Menuju konten utama
Alwi Shahab:

"Masjid Tua di Jakarta Terbentuk dari Berbagai Budaya"

Arsitektur masjid dari budaya Hadramaut, bercampur dengan budaya Betawi, Jawa, Bali, Tionghoa, Belanda, membentuk masjid-masjid tua di Jakarta.

Alwi Shahab. tirto.id/Sabit

tirto.id - Jakarta harus bersyukur punya Alwi Shahab, seorang wartawan, penulis, dan perawi soal seluk-beluk kota ini, yang dengan cergas ia ulur pembacanya ke tempo doeloe.

Kita bisa menikmati suasana, peristiwa, legenda nama, tempat, dan gedung bersejarah lewat esai-esainya, yang ringan sekaligus asyik, yang kaya pengetahuan sekaligus menghibur. Seperti dongeng, kita diajak bertamasya menyusuri Jakarta di masa VOC hingga kemerdekaan, dan berkenalan dengan beragam perubahan yang pernah melintasi pusat dagang Hindia Belanda dan ibukota Indonesia ini.

Abah Alwi, demikian para yunior menyapanya dengan penuh takzim, telah menjalani profesi wartawan selama lebih dari setengah abad. Bermula di kantor berita Arabian Press Board, lalu Kantor Berita Antara, dan kemudian berlabuh di Republika. Di surat kabar terakhir inilah ia menulis esai-esai lepas mengenai sejarah kota Jakarta. Ia salah satu penutur paling artikulatif soal riwayat Jakarta.

Esai-esai Abah Alwi setidaknya terhimpun menjadi 11 buku, sejak 2001 hingga 2013, dengan judul-judul yang segar, dari Robin Hood Betawi hingga Maria van Engel: Menantu Habib Kwitang, dari Oey Tambahsia Playboy Betawi hingga Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia. Mayoritas buku-buku ini diterbitkan oleh Republika. Anda bisa membaca sebagian esainya dalam sebuah blog yang menghimpun puluhan artikelnya.

Usia Abah Alwi kini menginjak 81 tahun. Suaranya sudah terbata-bata, tetapi ingatannya masih segar bila diajak mengobrol soal sejarah lama Jakarta. Reja Hidayat dari Tirto mewawancarai Abah Alwi via telepon selama 19 menit untuk membicarakan sejarah masjid-masjid kuno yang berdiri di masa Hindia Belanda dan memiliki peran dalam perjuangan antikolonialisme.

Bagaimana pengaruh arsitektur masjid kuno di Jakarta pada masa itu?

Pembangunan masjid tua dipengaruhi arsitektur dari berbagai negara. Ada Arab, Tionghoa, Yaman, dan sebagainya. Namun penyebarannya di berbagai wilayah Jakarta, ada yang dari abad 17 dan 18.

Bagaimana proses penyebarannya?

Mereka datang dari Hadramaut, Yaman Selatan, dengan tujuan menyiarkan agama Islam. Tempat pertama kali dikunjungi adalah wilayah Jakarta Utara, seperti Masjid Luar Batang. Lalu mereka menyiarkan Islam di Jakarta. Mereka berhimpun dengan penduduk pribumi dalam menyebarkan islam.

Mayoritas masjid kuno mengadopsi arsitektur budaya mana?

Dulunya mayoritas Arab. Tapi arsitekturnya bercampur baur dengan penduduk pribumi: Betawi, Jawa, dan Bali, sehingga menghasilkan masjid-masjid tua. Sampai saat ini masih banyak berdiri masjid tua di berbagai wilayah DKI. Masjidnya menyebar ke beberapa titik seperti Pekojan dan Masjid Jami An-Nawier (dibangun pada 1760)

Kalau Masjid Jami Angke, Anda melihat arsitekturnya dari unsur budaya mana saja?

Masjid ini dari berbagai budaya, ada Tionghoa, Bali, Jawa, dan Belanda.

Di mana masjid kuno pertama kali dibangun di Jakarta?

Masjid Kampung Bandan. Masjid ini lebih lama dari Masjid Luar Batang. Sampai sekarang masih berdiri kokoh dan megah. Masjid tersebut berdekatan dengan pantai, letaknya tidak berjauhan dengan Masjid Luar Batang.

Bagaimana pengaruh Masjid Kampung Bandan pada saat itu?

Masjid ini memiliki peran dalam melahirkan ulama-ulama besar. Para ulama ini, selain berdakwah, juga memberi semangat kepada pemuda untuk melawan penjajahan di Indonesia. Ini bukan hanya berlaku di masjid Kampung Bandan, tapi juga di masjid-masjid lainnya.

Pada zaman Belanda terjadi pengelompokan kampung di Batavia, terutama orang Arab dan Tionghoa. Apakah ini mempengaruhi arsitektur pembangunan masjid?

Ya, pasti akan mempengaruhi gaya bangunan masjid tersebut. Anda lihat saja orang Arab dari Hadramaut, mulai banyak berdatangan ke Nusantara pada abad 18. Kalau tidak salah, ada penelitian yang menyebutkan di Batavia, pada 1864-1868, banyak koloni Arab sehingga pemerintah Belanda mengharuskan adanya kapiten Arab.

Awalnya, orang Arab tinggal di Pekojan, Jakarta Barat, yang kala itu pemukiman orang Koja (India). Lama-lama etnis India meninggalkan Pekojan dan keberadaannya digantikan oleh orang Arab. Sejumlah bangunan yang sempat dibangun orang India pada saat itu adalah Masjid Al-Anshor yang terletak di Jl Pengukiran II. Masjid ini dibangun pada 1648 oleh para Muslim dari Malabar.

Jangan lupa, orang Arab juga memiliki masjid tua seperti Masjid An-Nawier. Bangunan itu memiliki gaya Hadramaut, terlihat dari menara masjid. Menara itu fungsinya untuk mengumandangkan azan, sebab dulu belum ada pengeras suara.

Kelompok perkampungan Arab tersebar di mana saja?

Dulunya, paling banyak perkampungan Arab itu di Pekojan. Di tempat itu, awal mula kedatangan orang Arab. Belanda menempatkan orang Arab di dekat pelabuhan. Terlihat dari banyaknya masjid tua di wilayah tersebut. Ada Masjid Jami Angke, Masjid Tambora, Masjid An-Nawier, Masjid Langgar Tinggi, dan sebagainya.

Kalau perkampungan Tionghoa?

Orang Tionghoa di Glodok, tapi mereka lebih dulu membangun Masjid Jami di Angke. Mungkin Anda tahu soal sejarah pembantaian warga keturunan Tionghoa oleh Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (1737–1741). Akibatnya, mereka mencari perlindungan kepada orang pribumi dan hidup berdampingan.

Ketika sudah mulai nyaman dan hidup berdampingan, warga Tionghoa membangun Masjid Jami Angke. Orang Tionghoa ini sebenarnya juga lebih lama menyebarkan Islam di Indonesia, tapi mereka lebih banyak berdagang.

Apa peran masjid dalam perjuangan melawan penjajahan?

Masjid memiliki peran yang begitu banyak. Selain tempat ibadah, mencetak ulama-ulama, tapi juga tempat berkumpul para pemuda pribumi. Mereka juga mengatur strategi melawan Belanda. Banyak pemuda yang menentang kebijakan Belanda tapi secara diam-diam, bahkan memboikotnya. Selain itu para ulama mengajarkan perlawanan terhadap penjajahan dalam pembelajaran agama.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam