tirto.id - Pada 12 Mei kemarin, Bernadette Maria, pemilik akun Twitter @doggudoggu memublikasikan serangkaian cerita seputar kerusuhan 1998 yang diingatnya.
Dalam tulisannya, tergambar situasi Jakarta yang mencekam saat itu. Beberapa pengalaman orang-orang terdekatnya dicantumkan @doggudoggu seperti kisah pembakaran toko salah satu keluarganya dan penganiayaan warga keturunan Tionghoa.
Tidak cuma Bernadette yang berusaha mengangkat kembali kenangan soal kerusuhan 1998. Khalayak yang bersinggungan dengan kejadian itu melakukan hal sama dengan mengunggah kesaksian di media sosial dengan menyelipkan tagar #Mei98.
Apa yang disampaikan Bernadette dan sejumlah masyarakat yang memiliki pengalaman sejenis dikatakan sebagai memori kolektif. Meski mereka memublikasikan lewat media personal, hal ini bukan sekadar memori individual karena mereka berbagi latar belakang yang sama sebagai warga Jakarta, sebagai perempuan, atau sebagai warga dari kalangan minoritas yang terdampak dari situasi sosial-politik yang genting di Indonesia pada 1998.
Dalam argumennya mengenai memori kolektif, sosiolog Maurice Halbswach menyampaikan bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki pemaknaan berbeda terhadap suatu peristiwa atau isu. Mereka yang berada di pihak aparat, pribumi, atau penduduk nonpribumi memiliki ingatan dan cerita yang bervariasi tentang kerusuhan 1998. Cerita-cerita ini pun selalu terkait pada pihak-pihak berpengaruh yang berperan dalam membentuk wacana sosial.
Berbeda dari kisah sejarah utama yang terdokumentasi dengan rapi, memori kolektif mempunyai ragam keterbatasan. Seiring berjalannya waktu, kapasitas ingatan seseorang akan terpengaruh. Bahan utama memori kolektif dikumpulkan lewat tuturan para saksi, pelaku, atau korban dan penyintas.
Empat narasumber berbagi cerita mengenai prahara 19 tahun lampau. Keempatnya pelajar SMA, dua di antaranya meminta saya menyamarkan identitasnya.
“Mereka tidak lagi memandang gue seperti dulu”
Dito, bukan nama sebenarnya, masih kelas 2 SMA saat kerusuhan Mei 1998 pecah. Sejak 1997, Dito mengikuti perbincangan tentang politik di sekolahnya, yang terletak di bilangan Setiabudi. Segelintir informasi seputar cacat cela keluarga Cendana diaksesnya melalui selebaran-selebaran yang hanya dapat dibaca diam-diam.
“Waktu itu gue inget betul baca cerita soal keluarga Suharto dari print out temen gue, masih zamannya printer dot matrix. Salah satu tulisan yang beredar waktu itu dibuat George Aditjondro,” jabarnya.
Pada minggu kedua Mei 1998, Dito berkisah bahwa demonstrasi telah berlangsung di mana-mana. Ia mengetahui hal itu karena kakaknya tergabung dalam tim medis demonstrasi mahasiswa UI. Selain itu, ia menyaksikan di televisi terjadi protes mahasiswa terhadap pemerintah dan pembakaran sebuah pom bensin di Grogol.
Pada 12 dan 13 Mei, Dito dan para siswa lain masih masuk sekolah seperti biasa, hanya saja mereka diimbau pihak sekolah untuk tidak berkeliaran seusai jam pelajaran. Dua hari setelah Tragedi Trisakti, para siswa dipulangkan cepat, sekitar pukul 10.00. Hari itu Dito dapat menyaksikan asap telah mengepul dari arah utara sekolahnya.
Karena tidak ada kendaraan yang bisa ditumpangi untuk pulang, Dito dan seorang kawannya berjalan kaki dari sekolah ke arah Universitas Atma Jaya. Daerah sekitar Chase Plaza, Sudirman, yang biasanya ramai kendaraan, kontan lengang. Sesampainya di depan kampus, Dito melihat orang-orang tumpah di jalanan.
“Pegawai-pegawai kantoran yang literally masih pakai dasi turun ke jalan. Ada juga satu bus yang ngangkut anak-anak Boedoet yang mau demo. Gue bisa tahu itu anak Boedoet karena gue lihat badge-nya dan lihat rute bus yang ngangkut mereka, dari Senen.
"Gue saat itu ditanyain anak SMA mana dan mau ke mana, lantas diajakin buat ikutan mereka demo. Karena gue nggak dapet kendaraan pulang juga, akhirnya gue dan temen gue bergabung sama anak-anak Boedoet,” kenang laki-laki yang kini berprofesi sebagai fotografer lepas itu.
Di depan Komdak, Dito melihat aparat keamanan memadati jalan. Pembatas antara massa dan polisi adalah jembatan layang Semanggi. Setiap massa berupaya maju, polisi menembaki mereka dengan peluru karet.
“Gue sempet keserempet peluru, tapi untungnya tas gue yang kena. Itu pun gue ngeh pas ngeliat tali tas gue tiba-tiba putus, padahal enggak tarik-tarikan,” ujar Dito.
“Gue juga inget, betapa membaurnya kami waktu itu. Gue yang anak sekolah, gabung sama karyawan dan mahasiswa. Enggak pandang etnis, karena saat itu gue bersisian sama orang-orang Tionghoa di barisan. Ada juga yang berdoa dengan cara Kristen pas demo.”
Selepas demonstrasi pada 14 Mei 1998 itu, Dito mendapat kabar dari ayahnya bahwa salah satu gereja di Grogol, tempat keluarganya beribadah, dibakar. Pendeta dan jemaat lain selamat karena tengah mengikuti acara di Madiun, Jawa Timur.
Saat kondisi lebih kondusif pada 17 Mei, ayah Dito menawarkan pengurus gereja untuk memindahkan kegiatan sementara ke kantornya di Bidakara. Pada pertemuan pertama pasca kerusuhan, Dito menyadari beberapa teman gerejanya "menghilang".
Ada yang kabur ke luar negeri, ada yang sampai saat ini tidak jelas keberadaannya. Saat menelusuri ke beberapa tempat tinggal jemaat pun Dito mendapati rumah-rumah mereka sudah jadi puing.
Pada 21 Mei Soeharto mengumumkan "berhenti" dari jabatannya sebagai presiden.
Dito dan sejumlah jemaat, yang saat itu baru selesai memperingati Kenaikan Isa Almasih, sebenarnya ingin bersorak, tetapi urung lantaran dibalut trauma atas kerusuhan beberapa hari sebelumnya.
Apa yang bikin Dito sedih adalah kenyataan pasca-Mei 1998 itu seakan tercipta batasan tak kasatmata antara jemaat pribumi seperti dirinya dan jemaat keturunan Tionghoa.
“Meskipun seiman, gue merasakan gap itu. Mereka yang biasanya nongkrong bareng jadi enggak terbuka lagi sama kami (pribumi). Gue sebenarnya mau membicarakan soal kerusuhan itu dan kalau bisa membantu mereka, tapi kedua belah pihak sama-sama resisten.
"Kami punya kesedihan yang enggak bisa ditangiskan. Gue dan kawan-kawan juga ngerasa tertampar waktu ngeliat toko dan rumah-rumah ditulisin “Pribumi, Muslim”. Makin mempertegas perbedaan gue sebagai pribumi dan temen-temen gue yang Tionghoa.”
"Mulai dibangun pagar tinggi"
Cerita lain datang dari Gietty, yang menuturkan keluarganya sempat menampung dua orang korban salah sasaran penyerangan massa. Saat itu hari ulangtahun ayahnya. Keluarga hendak merayakannya di rumah. Mereka tinggal di daerah Otto Iskandardinata, Jakarta Timur.
Tiba-tiba ada warga yang datang ke rumah dan melapor kepada ayahnya, yang saat itu menjabat ketua RT. Ia mendengar ada amuk massa. Ada dua anak sekolah dari Matraman yang jadi sasaran. Warga, kata Gietty, meminta ayahnya untuk menampung dan mengamankan dua anak sekolah itu. "Ayah saya pun setuju,” ujar Gietty.
Keluarga Gietty semula menyangka kedua korban penyerangan adalah keturunan Tionghoa. Namun, salah satu korban berkata ia adalah keturunan Padang, dan ia diserang hanya karena penampilan fisiknya menyerupai orang Tionghoa.
Cerita lain dituturkan Mirna, perempuan keturunan Tionghoa dan teman satu sekolah Gietty. Ia baru saja beranjak pulang dari sekolah di daerah Lapangan Banteng menuju rumahnya di bilangan Kedoya Utara. Seperti hari biasa, Mirna menumpangi bus Koantas Bima ketika huru-hara terjadi.
“Biasanya, bus yang saya naiki memutar balik di dekat lampu merah Grogol, tapi hari itu dia putar balik enggak jauh dari RS Sumber Waras. Saya nggak begitu memperhatikan jalan, hanya siap-siap untuk turun..."
Baru saja ia menjejakkan satu kaki, ia menengok ke belakang dan melihat orang-orang berlari ke arahnya. Ia tak sadar atas apa yang tengah meledak di Jakarta. Kondektur cepat menariknya kembali ke dalam bus. Pintu bus ditutup dan dikunci. Ini menandakan bahaya. Mirna memperhatikan sekitar. Sebuah plaza di sebelah rumah sakit dijarah. Orang-orang keluar membawa barang-barang. "Bus membawa saya kembali ke sekolah,” ujarnya.
Setiba di sekolah, Mirna memutuskan memanggil taksi untuk pulang. Sopir taksi berkata supaya ia duduk di tengah, "jangan dekat jendela," tambahnya.
Selama perjalanan, Mirna hanya mengingat dua hal. Di Jalan Panjang, seorang pengendara motor bersama perempuan yang dibonceng, keduanya etnis Tionghoa, ditarik dan dikerumuni di tengah jalan. Si pengendara dipukuli ramai-ramai. Peristiwa kedua saat ia melihat seorang laki-laki digantung di besi pagoda pintu kompleks di sebelah perumahan orangtuanya.
Ketakutan, keluarga Mirna mengosongkan tangki penampungan air. Itu untuk tempat bersembunyi jika massa menyerang kompleks perumahannya. Setelah peristiwa Mei 1998, di daerah perumahannya, mulai dibangun pagar-pagar tinggi.
"Tinggal puing..."
Tania, bukan nama sebenarnya, saat itu kelas 2 SMA, diminta tetap tinggal di lantai paling atas sekolahnya, setelah mendengar kabar akan ada serangan massa. Kabar itu merebak setelah pom bensin di Grogol, dekat sekolahnya, dibakar pada 13 Mei 1998.
Para siswa diminta oleh para guru untuk tidak memperlihatkan diri dari jendela sekolah. Selama lima jam mereka bertahan di sekolah. Barulah, menjelang magrib, para siswa diperbolehkan pulang.
Kondisi sepi saat itu. Tania, yang berumah di Jelambar, diantarkan oleh wali kelasnya dengan sepeda motor. Ia diminta untuk menutupi wajah dengan sapu tangan, memakai jaket, dan helm. Intinya, sebisa mungkin mengaburkan ciri fisiknya sebagai perempuan Tionghoa. Mereka memilih jalan-jalan tikus untuk menghindari massa.
Namun, di tengah jalan, mereka dicegat beberapa orang.
Sang wali kelas mengatakan bahwa dia bukan orang Tionghoa; bahwa orang yang dibonceng adalah saudaranya. "Jangan ganggu-ganggu!" kata wali kelas. Mereka dilepaskan. Tania selamat sampai rumah.
"Wali kelas saya berpesan untuk menghubunginya kalau ada ancaman apa pun,” ujarnya, sebelum pamit.
Keadaan di Jakarta semakin kaos. Sejak Tragedi Trisakti, warga di lingkungan perumahan Tania berjaga bermalam-malam termasuk ia yang seorang siswi. Mereka mematikan lampu. Mereka memukul tiang listrik biar tetap waspada. Mereka membentuk barikade di jalan dengan meja, kursi, karung berisi tanah, dan menyiapkan bom molotov dan senjata tajam.
Tania melihat "orang asing" melintas di depan perumahannya, sebagian membawa barang jarahan. Salah seorang itu mengancamnya, secara fisik maupun seksual, dan merendahkan martabat dirinya sebagai manusia.
Pada 14 Mei, Tania mendengar sebuah kompleks perumahan dibakar di dekat permukimannya. Itu bikin ia kalut. “Saya bisa dengar suara ledakan dan orang-orang berteriak-teriak sampai jam 11 malam," ujarnya. Ia mendengar suara helikopter dan tembakan.
Saat hari beranjak terang, ia naik ke genting rumah. Ia melihat sekeliling lingkungan terdekat dipenuhi asap.
Tania, bersama ibu dan saudaranya, memutuskan mengemasi nyawa menuju bandara, menyelamatkan diri ke luar kota. Tania sudah diangkut ke dalam mobil boks. Mereka membekali diri dengan banyak uang. Mereka akan menyebar uang bila ada ancaman mobil bakal dibakar di jalan, sebagaimana saran dari warga perumahan. Tetapi di bilangan Daan Mogot, badan jalan sudah diblokade massa. Mereka putar balik ke rumah. Barulah, pada 17 Mei, rencana ke luar kota itu bisa dijalankan.
Ayah Tania, diingatkan oleh seorang warga, bisa selamat dari peristiwa menentukan pada 12 Mei. Saat itu ayah Tania hendak mengarah pulang dengan mengendarai mobil sendiri. Dalam perjalanan, ia melihat mobil di belakangnya sudah hangus dibakar massa, sementara pengendara mobil di depannya ditarik keluar. Menahan rasa gentar, ayah Tania didesak agar terus melaju, dilarang putar balik. Ia selamat.
Tania mengenang hari-hari selama sepekan yang dirasa sangat panjang pada Mei, 19 tahun lalu itu: Ia mendengar ruko temannya dibakar; ada teman perempuannya yang ditarik oleh lima laki-laki dan hampir diperkosa tetapi berhasil diselamatkan.
Belum lama setelah kerusuhan Mei 1998, Tania melintasi daerah Kota. Ia melihat banyak bangunan rata tanah. “Saya sempat melihat seorang kakek keturunan Tionghoa pakai singlet dan celana pendek terus-menerus berkata, ‘Ayo, ayo, datang ke toko saya.’ Padahal, toko di belakang tempat dia berdiri itu sudah tinggal puing-puing...”
Tania selalu getir mengenang salah satu kejadian paling mengerikan dalam kehidupannya itu. Ia bahkan trauma. Kecemasan sering menyusup saat ia melihat kebakaran atau mendengar suara helikopter dan suara tembakan.
Mirna, penyintas lain, mengutarakan kerentanannya sebagai seorang orang etnis Tionghoa, minoritas yang acap jadi sasaran termudah setiap terjadi gelombang perubahan politik di negeri ini, sejak era kolonial hingga era reformasi.
“Jangankan dikaitkan dengan Mei 1998," tuturnya. "Saya ke pasar saja, orang-orang masih tanpa sebab berbisik dan mengatai saya Cina dengan nada mencemooh.”
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Fahri Salam