Menuju konten utama

Dari Pejambon Lahir Pancasila

72 tahun lalu, di sinilah pidato yang menandai kelahiran Pancasila digaungkan oleh Sukarno.

Dari Pejambon Lahir Pancasila
Gedung Voksraadgebouw pada awal abad ke-20, cikal bakal Gedung Pancasila. FOTO/Wikimedia Commons

tirto.id - Gedung dengan delapan pilar penyangga di muka beranda itu berdiri anggun menghadap Jalan Pejambon, Jakarta Pusat. Warna dindingnya putih bersih. Sebuah patung garuda berwarna emas terpatri di atapnya, menegaskan nama gedung tersebut: Gedung Pancasila.

Bukan tanpa alasan gedung yang kini menjadi bagian Kementerian Luar Negeri ini diberi nama Gedung Pancasila. Persis 72 tahun lalu, 1 Juni 1945, di dalam salah satu ruangan gedung inilah Sukarno berpidato menawarkan gagasan mengenai dasar negara Indonesia merdeka. Di hadapan sekitar 65 anggota sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia saat itu, untuk kali pertama Sukarno menawarkan istilah Pancasila sebagai dasar negara.

“Di situ ada yang namanya ruang konstitusi. Di situlah sebenarnya para pendiri republik memikirkan konstitusi kita. Lahirnya Pancasila di situ. Karena Pancasila bagian dari konstitusi kita maka disebut Gedung Pancasila,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir kepada Tirto, Jumat pekan lalu.

Dalam pidato yang sekarang dikenang sebagai Hari Lahir Pancasila, Sukarno berusaha menyatukan perdebatan yang meruyak di antara para anggota BPUPKI mengenai dasar negara merdeka. Sukarno menawarkan lima sila yang terdiri: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial; dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain Sukarno, Ketua BPUPKI Radjiman Wediodiningrat menyampaikan pandangan mengenai dasar negara. Ada juga M. Yamin dan Soepomo yang memaparkan pandangan mereka. Namun, pidato Sukarno yang dianggap paling pas dijadikan rumusan dasar negara Indonesia.

“Pidato itu disambut hampir semua anggota dengan tepuk tangan riuh. Tepuk tangan yang riuh sebagai suatu persetujuan,” kenang Mohammad Hatta dalam Menuju Gerbang Kemerdekaan (2010).

Gedung Pejambon

Gedung Pancasila, berdiri sekitar tahun 1830, semula menjadi kediaman Hertog Bernhard (1792-1862), bangsawan Jerman yang menjadi panglima tentara Belanda di Batavia (1829). Menurut Alwi Shabab dalam esai "Gedung Lahirnya Pancasila, UUD 1945, dan Piagam Jakarta," gedung bersejarah ini semula tanah pertanian milik Anthony Chastelein, putra Cornelis Chastelein (1657-1714), seorang tuan tanah di daerah Depok pada masa awal kolonialisasi VOC di Jawa.

Karena itu, tulis Alwi, nama Hertog pernah diabadikan sebagai nama jalan dan nama taman di kawasan yang kini disebut Pejambon. “Zaman dulu terdapat “Hertog Park” (Lapangan Hertog). Bahkan, jalan itu ... bernama “Hertog Laan” (Jalan Hertog),” tulisnya dalam esai "Arsenal dan Batavia yang Hilang," seperti terangkum dalam buku Betawi: Queen of The East (2002).

Menurut Alwi, Pejambon sudah menjadi salah satu kawasan penting di Batavia sejak Willem Herman Daendles menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811). Hal ini berdasarkan peta Batavia (1853) koleksi Allgemen Rijksarchief Den Haag, yang menyebut bahwa di belakang Pejambon, persisnya di dekat RSPAD Gatot Subroto dan samping Hotel Borobudur sekarang, pernah ada kawasan bernama Arsenal. Dalam bahasa Belanda maupun Inggris, Arsenal berarti gudang peluru atau pangkalan persenjataan.

“Waktu itu Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels (1808-1811) memang sudah memindahkan Kota Lama, Oud Batavia, ke Weltevreden di sekitar Lapangan Banteng, Senen, dan Pasar Baru. Di tempat ini Daendels membangun tangsi-tangsi militer,” tulis Alwi.

Hertog diperkirakan berdiam di kawasan Pejambon sampai tahun 1916 seiring dipindahkannya Departemen Urusan Peperangan Hindia Belanda ke Bandung pada 1914-1917.

Gedung Pejambon ini lantas digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada Mei 1918 sebagai Gedung Volksraad (Dewan Rakyat). Pemerintah juga pernah menggunakannya sebagai kantor Raad van Indie (Dewan Pemerintahan Hindia Belanda), sebelum akhirnya mendirikan kantor khusus di Jalan Pejambon No. 2 sekarang.

Menjadi Gedung BPUPKI

Maret 1942, Jepang menaklukkan tentara Hindia Belanda tanpa syarat. Pada 1943, serdadu Jepang menjadikan gedung Volksraad sebagai gedung Chuo Sangi In/ Tyuuo Sangi In—semacam dewan pertimbangan, yang bertugas memberikan nasihat dan usulan politik kepada Pemerintahan Militer Jepang di Hindia Belanda.

“Setiap anggota Chuo Sangi-in memperoleh uang jabatan f.3.600/tahun, dan jika bersidang menerima uang saku f.15/hari serta uang penginapan f30/malam,” tulis Darul Aqsha dalam Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran (2005).

Sidang pertama Chuo Sangi-In berlangsung pada 16-20 Oktober 1943. Ia membahas tentang upaya memenangkan Perang Pasifik. Namun, seiring melemahnya kekuatan militer Jepang dalam babak terakhir Perang Dunia Kedua itu, Perdana Menteri Koiso mulai menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia dalam sidang istimewa Parlemen Jepang ke-85 di Tokyo, 7 September 1944.

Janji tersebut direalisasikan pada 1 Maret 1945 dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tjooosakai (BPUPK) dan menyetujui pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 1945. Kedua badan tersebut bekerja di gedung Chuo Sangi In.

Tugas pokok kedua badan itu menyiapkan tata pemerintahan, tata hukum, dan tata ekonomi seandainya Indonesia merdeka di kemudian hari. Selama kurun persiapan itu, dan hari-hari menjelang proklamasi kemerdekaan, Gedung Pancasila menjadi saksi bagaimana para pendiri bangsa bersidang menyiapkan dan menyepakati dasar-dasar kemerdekaan Indonesia.

Hatta, dalam Bung Hatta Menjawab (1978), mengatakan seandainya pada 15 Agustus 1945 para pemuda tidak menculik Sukarno dan dirinya, yang berposisi sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPKI, kemungkinan besar proklamasi kemerdekaan akan dilakukan di gedung Chuoo Sangi In, bukan di rumah Sukarno, Jalan Pegangsaan Timur No.56.

Infografik HL Hari Pancasila

Memanfaatkan Gedung Pancasila

Setelah Indonesia merdeka, ruang depan Gedung Pancasila pernah ditempati Sekretariat Akademi Dinas Luar Negeri yang berdiri pada 1949. Pemerintah resmi menyerahkan gedung ini kepada Departemen Luar Negeri (Deplu) pada awal 1950. Selanjutnya, Gedung Pancasila sempat digunakan untuk mendidik calon-calon diplomat Indonesia.

Menjelang Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, Gedung Pancasila menjadi Sekretariat Bersama Konferensi yang diketuai Deplu, dengan para anggota yang terdiri dari Duta Besar Burma, India, Pakistan, dan Sri Lanka di Jakarta. Gedung ini juga kerap menjadi sasaran unjuk rasa massa terkait isu-isu luar negeri. Seperti saat serangan Israel, Inggris, Perancis ke Mesir dan aksi menentang komunis pasca-G30S 1965.

Pada 11 Agustus 1966, gedung ini menjadi saksi penandatanganan kesepakatan damai Indonesia-Malaysia. Kesepakatan ini menjadi penanda berakhirnya politik konfrontasi “Ganyang Malaysia” era Sukarno.

Pemugaran seperlunya dalam upaya mengembalikan corak asli terhadap Gedung Pancasila dilakukan Deplu sepanjang 1973-1975. Setelah itu, pada 19 Agustus 1975, bertepatan Hari Ulang Tahun Deplu ke-30, Presiden Soeharto meresmikan gedung yang terletak di Jalan Pejambon No. 6 ini sebagai Gedung Pancasila. Peresmian dihadiri Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwana ke-IX, Mohammad Hatta, sejumlah menteri, dan duta besar negara sahabat.

“Salah satu cara yang tepat untuk meneruskan pengalaman dan memelihara semangat, tujuan, dan cita-cita kemerdekaan itu adalah memelihara dan mewariskan benda-benda, tulisan-tulisan, dan tempat-tempat bersejarah kepada generasi yang akan datang, malahan juga alam pikirannya,” kata Soeharto dalam sambutannya.

Gedung Pancasila Sekarang

Kendati begitu, tidak semua orang sadar peran penting Gedung Pancasila di masa lampau. Seorang pedagang keliling di sekitar Kemenlu berkata tidak mengetahui persis sejarah dan fungsi gedung ini. Pria yang sudah berjualan di sekitar Kemenlu sejak 17 tahun silam ini hanya tahu bahwa Gedung Pancasila sudah ada sejak zaman Belanda.

Bukan cuma pedagang kecil, sejumlah petugas protokoler di lingkungan Kemenlu juga tidak menyadari kelahiran Pancasila di gedung ini. “Saya malah baru ngeh di sini lahirnya Pancasila. Padahal tiap hari di sini,” kata seorang dari mereka.

Saat ini Gedung Pancasila difungsikan sebagai tempat bermacam kegiatan. Dari lokasi pelantikan duta besar, tempat semayam jenazah duta besar, resepsi penghormatan terhadap petinggi asing, hingga penandatanganan perjanjian dengan negara lain dan organisasi internasional. Gedung ini juga kerap dipakai untuk pertemuan bilateral dan multilateral, resepsi diplomatik menyambut kunjungan para menteri dari negara-negara sahabat, serta jamuan makan kenegaraan, baik resmi maupun tidak resmi.

“Ini gedung sangat bermakna," ujar wakil menteri luar negeri A.M. Fachir. "Karena di gedung itulah para pendiri republik mempersiapkan ideologi negara, konstitusi negara."

Baca juga artikel terkait PANCASILA atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Indepth
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Fahri Salam