tirto.id - Ketika lengser pada 1998, rezim Orde Baru meninggalkan sebagian warisan otoritarianisme yang masih bertahan: kapitalisme kroni, militerisme, serta sektarianisme agama dan etnis. Namun, pengaruh rezim ternyata melampaui batas-batas negara. Untuk memperpanjang napas kekuasaan, pada 1990-an, junta militer Myanmar berguru kepada Soeharto.
Relasi Myanmar dan Indonesia sempat menjadi sorotan wartawan dan aktivis pro-demokrasi di Indonesia menjelang kejatuhan Soeharto.
Dalam laporan bertajuk “Love at first sight: SLORC meets ABRI” yang terbit di Inside Indonesia pada 1997, jurnalis Andreas Harsono memaparkan bagaimana surat kabar pemerintah Myanmar membingkai relasi diplomatik Indonesia-Myanmar sebagai dua bangsa bernasib sama.
“Tak ada negara lain yang lebih dekat dengan rezim (militer Myanmar) ketimbang Indonesia,” kata seorang diplomat senior di Yangon. “Di mata para jenderal Myanmar, Indonesia sudah seperti 'abang’,” demikian sang diplomat.
Hubungan diplomatik kedua negara meningkat sejak sekitar tahun 1993. Dalam sebuah lawatan ke Jakarta, seorang jenderal dikabarkan menyatakan keinginannya mempelajari tiga pijakan resmi negara yang menjadi alat legitimasi kekuasaan Orde Baru: Pancasila, UUD 1945, dan Dwifungsi ABRI.
Konsep "dwifungsi" menempatkan militer dalam kapasitasnya sebagai unit pertahanan sekaligus penyelenggara pemerintahan. Di mata para perwira militer kedua negara, kepemimpinan sipil selalu korup, kacau, dan tak becus berurusan dengan pemberontakan di daerah. Tak hanya itu, salah satu legitimasi militer Indonesia dan Myanmar untuk memerintah berpijak pada klaim bahwa militer adalah pihak paling berjasa dalam perjuangan kemerdekaan.
Dalam artikel itu disebutkan, kepala intelijen Myanmar Letnan Jenderal Khin Nyunt memberi sinyal bahwa Tatmadaw (militer Myanmar) akan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sipil setelah konstitusi baru disusun. SLORC (State Law and Order Restoration Council), nama resmi pemerintahan junta militer Myanmar, terbentuk pasca protes besar 1988 yang menuntut mundurnya Ne Win, diktator militer yang naik lewat kudeta pada 1962 dan menjalankan ekonomi terpimpin a la Soviet.
Namun, SLORC bukan pemerintahan demokratis yang membawa mandat para pemrotes. Sebaliknya, ia adalah klik militer dalam pemerintahan Ne Win yang tak kalah brutal dan membunuh sekitar 10 ribu orang yang turun ke jalan hari-hari itu.
Pada 2008, militer Myanmar menyusun konstitusi baru yang kemudian disepakati melalui proses referendum. Dua puluh lima persen kursi di parlemen khusus disediakan untuk militer, sebagaimana militer Indonesia dulu diwakili Fraksi ABRI di DPR.
Koneksi ASEAN
Dalam laporan Andreas Harsono lain berjudul “Suharto's Myanmar Trip Could Spark Militarism, Warns Opposition Leader”, yang dirilis The Nation pada 22 Februari 1997, aktivis Sri-Bintang Pamungkas menyatakan Soeharto sedang cari teman untuk membenarkan praktik-praktik otoriter di Indonesia. “Langkah Soeharto sangat berbahaya … Dia bakal mengubah ASEAN jadi jadi blok fasis militer,” demikian Sri-Bintang.
Motif hubungan peningkatan hubungan kedua negara juga mengambil konteks politik regional pada saat itu: wacana masuknya Laos, Kamboja, dan Myanmar ke dalam ASEAN.
Bonar Tigor Naipospos, saat itu aktivis Pijar, mengatakan Myanmar membutuhkan ASEAN yang bisa memberinya dukungan di forum-forum internasional; dan sebaliknya Indonesia memerlukan basis dukungan yang lebih luas dari negara-negara Asia Tenggara terkait masalah Timor Timur.
Hal senada dikemukakan ilmuwan politik George Junus Aditjondro. Dalam “The Suharto regime and the Burmese military junta”, artikel yang ditulis selama pengasingannya di Australia dan terbit pada 2 Juli 1997, Aditjondro menyatakan bahwa “masuknya suatu rezim militer yang lebih brutal ke dalam blok regional ini (ASEAN) ikut menutupi reputasi Soeharto dalam pelanggaran hak-hak orang Timor Lorosa'e, Papua Barat, Dayak, Aceh dan lainnya. Soeharto bisa memanfaatkan ASEAN secara lebih efektif sebagai ‘perisai’ di forum-forum politik internasional.”
Bisnis Cendana di Myanmar
George Junus Aditjondro menyebutkan satu faktor lain dalam kedekatan Indonesia dan Myanmar: Kepentingan bisnis keluarga Cendana. Celah bisnis ini dilapangkan oleh hengkangnya perusahaan-perusahaan multinasional Barat, yang terancam diboikot oleh masyarakat di negeri asal mereka lantaran beroperasi di bawah rezim otoriter yang paling brutal.
Pada Agustus 1991, PT Indomiwon Citra Inti pertama kali mengekspor 70 ton monosodium glutamat ke Myanmar, Vietnam, dan Hong Kong. Perusahaan ini perusahaan patungan antara Miwon (Korea Selatan) dan PT Sambada Widyacita, yang tidak lain adalah bisnis patungan antara Bambang Trihatmodjo dan Anthony Salim, bos grup Salim. Dua anak Soeharto lain, Tutut dan Sigit, memiliki saham di kerajaan bisnis Salim.
Selain Tutut, Titiek (putri kedua Soeharto) pada waktu itu salah satu pemegang saham di PT Prima Comexindo Trading, yang dimiliki oleh Hashim Djojohadikusumo, adik dari mantan suaminya, Prabowo Subianto. Prima Comexindo Trading melakukan barter obat-obatan buatan Indonesia dengan produk-produk Myanmar.
Menurut laporan Aditjondro, Hutomo Mandala Putra alias Tommy menguasai 55% saham PT Bina Reksa Perdana, yang mengekspor bahan peledak untuk penambangan minyak di Myanmar. Pada akhir dasawarsa 1980-an, Tommy membeli Sempati Air yang membuka penerbangan langsung Jakarta-Yangon sejak 1991. PT Rante Mario, salah satu dari banyak perusahaan di bawah grup Humpuss milik Tommy, adalah perusahaan pertama keluarga Soeharto yang berinvestasi di Myanmar.
Pada 1993, perusahaan Bambang, PT Elektrindo Nusantara, memperluas operasinya ke negeri gajah putih. Elektrindo Nusantara menjadi mitra pemasok Angkatan Udara dan Departemen Luar Negeri Thailand. Pada 1997, perusahaan ini telah membangun jejaring telepon untuk 256 pelanggan di Yangon, ibukota Myanmar.
Pada 1996, Hashim Djojohadikusumo menandatangani nota kesepahaman dengan perusahaan negara Myanmar, Union of Myanmar Economic Holding Limited, untuk membangun pabrik semen dengan volume produksi 1 juta ton per tahun. Grup Tirtamas milik Hashim memegang 70% saham bisnis patungan senilai 210 juta dolar AS ini.
Selama kunjungan ke Myanmar pada 1997, Soeharto dan kepala junta militer Jenderal Than Swee menghadiri penandatanganan nota kesepahaman antara perusahaan negara Myanmar dan perusahaan klan Cendana.
Hubungan bisnis ini mengendur setelah Soeharto, di tengah desakan ribuan massa rakyat, mengumumkan berhenti dari jabatan presiden setahun kemudian.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Fahri Salam