tirto.id - Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terlihat sibuk ketika kami menemuinya di kantornya, Senin, 20 Juni lalu. Ia mempersilakan kami ke dalam ruang kerja selagi mengurusi tumpukan dokumen di atas meja. Kami menemui Hilmar terkait rencana departemennya mempopulerkan lagu kebangsaan 'Indonesia Raya' dalam tiga stanza.
Sejak wacana ini digulirkan akhir Mei lalu oleh Menteri Muhadjir Effendy, rencana itu ditanggapi beragam oleh publik, salah satunya penilaian bahwa mengenalkan lagu kebangsaan dalam versi lengkap bakal menyita waktu siswa di sekolah.
Namun Hilmar menanggapi keberatan tersebut. Menurutnya, rencana ini muncul sebagai bentuk atas apa yang disebutnya "pendidikan karakter bagi para siswa di sekolah", dari SD hingga SMA/SMK, yang pelan-pelan ditinggalkan.
“Kita lihat keadaan di lapangan sekolah-sekolah itu, sudah tidak ada upacara ... (tidak) menyanyikan lagu Indonesia Raya dan macam-macam,” ujarnya.
Obrolan kami bersama Hilmar menyoroti gagasan di balik rencana tersebut, yang bakal diterapkan pada tahun ajaran baru mulai bulan Juli ini, termasuk beberapa program terkait pendidikan karakter.
Mengapa Kementerian Pendidikan berencana memberlakukan Indonesia Raya tiga stanza?
Ini bagian dari pendidikan karakter. Kementerian punya program dan kemudian ada yang mengurus untuk membuat materi bahan bagi anak-anak. Nah, Direktorat Jenderal Kebudayaan diminta berkontribusi untuk pendidikan karakter yang tepat seperti apa? Lalu kita berpikir simpel, tidak perlu keluar uang, dan ini bisa menggerakkan.
Kita juga lihat keadaan di lapangan, di sekolah-sekolah itu, sudah tidak ada upacara, sudah tidak menyanyikan lagu Indonesia Raya dan macam-macam, bahkan ada yang kemudian menyelenggarakan upacara malah dihambat. Nah, kita lihat ini ada problem yang cukup serius dalam sistem pendidikan nasional.
Intervensi di ruang ini penting sekali di tengah situasi seperti ini. Kemungkinan banyak: misalnya seperti sekarang ada wacana mengembalikan pendidikan Pancasila—itu okelah wilayahnya orang lain. Kita sendiri di Dirjen Kebudayaan berpikir, intervensi apa yang kira-kira kuat untuk pendidikan karakter? Dan Musik itulah yang paling kuat dan paling menonjol dari diskusi kita.
Pertanyaannya: musik apa? Musik di Indonesia ini ragamnya banyak sekali. Kalau memang mau mendorong pendidikan musik dan menjadi tujuan kita, itu butuh waktu dan seterusnya.
Tahun lalu, kita bikin kegiatan dalam acara Sumpah Pemuda, merayakan Indonesia Raya. Poinnya, kita menyanyikan lagu ini sama seperti Pancasila, sama seperti banyak teks-teks sentral di dalam kehidupan berbangsa dan negara. Tetapi ini sudah jadi mantera. Dihafal dan dirapal. Jadi orang tidak peduli apa isinya. Makna lagu ini yang ingin kita kembalikan.
Nah, teks-teks (Indonesia Raya) itu penting perannya, selalu dinyanyikan dalam upacara, selalu diucapkan di kelas. Nah, kenapa sih tidak didalami saja? Untuk kembali ke arah mendalami ini, mau tidak mau, harus menengok sejarah.
Sejarah lagu Indonesia Raya ini ternyata cukup panjang, dari diciptakan pada 1928 dan diperbaiki pada 1958 dan seterusnya. Jadi, itu saja sudah merupakan cerita cukup menarik. Belum lagi berbicara isinya.
Selayaknya sebuah lagu, agak susah melepaskan stanza-stanza dan hanya menyanyikan dalam satu stanza. Bahwa alasan tidak menyanyikan stanza yang lain sebagai kebutuhan praktis dan semacamnya—itu tidak ada masalah, tapi bukan berarti jadi alasan tidak mengenal stanza yang lain, yang tidak dinyanyikan. Karena di stanza lain inilah ada hubungan satu sama lain. Alasan kita sebagai suatu bangsa itu terungkap pada stanza kedua dan ketiga (yang tidak dinyanyikan).
Jadi idenya waktu merayakan Indonesia Raya tahun lalu. Mengembalikan ingatan, mengembalikan pengetahuan kepada pada publik lebih dulu. Untuk mengingat ada tiga stanza. Nah, ketika ada penguatan pendidikan karakter, itu yang kita ajukan. Menyanyikan kembali Indonesia Raya. Ketentuannya: setiap mau belajar itu menyanyikan Indonesia Raya, secara ikhlas.
Menyanyikan versi yang terbaru?
Versi yang biasa kita nyanyikan, yakni satu stanza.
Bagaimana dengan dua stanza lain?
Dua stanza itu, kalau memang ada kegiatan atau upacara yang penting. Bisa bulanan, misalnya setiap tanggal 17, atau pada hari-hari penting.
Tapi di dalam proses belajar-mengajar di kelas, anak-anak siswa diberitahu. Target kita, kalau Juli tahun ini ditetapkan, maka Juli 2018 itu sudah merata.
Kan tidak susah bangetlah, karena tiga stanza juga bukan sesuatu hal istimewa. Begitu ditetapkan, kita perlu bikin pedoman untuk sekolah: bagaimana operasionalnya, bagaimana menyanyikannya? Ternyata patokan menyanyikan Indonesia Raya belum ditetapkan.
Misalnya, temponya berapa? 90 atau 100 ketukan. Kalau misalkan menaikkan bendera tidak boleh lambat, harus 100 temponya. Nah, pengetahuan-pengatuhan seperti ini paling tidak dikasih tahu untuk SMP dan SMA.
Bagaimana dengan lirik lagunya?
Pakai yang "Indonesia merdeka", bukan yang dinyanyikan pada 1928 ("Indonesia mulia"). Tahun itu ditulis seperti itu karena ancaman represi dari pemerintah kolonial. Kalau pakai kata "merdeka" sudah pastilah langsung disasar, makanya saat itu pakai kata “mulia”.
Mengapa penting lagu Indonesia Raya harus dinyanyikan secara utuh buat diterapkan di sekolah-sekolah?
Kita bukan menanamkan doktrinasi nasionalisme—sama sekali enggak. Ini urusannya karakter. Karakter itu tidak mungkin berkembang dari luar, tapi dari anaknya sendiri. Sekarang yang mesti dilakukan adalah rangsangan dari kita sekarang. Karakter ini bisa berkembang dalam diri anak. Dan kita tahu anak-anak Indonesia ini tumbuh tuh dewasanya cengengesan. Kenapa? Karena tidak percaya diri sejak kecil—misalnya, jangan begini, jangan begitu, dan seterusnya dan seterusnya.
Sekarang, dengan mengenalkan lewat musik dalam Indonesia Raya tiga stanza ini penting sekali. Memulai hari dengan meneriakkan sesuatu dan nada tertentu itu dampaknya besar terhadap anak-anak. Dan yang paling penting, permintaan menteri pendidikan: anak-anak bergantian memimpin lagu.
Jadi, di depan kelas, dia pimpin teman-temannya. Efek ini yang kita lihat; bukan lagunya. Banyak yang salah tafsir soal ini.
Kalau untuk pendidikan karakter 4 menit itu dianggap terlalu banyak, saya enggak tahu yang cukup itu berapa? Sekarang 4 menit dalam seminggu yang diminta mereka untuk menghafal dan itu masih dibilang terlalu panjang, terus yang cukup itu berapa?
Jadi kalau ditanya urgensi, saya akan balik tanya keberatannya apa. Tapi kalau dilihat kaitannya tadi, latar belakang situasi politik dan segala macam, sebetulnya yang paling kita inginkan, anak-anak dimobilisasi di sekitar simbol-simbol nasional dengan cara yang lebih memberi mereka ruang. Mengajak anak nyanyi itu juga memberi mereka ruang. Ini lain kalau disuruh menghafal dan merapal—itu problem lain dan itu yang masih dilakukan hingga saat ini.
Sekarang kita kasih anak-anak nyanyi dan kita kasih diskusi mereka tentang itu, apa sih maksudnya? Kenapa dibilang "pandu", "tanah tumpah" dan lain sebagainya. Bahkan untuk guru, ia mendiskusikan bersama anak-anak, kenapa disebut ini dan segala macam, sehingga lagu kebangsaan ini sebagai lagu pengetahuan dasar. Kalau saja anak Indonesia bisa bernyanyi Indonesia Raya dengan benar, tiga stanza dan nadanya tidak salah, kecepatannya benar, sebagian pendidikan dari persoalan pendidikan karakter itu sudah selesai.
Karakter seperti apa yang mau dibentuk?
Dengan bernyanyi itu, anak-anak akan dimobilisasi di sekitar simbol-simbol nasional. Bahwa mobilisasi di simbol-simbol nasional itu menghasilkan karakter yang berbeda-beda itu tidak jadi soal, tapi poinnya di sekitar simbol-simbol itu. Sekarang, kan, enggak. Ditanamkan harus ada nilai-nilainya, tapi di sekitar apa? Sekitar macam-macam, kan. Justru tidak terjadi mobilisasi. Justru sebaliknya. Berkomitmen untuk tujuan-tujuan bersama itu sulit sekali sekarang karena memang tidak pernah di mobilisasi di sekitar simbol nasional.
Apakah program ini dipengaruhi perkembangan situasi politik, misalnya soal gerakan radikal yang menguat di sekolah-sekolah?
Ya secara langsung maupun tidak. Sekarang begini, bibit-bibit radikal juga berkembang di sekolah-sekolah karena boleh dibilang ruangnya tersedia. Ketika fokusnya melulu di bidang akademik, penguasaan anak untuk hal-hal yang sifatnya akademik (berapa nilai pelajaran matematika), ruang pengembangan karakternya dilepas. Intervensinya minim sekali, apalagi pas zaman Ujian Nasional masih dominan.
Tapi, jangan lupa, berkembangnya bibit radikal ini adalah buah dari kebijakan bertahun-tahun lalu. Sekarang kita lihat hasilnya dari manifestasi di masa lalu. Kalau kita lihat, di masa lalu itu, fokus pendidikan mengejar yang sifatnya capaian akademik. Orientasi pada nilai dan yang lain itu praktis terbengkalai.
Dan sekarang ini mulai diubah. Saat ini dari Kemendikbud ada program full day school, 8 jam belajar dan seterusnya. Kenapa? Karena ingin mengintervensi ruang yang selama ini ditinggalkan.
Dulu bahkan, sekolah kalau siang ada kursusnya. Yang mengatur itu gurunya. Okelah ruang ini menghasilkan anak-anak dengan nilai UN tertinggi, bahkan menghasilkan anak-anak yang bisa tembus universitas luar negeri dan segala macam. Tapi jangan lupa: pelajar kita ini jumlahnya 50 juta. Dan secara pendidikan karakternya tidak diasah dan akhirnya yang terlihat seperti sekarang.
Kita merespons memang bahwa keadaan sekarang itu kita baca betul dan perlu dicari langkah-langkah kreatif. Tentu bukan yang baku misal mengembalikan PMP (Pendidikan Moral Pancasila), tetapi pada saat bersamaan juga bisa lebih terakses pada anak dan guru dan semua daerah.
Misalnya, kalau kita bikin program canggih, mungkin perumusannya tiga tahun, lantas diterapkan dan ternyata tidak ada gurunya bagaimana? Jadi, kita bikin sesuatu yang nyambung dengan keadaan sekarang. Dan saya kira menyanyi Indonesia Raya itu juga bukan sesuatu yang istimewa sekali. Walaupun kita lihat nadanya tinggi sekali, agak sulit menyanyikannya dengan baik sekali, tetapi itu terakses oleh semua dalam "sistem pendidikan nasional", sama seperti lagu nasional lain.
Sekarang kita juga sedang membuat namanya "Kanon Sastra". Sederet karya yang harus dibaca selama 12 tahun. Saya juga sedang membuat seni rupa, anak-anak nantinya membaca 12 karya seni rupa monumental untuk mereka sekadar mengenal. Mengenal di sini artinya: punya pemahaman, punya tafsir terhadap itu. Itu kita buat untuk beberapa bidang.
Mungkin kita tidak terlalu jauh mengembalikan sejarah yang hilang. Tetapi narasi kebangsaan kita itu tipis sekali. Karena apa? Karena kita sendiri yang suka memisah-misahkan. Sementara kalau kita berbicara narasi kebangsaan ini bukan hanya yang hilang; bahkan yang dipinggirkan pun tidak masuk juga. Yang selama ini tidak dianggap, selama ini yang secara geografis berada di pinggiran itu juga kita mau bawa ke tengah.
Contohnya seperti apa yang sedang direncanakan?
Sekarang ini kita ada program namanya "seniman masuk sekolah". Seniman mengajar ke sekolah-sekolah. Nah, mereka ini kita tempatkan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Sekarang kita mulai dapat hasilnya, tidak usah berbicara di Jakarta sini.
Sastra juga sama. Bukan hanya soal konten, ya. Dengan tim itu sepakat bahwa beberapa karya Pramoedya Ananta Toer itu diajarkan di sekolah. Tapi, lebih penting dari itu, bukan hanya konten, mereka juga harus mengenal bentuk dalam karya sastra. Puisi, misalnya. Selama ini mereka biasanya dapat puisi modern, misal karya Chairil Anwar, Rendra, dan seterusnya.
Tetapi sekarang, mereka juga diajarkan Gurindam 12, sastra Melayu Klasik, ada sampiran isi dan lain sebagainya. Ini harus dibiasakan kepada anak-anak. Bukan hanya membiasakan mereka baca, tetapi membiasakan mereka menggunakan. Kalau misalnya sekarang ini kita diskusi dengan orang luar, sering kali mereka mengutip karya sastra seperti dalam percakapan sehari-hari, mereka dididik seperti itu. Kita ini punya khazanah luar biasa, tetapi kalau ada anak yang kemudian mengutip sastra, dibilang keminter, sok-sokan, begitu.
Sekarang ini kita diperkaya oleh pengetahuan sastra dan segala macam. Saya bilang, itu sumbangannya terhadap keadaan emosi sangat besar sekali.
Sekarang ini kebanyakan sumbu pendek, marah-marah secara verbal. Tapi diajak mikir lebih dalam pun tidak tersedia perangkatnya. Tidak terbiasa berdialog, tidak terbiasa ada tanya-jawab. Kenapa pikiran dogmatis muncul? Karena referensinya juga kurang. Kenapa ini bisa timbul? Karena keadaan masyarakat yang kurang asupan bacaan. Ini aja dipercaya sebagai sesuatu yang tunggal.
Semakin banyak kita beri akses, akses dalam artian ketersediaan buku bacaan, buku bacaan di toko banyak. Yang membeli dan membaca itu sedikit, beli dan membaca dan memahami itu lebih sedikit lagi. Jadi kita ingin ke depan, anak-anak mempelajari sastra, misal Gurindam 12 dan memahaminya, ada interaksi sosial dari teks-teks narasi kebangsaan. Itu yang kita inginkan.
Nah, daripada menghapal Pancasila, mending baca Bung Karno, misalnya. Kita ingin terbitkan lagi naskah-naskah pidato dalam BPUPKI dan PPKI. Sedang diriset di sini. Kita kumpulkan dari koleksi yang asli. Kemudian diterbitkan untuk menjadi referensi.
Sila baca laporan khusus kami mengenai perdebatan merumuskan Pancasila: Dari Pejambon Lahirlah Pancasila dan Sukarno dalam Polemik Piagam Jakarta
Apakah wajib bagi anak-anak SMP dan SMA menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza?
Wajib.
Apakah di setiap upacara?
Ini belum didiskusikan detail. Saya sedang diminta membuat pedomannya. Tapi kita punya target. Jika pengetahuan ini sudah merata dan setiap anak ingat, ya kita kembalikan ke bentuk sederhana lagi juga tidak apa-apa. Sesekali saja ingatan itu kita panggil, misal dalam 17 Agustus, poinnya itu sebenarnya.
Sosialisasi rencana ini sudah sejauh apa?
Kita tahu bahwa seandainya peraturan itu keluar pada bulan Juli 2017, tidak mungkin 280 ribu satuan pendidikan itu melakukan serentak; itu tidak. Ada yang delay hitungan minggu, ada yang delay hitungan bulan bahkan tahun. Kita sadar sepenuhnya satuan pendidikan di Indonesia itu sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain.
Jadi ambisinya bukan mewajibkan dan memberikan sangsi bagi yang tidak melaksanakan, tetapi bekerja keras sama-sama satuan pendidikan dan kementerian, anak-anak punya akses terhadap itu dan prosesnya panjang sekali.
Apa tujuan yang diharapkan dari penerapan lagu Indonesia Raya tiga stanza ini?
Kalau yang pasti sih, lagu ini bagaimanapun bagian dari memori kolektif kebangsaan, dan memori ini naik-turun. Kalau ditanya output yang konkret bagi saya, itu memori kolektifnya hidup kembali di benak orang Indonesia. Dan kalau itu menguat, kita punya lho sejarah yang dibagi bersama-sama.
Tidak perlu kita bersaudara, tetapi sama-sama Indonesia Raya. Kalau sudah dibuka pintunya lewat Indonesia Raya, yang lain nantinya akan mudah dikaitkan. Misalnya Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda yang lengkap ini tidak diketahui. Bahwa di Kongres Pemuda itu ditetapkan bahwa kita ini dasarnya ada lima—itu juga banyak yang tidak tahu. Ini juga teks dasar narasi kebangsaan kita yang mulai hilang. Nah, kita ingin mengembalikan juga.
Bahwa kepanduan pemuda seperti sekarang itu punya tugas sangat besar pada masa lalu. Jadi kalau sekarang sifatnya keterampilan, ya ini baru sebagian dari cerita.
Lagu Indonesia Raya ketika zaman Belanda paling ditakutkan ketika pandu-pandu ini menyiulkan. Disiulkan lagunya dan buat Belanda waktu itu sudah menjadi ancaman dan kemudian lagu itu dilarang pada tahun 1930. Ini saja menurut saya sudah menunjukkan kekuatan lagunya. Artinya mempunyai daya, punya pesona.
Saya sih cuma berharap, kalau memori kolektifnya hidup, yang lain-lain bisa ditaruh di atas situ. Hanya dengan begitu jalan orang untuk memahami sejarah terbuka.
Penulis: Mawa Kresna & Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam