tirto.id - Posisi pasukan Jepang makin terjepit sesudah tahun 1943 dalam Perang Pasifik, dan makin memburuk pada 1945. Armada sekutu di Pasifik telah mengalahkan Jepang di Solomon, sebelah timur Papua Nugini. Di bawah Jenderal Douglas MacArthur, Kepala Staf Angkatan Darat Amerika Serikat, pasukan Sekutu terus mengarahkan serangan ke serdadu Jepang.
Situasi itu membuat pemerintah pendudukan Jepang di Jakarta, markas besar tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang, makin tak berdaya untuk memenuhi tuntutan kaum pergerakan Tanah Air mempercepat kemerdekaan Indonesia. Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Kuniaki Koiso memang menjanjikan kemerdekaan Indonesia "kelak di kemudian hari." Meski tak bisa dipercaya, Jepang akhirnya berusaha bertindak konkret.
Sebagaimana wartawan Rosihan Anwar menulis dalam In Memoriam: Mengenang Yang Wafat (2002): “Akhir April 1945, diumumkan daftar nama anggota BPUPKI, Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang tugasnya merancang Undang-Undang Dasar.”
“Badan Penyelidik ini terdiri dari anggota yang mewakili kelompok-kelompok dari berbagai suku yang ada di Jawa dan Madura," tulis Ahmad Subardjo dalam Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi (1978).
Dalam lampiran Pemuda Indonesia dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa (1984), di dalam BPUPKI terdapat 15 ahli hukum. Dua di antaranya, Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja (Purwakarta) dan Soepomo (Sukoharjo), sudah bergelar doktor dari Universitas Leiden, Belanda.
Tercatat Moh. Hatta (Bukittinggi) adalah sarjana ekonomi dan Samsi Sastrawidagda (Solo) sebagai ekonom. Terdapat dua perempuan, yakni Maria Ulfah Santoso (Banten), sarjana hukum perempuan Indonesia pertama, dan Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito (Yogyakarta), kepala bagian wanita di Kantor Pusat Jawa Hokokai. Ada juga Daidancho Abdul Kadir, wakil dari Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Ada pula anggota yang mewakili golongan Islam dan kalangan birokrat kolonial.
Dilihat dari latar belakang etnis, anggota BPUPKI meliputi 40 orang Jawa dan 23 orang non-Jawa. Ke-23 orang non-Jawa terdiri 7 orang Sunda, 4 Tionghoa, 3 Padang, 2 Madura, serta masing-masing 1 dari tanah Batak, Indo-Belanda, Arab, Banten, Lampung, Ambon, dan Minahasa. Mayoritas sudah lama tinggal dan bekerja di Jawa.
Meski dibentuk sejak April, BPUPKI memulai sidang perdana pada 28 Mei 1945. Ia berlangsung di Gedung Chuo Sangi In (Badan Penasihat Pusat), yang sekarang jadi bagian dari Kementerian Luar Negeri, di Pejambon, Jakarta Pusat.
Baca juga: Dari Pejambon Lahirlah Pancasila
Pada sidang 29 Mei, Ketua BPUPKI dr. Radjiman Wediodiningrat bertanya, “Apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” Atas pertanyaan itu, salah seorang anggota, Sukarno, memberi jawabannya. Ia menyebut Pancasila.
Menurut St Sularto dkk dalam Konflik di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan kemerdekaan (2010), pada 22 Juni, "panitia kecil dibentuk atas prakarsa 39 anggota BPUPKI dengan tugas mencari dan merumuskan formula yang disepakati oleh dua golongan yang ada di BPUPKI, yakni golongan Islam dan nasional.”
Panitia kecil itu dipimpin Sukarno. Mereka merumuskan Piagam Jakarta, yang terkenal dengan bunyi sila pertamanya “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Sila tersebut tentu disepakati golongan Islam, dan akan berubah menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa" yang lebih menjamin pluralisme masyarakat-masyarakat Indonesia.
Baca juga: Piagam Jakarta dan Keutuhan NKRI
Komposisi Etnis dan Agama
Delapan dari 63 orang Indonesia di BPUPKI beragama non-Islam. Ada orang Tionghoa yang beragama Buddha atau Kristen.
Mereka adalah Liem Koen Hian (Banjarmasin), pendiri Partai Tionghoa Indoensia, Oey Tiang Tjoei, pimpinan surat kabar Hong Po, dan Oey Tjong Hauw, ketua partai kaum peranakan Tionghoa (Chung Hwa Hui). Tiga orang beragama Kristen seperti Pieter Frederik Dahler dari golongan Indo, Alexander Andries Maramis dari Minahasa, dan Johannes Latuharhary dari Ambon. Belakangan Dahler menjadi Islam dengan nama Amir Dahlan.
Baca laporan khusus Tirto mengenai beragam perjuangan kaum pergerakan dari kalangan minoritas:Pada 7 Agustus 1945, di hari pembubaran BPUPKI sesudah menunaikan tugas, dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ada 21 orang di PPKI, lalu tambahan 6 orang lagi di luar sepengetahuan Jepang. Mereka adalah Wiranatakusumah (Bandung), Muhammad Ibnu Sayuti Melik (Yogyakarta), Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta), Ahmad Subarjo (Karawang), Iwa Kusumasumantri (Ciamis), dan Kasman Singodimejo (Purworejo).
Ada 8 ahli hukum dari anggota resmi dan anggota tambahan PPKI. Sisanya mewakili golongan tokoh Islam, pegawai pemerintah, tokoh ningrat, dokter, wartawan, pendidik, mantan pangreh praja, dan lainnya.
Dari komposisi etnis, suku Jawa tetap terbanyak. Jika di BPUPKI hampir dua pertiga, di PPKI ada 13 orang Jawa dari 21 anggota resmi. Ditambah anggota tak resmi, komposisi orang Jawa bertambah 3 orang. Orang Sunda pun bertambah jadi 3 orang, melengkapi Otto Iskandardinata sebagai anggota resmi PPKI.
Tak dari golongan Arab dan Indo dalam keanggotaan PPKI. Hanya ada dari Tionghoa, diwakili Yap Twan Bing (Solo). Selain itu, komposisi etnis lain berasal dari Minangkabau (Hatta), Ambon (Latuharhary), Minahasa (Sam Ratulangie), Banjar (AA Hamidhan), Aceh (Teuku Mohammad Hasan), Melayu (Abdul Abbas), dan Bugis (Andi Pangerang Pettarani).
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, banyak dari anggota PPKI ini yang menjabat menteri, residen atau gubernur.
Rata-rata usia anggota BPUPKI maupun PPKI di atas 40 tahun. Kecuali Ir. Rooseno (37), Sastromuljono (37), AR Baswedan (37), Kahar Muzakir (37), Anang Abdul Hamidhan (36), Maria Ulfah Santoso (34), Yap Twan Bing (34), dan yang termuda adalah KH Wahid Hasyim (32).
Hampir semua yang direstui Jepang untuk masuk ke BPUPKI dan PPKI itu tak ditemukan orang-orang Kiri. Dan sangat sedikit orang-orang di BPUPKI dan PPKI berlatar tokoh pergerakan nonkoperatif.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam