sebagai muslim, kawannya Ucrit penganut Katolik, sementara Meilani seorang Protestan dan Tionghoa. Pluralisme kebudayaan sampai taraf tertentu dipromosikan, tetapi tidak bagi pluralisme politik.
Dwipayana, dalam sebuah wawancaranya di Majalah Tempo tahun 1981, menyatakan bahwa sinetron boneka tersebut memang sengaja dikerjakan untuk mempromosikan pesan pemerintah dan sebagai panduan P4. Namun demikian, lanjut Dwipayana, ia tidak ingin Si Unyil menyampaikan pesan pemerintah secara vulgar.” G. Dwipayana adalah seorang pejabat militer dan asisten pribadi Soeharto yang berada di balik film seperti Pengkhianatan G30S/PKI (1984), Serangan Fajar (1981) dan sinetron Aku Cinta Indonesia.
Si Unyil menjadi contoh sempurna dari gambaran tatanan masyarakat organik ala Orde Baru karena dua elemen narasi bangsa yang dipopulerkan rezim ada di sana sekaligus: imaji keluarga dan desa.
Serupa dengan keluarga, imajinasi tentang desa juga dikonstruksi sedemikian rupa sebagai simbol masyarakat yang gandrung gotong royong, harmonis, dan berjiwa kolektif. Ini berbeda dari masyarakat kota yang digambarkan egois, penuh konflik, dan individualistis. Imaji desa-keluarga juga diperkuat lagi melalui acara seperti Klompencapir, acara TVRI yang menyiarkan dialog antara petani dan Soeharto yang digambarkan menyimak penuh saksama keluhan para petani.
Sektarianisme dan/atau Korporatisme
Ilmuwan politik menyebut penyejajaran masyarakat dengan entitas ketubuhan yang harmonis sebagai korporatisme. Korporatisme bukan murni milik Indonesia. Sebelumnya, ia telah diterapkan pada rezim-rezim totaliter, dari Jerman era Nazi, Italia zaman Mussolini, dan Prancis Selatan di bawah Vichy yang mengganti semboyan negara menjadi “Kerja, Keluarga, Tanah Air”.
Seperti halnya di Indonesia, harmoni ditekankan negara guna membendung anasir-anasir pembangkangan, entah itu dari buruh, tani, dan perempuan. Bapak fasisme Perancis Charles Maurras, pada 1930-an, juga mendambakan masyarakat yang diatur berdasarkan tata cara lama ala perdesaan Perancis, sebuah prototip masyarakat yang dibayangkan Maurras sebagai perwujudan harmonis, bebas konflik, tidak egois, penuh nilai-nilai kekeluargaan yang telah ditinggalkan orang-orang kota.
Di Indonesia, korporatisme berakar dari gagasan Soepomo, seorang ahli hukum adat, tentang negara integralistik yang secara konseptual tidak memisahkan negara dan masyarakat. Gagasan ini juga tidak mengakui pentingnya hak asasi manusia, dengan asumsi bahwa individu merupakan “bagian organik dari masyarakat, dan negara bukan pusat atau raksasa politik yang berada di luar kebebasan perorangan.”
Namun, dengan tersingkirnya Soeharto dari gelanggang, korporatisme tetap langgeng dalam bentuk berbeda.
Mary E. McCoy dalam “Purifying Islam in Post-Authoritarian Indonesia: Corporatist Metaphors and the Rise of Religious Intolerance” (2013), memaparkan lebih jauh bagaimana korporatisme tersebut berperan dalam kampanye-kampanye kebencian terhadap minoritas agama.
Pada 2005, masjid-masjid Ahmadiyah mulai diserang. Pengusiran, pengungsian, bahkan pembunuhan terhadap warga Ahmadiyah terjadi. Protes-protes jalanan mulai marak menyambut pendirian rumah ibadah (terutama gereja) yang didirikan dekat lingkungan mayoritas muslim. Wacana anti-permurtadan alias "Kristenisasi", isu yang didaurulang sejak 1970-an, kembali marak. Pada tahun itu kekerasan komunal di Maluku antara kubu muslim dan Kristen baru saja usai. Beberapa tahun sebelumnya, Jaringan Islam Liberal diluncurkan di Utan Kayu.
“Syiah adalah salah satu virus yang merusak ideologi masyarakat islam, mereka berkembang sangat pesat dan cepat , bahkan juga sudah banyak mempengaruhi pola pikir sebagian besar masyarakat kita secara tidak kita sadari. Syiah itu lebih berbahaya dan kompleks dibanding Ahmadiyah,” tutur Ustaz Hertono Ahmad Jaiz dalam satu ceramahnya, sebagaimana dikutip dari situs NahiMunkar.com.
Hertono, seorang ustaz yang sempat mengisi rubrik kajian Islam di situs VOA-Islam, saat itu berbicara dalam acara “Merumuskan Langkah Strategis untuk Menyikapi Penyesatan dan Penghinaan Para Penganut Syiah” di masjid Al Fajr, Bandung, Maret 2012.
Tujuh tahun sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang mengharamkan “pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama”, menyebut ketiganya sebagai “paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.”
Dengan menyejajarkan pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama dalam satu paket gagasan haram, MUI tampaknya mengikuti jargon yang sering digunakan oleh media dan gerakan-gerakan Islamis, yakni “Sipilis” (Sekularis, Pluralis, Liberalis), yang merujuk pada kelompok-kelompok masyarakat yang menuntut perlindungan negara atas kaum minoritas agama dan etnis. Belakangan, seiring naiknya sentimen agama di panggung Pilkada DKI Jakarta, "Sipilis" bergeser jadi “PKI”.
Labelisasi “sipilis”, “virus”, dst., mengandaikan keberadaan aktor-aktor politik bayangan yang dipandang mengancam muslim dari “luar dan dalam”, sebagaimana penyakit menyerang tubuh dan mewabah di masyarakat. “Wabah” dari luar didefinisikan sebagai “Barat”, “Kristen”, “Amerika”, sementara wabah dari dalam adalah pengikut minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah.
Yang dibayangkan menjadi pihak yang terancam di sini adalah “umat Islam”. Dan untuk memperkuat efek narasi ancaman tersebut, teks-teks sakral diikuti sebagai pembenaran, misalnya “Umat Islam adalah satu tubuh,” sehingga jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh lainnya juga sakit. Metafora lain yang umum digunakan adalah “benteng”, sebuah “citraan yang tertuju pada penyerang (termasuk tukang kritik) yang dianggap menyerang agama dari luar,” tulis McCoy.
Berbeda dari yang dipraktikkan oleh Orde Baru, korporatisme yang hadir dalam wacana purifikasi Islam lantas mengambil kelompok sosial yang lebih eksklusif, sekaligus lebih universal, dari bangsa, yakni agama. Ironisnya lagi, ia hidup pada kelompok-kelompok yang selama Orde Baru dianggap bukan bagian dari—bahkan merusak—kekeluargaan.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Fahri Salam