Menuju konten utama

Kisah Dua Masjid Kuno di Jakarta

Nasib masjid tua, sebagaimana fungsi rumah ibadah, di tangan jemaahnya. Situasi itu kadang menyulitkan untuk upaya pemugaran sekalipun digolongkan sebagai bangunan cagar budaya.

Kisah Dua Masjid Kuno di Jakarta
Warga berjalan usai melaksanakan salat di Masjid Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (7/1). Selain untuk beribadah, warga mengunjungi makam ulama Al Habib Husein bin Abubakar bin Abdillah Al 'Aydrus yang meninggal pada 24 Juni 1756, terdapat di dalam masjid, yang berdakwah di kota-kota pesisir utara Pulau Jawa, dari Batavia sampai Surabaya. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/pd/17

tirto.id - Gang Bebek, demikian orang mengenalnya, berada 100 meter dari Jalan Pangeran Tubagus Angke, Jakarta Barat. Di sana berdiri Masjid Jami Angke, didirikan perempuan muslim Tionghoa bernama Nyonya Chen atau Tan Nio pada abad 18. Masjid berusia 305 tahun ini berada di tengah permukiman padat di kawasan Kampung Rawa Bebek.

Tepat di depan pintu utama masjid, terdapat dua bangunan tambahan berbentuk kubus yang disekat menjadi empat bagian. Fungsinya sebagai tempat pengajian anak-anak (TPA), serta ruang tambahan untuk berwudu dan beristirahat.

"Saat ini kami sedang pindahkan ruang TPA ke belakang masjid karena memang bukan bagian dari bangunan kuno. Aula untuk TPA itu dibuka biar tampak bangunan aslinya," ujar Muhammad Abyan Abdilah, pengurus masjid, Senin pekan lalu. "Begitu pula bangunan samping yang akan dibongkar dan menyisakan tempat wudu saja."

Abdilah menuturkan, Masjid Jami Angke dibuat oleh arsitek muslim Cina bernama Syaikh Liong Tan, dengan dukungan dana dari Tan Nio, kerabat Oong Tin Nio, istri Pangeran Syarif Hidayatullah.

Walau dibangun oleh muslim Tionghoa, Masjid Jami Angke memadukan beragam corak budaya, dari Jawa, Bali, Eropa, hingga Moor (Arab-Afrika).

Contohnya, bagian atas pintu utama bercorak khas Eropa, berpadu ukiran bunga emas bergaya Bali. Mihrab bergaya Turki, jendela kayu yang dibubut berbentuk bulat bergaya Eropa, atap bergaya Jawa, dan ujung atap bergaya Cina bak kelenteng. Atap masjid berbentuk tumpang susun, membentuk limas, seperti Masjid Demak di Jawa Tengah. Loteng masjid bertingkat dua, terdiri langit-langit dan ruang kosong.

"Puncak atap dihiasi mustaka. Mustaka adalah simbol dari kerukunan, sehingga berada di puncak masjid," kata Abdilah.

Abdilah menerangkan, simbolisme arsitektur masjid dari gabungan berbagai budaya melambangkan keragaman komunitas yang mendiami Angke pada saat itu. "Walaupun berbeda keyakinan, hidup rukun dan damai," katanya.

Sejumlah jejak lawas dari masjid ini berupa makam para ulama. Sebelah barat masjid adalah makam Pangeran syarif Hamid bin Sultan Syarif Abdul Rahman Al Qodrie dari Pontianak (putra Sultan Pontianak) serta 34 makam lain. Sebelah timur adalah makam Syekh Liong Tan serta 24 makam lain.

"Makam di sini kebanyakan dari Kesultanan Banten, Cirebon, Demak, yang mencapai 45 persen," tutur Abdilah. "Makam Cina 10 persen. Sisanya bercampur dengan pribumi lain seperti Bali." Sayangnya, tak semua makam terawat. Ada salah satu makam Cina tertutup tumpukan kayu.

Masjid Jami Angke ini, demikian menurut sejumlah literatur sejarah, berdiri sesudah banyak orang Tionghoa mengungi dari pembantaian massal 1740, yang dikenal sebagai peristiwa Geger Pacinan. Sekitar 10.000 orang Tionghoa terbunuh dalam waktu singkat, antara 9 hingga 22 Oktober 1740. Ini puncak dari represi pemerintahan Hindia Belanda, hukum rasial lewat pungutan pajak terhadap orang-orang Tionghoa, serta ekonomi Hindia Belanda yang kolaps. Sampai kini kebencian rasial terhadap orang Tionghoa terus dipakai dalam politik modern Indonesia.

Infografik HL Masjid Di jakarta

Salah satu masjid kuno lain adalah Masjid Jami Kebon Jeruk. Abidin, warga Ciputat yang mengurusi masjid sejak 2008, mengatakan sudah banyak bagian masjid Kebon Jeruk yang keropos. Terutama bagian plafon masjid yang tergerus usia.

"Plangnya sebagai situs dilindungi dalam cagar budaya aja sudah pudar, enggak pernah diubah. Lalu plafonnya sudah ada yang bolong-bolong dan keropos," ujarnya, pertengahan Mei lalu.

Masjid yang berdiri di kawasan Glodok ini dibangun oleh Chau Tsien Hwu, seorang kapten muslim Tionghoa, pada 1786. Di dalam masjid sebelah timur, terdapat makam Fatimah Hwu, istri Chau. Nisan bermotif naga ini beraksara Han, “Hsienpi Men Tsu Mow”, artinya “Inilah makam Cina dari keluarga Chau”. Makam ini sudah ada sejak 1792.

Masjid ini menyimpan sejarah kekejaman tentara kompeni. Orang-orang Tionghoa, yang mengganti namanya menjadi nama muslim, dibunuh oleh para kompeni VOC, maskapai dagang Hindia Belanda. Kebijakan rasial kala itu adalah orang Tionghoa wajib membayar pajak kepada pemerintah kolonial. Namun, dengan perubahan nama Islam, penerimaan pajak Belanda berkurang.

Kini, setelah 231 tahun berlalu, masjid Jami Kebon Jeruk menjadi salah satu pusat tablig dari pelbagai daerah, kata Abidin.

“Di sini pusat dakwah Jamaah Tabligh Indonesia. Orang muslim seluruh dunia yang mau berdakwah ke Indonesia, datang ke sini. Ada dari Mesir, Maroko, Arab, Pakistan, Bangladesh, Cina, Australia, dan India,” tambah Abidin.

Pengurus masjid bahkan mengklaim, orang-orang dari pelbagai kalangan, mendatangi masjid untuk mendengarkan siar Jamaah Tabligh. Selain ustaz, ada juga pejabat, perwira polisi, militer, musisi, dan artis, hingga supir angkot, mahasiswa, tukang parkir, preman, tukang sapu dan pengangguran.

Kelompok keagamaan transnasional ini didirikan oleh Muhammad Ilyas, pendakwah Sunni bermazhab Hanafi dari India, pada 1926. Ia dikenal berkat sebagian pengikutnya dari kalangan selebritas, seperti rocker Gito Rollies, Ilsyah Ryan Reza dan Loekman Hakim dari grup band Noah, serta Salman Sakti dari Sheila on 7.

Upaya Sulit Pemugaran

Candrian Attahiyyat, seorang arkeolog dari tim ahli cagar budaya DKI Jakarta, mengatakan bahwa ukuran masjid kuno di Jakarta terhitung kecil, rata-rata 13 x 13 meter persegi. Ukuran mungil masjid kuno ini tidak klop dengan jumlah jemaah di lingkungan setempat.

Ia menyebutkan, Masjid Jami Kebon Jeruk memiliki luas asli 7x7 meter persegi. Namun, sejak 1950, mulai ada pelebaran dan renovasi di empat sisi masjid. Pada 1974, 1983, 1986, dan 1998 juga dilakukan renovasi.

"Sebagian bentuk asli Masjid Jami Kebon Jeruk sudah hilang karena sudah ada pelebaran dan penambahan ruangan lain," kata Candrian, yang telah mengurusi pemugaran di bangunan-bangunan bersejarah DKI Jakarta selama 30 tahun terakhir.

Kondisi arsitektur Masjid Jami Kebun Jeruk mulai berubah. Semula cat dinding berwarna hijau, kini abu-abu. Plafon masjid juga termakan rayap.

Menurutnya, pengurus masjid lebih mengutamakan fungsi bangunan untuk jemaah ketimbang melestarikan sejarah masjid tersebut. Menurut Candrian, pengurus masjid tidak terlalu peduli dengan fisik bangunan sejarah masjid. Pengelola hanya menyebutnya sebagai masjid kuno, yang mereka dengar dari cerita orang tua, yang dituturkan secara turun-temurun.

"Contohnya, Masjid Luar Batang, sudah bukan bentuk aslinya lagi. Kalau bangunannya di atas tapak asli, ya benar. Tapi kalau disebut bangunan kuno, ya bukan, karena sudah ada penambahan, baik tinggi masjid maupun bangunan lain seperti menara," katanya.

Mantan Kepala Balai Konservasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta ini menyebut bahwa Masjid Luar Batang di Penjaringan sudah beda dari aslinya. Ada penambahan menara tinggi.

Ia pernah memberitahu kepada pengurus Masjid Luar Batang bahwa masjid tersebut termasuk bangunan cagar budaya. "Tapi," katanya, "bukan mendengar imbauan kita, kami malah dituduh PKI oleh mereka."

Lantaran stereotip dari pengelola masjid, akhirnya, pihak balai konservasi pun mengalah, membiarkan menara itu dibangun dan berdiri seperti sekarang.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam