tirto.id - Direktur Utama Perum Bulog, Wahyu Suparyono, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk pertama kali membocorkan bahwa Presiden Prabowo Subianto berencana mengambil alih komando perusahaan pelat merah tersebut. Menurutnya, Ke depan, Bulog akan bertanggung jawab langsung kepada presiden, bukan lagi kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti sekarang.
Berbekal rencana itu, Wahyu mengatakan tengah menyiapkan transformasi kelembagaan Bulog sembari menunggu terbitnya Keputusan Presiden (Keppres). Transformasi kelembagaan, menurutnya, adalah hal yang mutlak dilakukan karena selama ini baik kelembagaan maupun kerja Bulog masih didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perusahaan Umum (Perum) Bulog.
“Saya diminta oleh Pak Presiden Prabowo Subianto, kalau konkretnya persiapan transisi secara khusus, saya diperintahkan, 'Mas Wahyu, ubah transformasi kelembagaan Bulog. Kita akan kembali lagi 52 tahun seperti dulu.' Makanya di awal dilaporkan, saat ini Keppres sedang disusun oleh tim,” kata dia, dikutip dari akun YouTube TVR Parlemen, Senin (25/11/2024).
Pada kesempatan lain, eks Direktur Utama PT Asabri itu mengatakan transformasi kelembagaan dinilai akan lebih mendekatkan Bulog kepada petani. Dengan demikian, stabilisasi harga pangan melalui dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Nanti konsepnya itu kami dapat APBN. Dengan APBN itu sebagai stabilisasi, ya kami bisa langsung stabilisasi. Beli dari petani, beli dari petani gula, petani jagung. Ini memperkuat fungsi kami sebagai stabilisator,” jelas dia usai rapat koordinasi bidang pangan di Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Pangan, di Graha Mandiri, Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).
Meski begitu, dia mengakui untuk melakukan transformasi ini butuh waktu lama. Juga ada tantangan berupa potensi tumpang tindih tupoksi kerja dengan Badan Pangan Nasional (Bapanas).
“Nanti itu akan dibahas lebih lanjut. Kami hanya menyiapkan konsep, urgensinya, dan strukturnya untuk diusulkan ke presiden,” imbuh Wahyu.
Dalam proses transformasi, Bulog dipastikan masih akan menggunakan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) BUMN 2025. Dengan begitu, kendati Kepres rampung di tahun depan yang setelahnya dilanjut dengan masa transisi, Bulog tidak akan berhenti menyerap gabah dan beras petani.
“(Tupoksi sebagai) BUMN pangan tetap jalan, tapi tim transformasi nanti akan dibentuk dengan Keppres. Konsepnya sudah kami siapkan,” tegas Wahyu.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan, Zulkifli Hasan atau Zulhas, menjelaskan ketika transformasi terjadi, Bulog tidak akan lagi mengemban tugas komersial atau mencari keuntungan bagi perusahaan. Sebab, lembaga ini bakal dikhususkan untuk mencapai swasembada pangan yang ditargetkan bakal dicapai pada 2027, lebih ambisius dari target sebelumnya di tahun 2028.
“Untuk mencapai swasembada pangan, maka fungsi Bulog harus kembali, harus transformasi lembaganya, nggak bisa komersial lagi. Kalau komersial, nanti beli jagung rakyat, beli gabah itu kadang hitung-hitungan, Bulog ini untung apa rugi, kalau rugi diperiksa,” jelasnya.
Dari Orde Baru ke Perum Bulog
Mengutip perkataan Wahyu, jika tugas dan fungsi Bulog dikembalikan lagi ke 52 tahun yang lalu atau pada tahun 1972, artinya Bulog akan menjadi lembaga otonom langsung berada di bawah presiden.
Pada masa kepemimpinan Presiden ke-2, Soeharto, lembaga yang bernama Badan Usaha Logistik itu memang pernah menjelma sebagai elemen utama penunjang pemerintahan Orde Baru dan mendukung ketahanan negara. Bahkan, kala kelembagaan Bulog berada di bawah presiden, Indonesia sempat mencapai swasembada beras, tepatnya pada 1984 meskipun tidak bertahan lama.
Bagaimana tidak menjadi lembaga sakti dan strategis, Bulog di era Orde Baru bertugas untuk mengendalikan harga dan mengelola persediaan berbagai komoditas pangan, mulai dari beras, gula, gandum, terigu, dan masih banyak lainnya. Dengan tugas itu, ketika harga bahan pangan terlampau tinggi, Bulog akan segera turun tangan untuk menjadi stabilisator.
“Menurut purwadaksinya, Bulog adalah ‘alat negara’ yang bertugas menangani urusan logistik. Bulog dengan semangat melakukan pengadaan bahan pangan, kemudian menyalurkannya merupakan langkah strategis untuk menciptakan stabilisasi harga pangan dan menunjukkan keberpihakannya kepada petani,” kata Ketua Harian Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat, Entang Sastraatmadja, kepada Tirto, Senin (25/11/2024).
Keberpihakan tersebut terlihat dari serapan gabah dan beras petani oleh Badan Urusan Logistik di Era Orde Baru. Berdasar tulisan Achmad Dzaky Siradj dalam 70 tahun Achmad Tirtosudiro: Profil Prajurit Pengabdi (1992:216), pada 1966 badan logistik ini tak hanya mampu menyerap beras dari dalam negeri, tapi juga mengelola cadangan beras impor yang didatangkan Soeharto.
“Kolognas (Komando Logistik Nasional) selama tahun 1966 dapat membeli 640.000 ton beras dari dalam negeri dan 308.500 ton beras dari luar negeri,” tulis Achmad Dzaky Siradj.
Di sisi lain, 21 tahun sebagai Perum, Bulog yang diubah kelembagaannya menjadi perusahaan pelat merah kehilangan tajinya. Hasrat untuk menampilkan Perum Bulog menjadi raksasa bisnis pangan pun sulit diwujudkan. Justru yang menonjol adalah peran sosialnya sebagai operator pangan yang menjalankan penugasan dari pemerintah.
Sebagai contoh, sepanjang 2024, berdasar Surat Kepala Bapanas Nomor 55/TS.02.02/K/12/2023 perihal Penugasan SPHP Beras Tahun Pelaksanaan SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) Beras di Tingkat Konsumen tahun 2024, Bulog ditarget menyalurkan beras sebanyak 1,2 juta ton. Sementara pada tahun 2023, menurut data Bapanas, Bulog menyalurkan beras sebanyak 2,6-2,8 juta ton atau hampir tiga kali lipat yang disalurkan tahun 2022.
“Sejak Perum Bulog dilahirkan tahun 2003, kita belum menyaksikan kisah sukses Perum Bulog dalam menggarap usaha yang dikelolanya. Lebih banyak gagal ketimbang yang sukses,” sambung Entang.
Belum lagi, Bulog juga mendapat penugasan impor beras dari pemerintah untuk menjaga pasokan beras, di mana pada tahun ini target impor beras oleh Bulog mencapai 3,6 juta ton. Angka ini mengalami penaikan dibanding tahun 2023 yang terealisasi sebanyak 3,5 juta ton.
Dari sisi bisnis, mengutip laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit, Bulog membukukan pendapatan sebesar 46,07 triliun pada 2023, naik dari tahun sebelumnya senilai Rp26,44 triliun. Selain itu, perusahaan juga melaporkan laba sebesar Rp856,33 miliar yang diatribusikan kepada entitas induk, nilai ini juga melonjak dari laba Rp370,47 miliar di tahun 2022.
Meski begitu, Direktur Keuangan Bulog, Iryanto Hutagaol, mengakui bahwa sampai saat ini perusahaan masih memiliki kewajiban kepada bank sebesar Rp12 triliun yang belum diselesaikan. Menurutnya, utang itu digunakan oleh Bulog untuk membiayai penyerapan beras lokal dan juga Operasi Pasar dalam rangka SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan).
“Atas gambaran demikian, cukup masuk akal jika Presiden Prabowo memiliki keinginan agar Perum Bulog segera melepaskan diri sebagai perusahaan plat merah dan menjadi lembaga otonom di bawah kendali presiden,” ujar Entang.
Di sisi lain, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, ElizaMardian, menilai akan ada untung rugi di balik bentuk kelembangaanBulog, baik sebagai perum seperti sekarang atau langsung di bawah presiden seperti pada masa Orde Baru.Pada era Soeharto, Bulog memang efektif dalam menjaga stabilisasi harga pangan karena lembaga itu memiliki kewenangan penuh. Pada saat yang sama, buffer stock (stok penyangga) nasional lebih terkendali pada masa itu.
Alhasil, meski harus mengelola 9 komoditas pangan, didukung dengan sistem distribusi yang terkoordinasi dari pusat hingga daerah, menjadikan Bulog lebih mudah untuk melakukan stabilisasi harga pangan. Kemampuan intervensi pasar yang kuat inilah yang kemudian menciptakan jaring pengaman pangan lebih efektif dibanding sistem fragmentasi saat ini.
“Meski demikian ada kontranya pengelolaan Bulog di era Soeharto. Sistem Bulog era Soeharto menyimpan permasalahan struktural yang serius. Sistem monopoli yang diterapkan justru menciptakan inefisiensi pasar. Praktik pengadaan dan distribusi yang tertutup dan kurang transparan ini malah membuka celah lebar bagi praktik KKN,” jelas Eliza kepada Tirto, Senin (25/11/2024).
Salah satu kasus korupsi besar di tubuh Bulog dilakukan oleh Kepala Depot Logistik (Dolog) Kalimantan Timur, Budiadji, yang terungkap pada 1976. Atas manipulasi laporan neraca Dolog (Depot Logistik), Budiadji yang dijatuhi hukuman 20 tahun penjara itu telah merugikan negara hingga Rp7,6 miliar, angka yang fantastis di era 1970-an.
Selain itu, jaringan rent-seeking (pemburu rente) yang dibangun Bulog pada saat itu malah hanya menguntungkan segelintir pihak. Efisiensi yang didamkan dari pembentukan jaringan ini praktis tak terjadi, dan justru menciptakan biaya tinggi yang pada akhirnya membebani keuangan negara secara signifikan.
“Sistem ini pada akhirnya menciptakan paradoks stabilitas semu yang dibayar mahal dengan inefisiensi dan ketergantungan terhadap pendanaan negara,” lanjut Eliza.
Berbagai momok inilah yang kemudian membuat pemerintah mengubah kelembagaan Bulog menjadi perum pada tahun 2003. Sebagai perusahaan pelat merah, tata kelola Bulog memang menjadi lebih profesional. Juga akuntabilitas perusahaan jadi lebih terukur. Keterbukaan informasi kepada entitas pengendali, yakni Kementerian BUMN membuat lembaga ini mampu mengurangi celah KKN.
“Hanya saja kekurangannya adalah dalam hal kemampuan stabilisasi harga ini menjadi lebih terbatas. Terlebih lagi setelah berubah menjadi perum hanya beberapa komoditas saja seperti beras, jagung, minyak, gula. Kerap kali respons Bulog kurang optimal karena harus menunggu dulu penugasan dan keterbatasan pendanaan,” ujarnya.
Selama di bawah Kementerian BUMN, kerja Bulog dalam menyerap produksi gabah dan beras petani pun tak optimal seiring dengan kehadiran regulasi dan tuntutan bagi lembaga tersebut untuk mendulang untung.
Bahkan, untuk menjaga aliran modal (cashflow), manajemen Bulog sempat berencana meningkatkan proporsi komersial menjadi 50 persen, dari yang sebelumnya hanya 20 persen. Dengan rencana ini, perusahaan diharapkan bisa jadi lebih mandiri dan tidak berpangku tangan pada penugasan pemerintah saja untuk menjaga ketercakupan modal.
“Tapi jadinya Bulog nggak maksimal nyerap gabah petani karena Bulog terpecah fokusnya untuk pengembangan hal komersial. Dengan adanya perubahan jadi lembaga pemerintah non k/l, Bulog dapat fokus dalam menyerap gabah petani dan bisa menjalankan fungsinya dengan maksimal tanpa harus ada tuntutan mencari keuntungan,” imbuh Eliza.
Bulog Harus Transparan dan Akuntabel
Namun, nantinya pemerintah harus siap menghadapi tantangan untuk menemukan keseimbangan optimal antara peran negara dalam menjamin ketahanan pangan, dan ruang bagi mekanisme pasar untuk beroperasi secara efisien dan tidak menjadi bancakan segelintir elite. Seperti yang pernah terjadi sebelumnya di masa Orde Baru. Apalagi, untuk menciptakan efisiensi jangka panjang dibutuhkan dinamika pasar yang sehat.
Dibandingkan transformasi kelembagaan Bulog menjadi di bawah presiden, akan lebih penting bagi pemerintah menemukan model baru yang bisa mengombinasikan efisiensi operasional Bulog di era modern dengan kapasitas stabilisasi yang menjadi keunggulannya era Soeharto. Hal ini jelas harus didukung pula dengan transparansi dan akuntabilitas sebagai prasyarat tata kelola yang baik.
“Transformasi ini bukan sekadar perubahan struktur, melainkan pembaruan fundamental dalam cara Bulog beroperasi. Bulog harus tangkas, efisien, namun tetap mampu menjaga stabilitas harga pangan, bahkan mendukung menuju swasembada pangan,” tegas Eliza.
Di saat yang sama, kata dia, Bulog juga harus mampu memutus rantai pasok swasembada pangan yang cenderung panjang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara Bulog langsung turun menyerap beras petani dan menjualnya langsung ke masyarakat melalui Operasi Pasar.
“Itulah model Bulog yang kita butuhkan untuk menghadapi tantangan pangan saat ini,” ucapnya.
Sementara itu, menurut Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politk Indonesia (AEPI), Khudori, perubahan kelembagaan Bulog akan membuat Bulog terombang-ambing dalam ketidakpastian. Ini pun bakal berdampak pada para pekerjanya, khususnya yang ada di level lapangan.
Di sisi lain, dia melihat niat Prabowo untuk mengubah kelembagaan Bulog hampir mirip dengan eks mertuanya, Soeharto, yakni memastikan logistik untuk rakyat, buat militer. Dengan kecukupan pasokan beras, kondisi sosial politik Indonesia bakal terjaga.
“Saat itu Pak Harto segera mengubah Kolognas jadi Bulog. Pak Harto terang-terangan bilang Bulog dan beras adalah sandaran politik terakhir dia. Jika beras yang dikelola Bulog ada dalam jumlah cukup dan terjangkau harganya oleh rakyat, ia yakin kondisi sosial politik akan aman. Mungkin itu salah satu alasannya,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (25/11/2024).
Kendati untuk punya kontrol langsung, kata dia, presiden tak harus membawahi Bulog langsung. Tanpa mengubah kelembagaan Bulog, Prabowo bisa saja menugaskan direksi Bulog untuk melaporkan kinerja perusahaan secara rutin padanya. Atau, direksi Bulog bisa saja dijadikan bagian dari anggota rapat kabinet seperti di era Orde Baru.
“Dengan begitu Presiden tahu setiap perkembangan yang ada. Demikian pula direksi Bulog bisa langsung bertindak dan merespons apa yang berkembang dan diputuskan di rapat kabinet,” imbuhnya.
Menurutnya, alih-alih perubahan kelembagaan, yang dibutuhkan Bulog sebetulnya adalah penguatan regulasi. Pertama, mengintegrasikan kebijakan, terutama beras, yang terbuka di hilir menjadi terintegrasi lagi di hulu-tengah-hilir.
“Kebijakan tak terintegrasi setelah Raskin/Rastra diubah jadi bantuan pangan nontunai (BNPT) sehingga Bulog tak lagi memiliki saluran/outlet pasti beras di hilir,” kata Khudori.
Sebagai komoditas yang tak tahan lama, beras akan berpotensi turun mutu atau bahkan rusak jika melebihi umur simpan. Hal inilah yang membuat keberadaan outlet penyaluran di hilir untuk memastikan beras yang diserap Bulog itu bisa berputar cepat penting. Sementara itu, dengan mengintegrasikan kembali kebijakan perbesaran bisa dilakukan dengan mewajibkan Bulog untuk memasok beras bagi penerima BPNT.
“Tinggal ditentukan berapa besar kebutuhan penyalurannya. Idealnya antara 1,5-2,0 juta ton. Sisanya, Bulog bisa menyalurkan lewat berbagai keperluan,” imbuh dia.
Sebaliknya, jika status perum dihapuskan dari tubuh Bulog, Khudori khawatir Bulog justru tidak bisa lagi mendapatkan penugasan untuk menjadi operator pengelolaan komoditas pangan yang jadi obyek cadangan pangan pemerintah.
Baik dalam pengadaan (dari pembelian dalam negeri maupun impor), pengelolaan (pemeliharaan dan distribusi ke seluruh wilayah), dan penyaluran (untuk berbagai keperluan, baik operasi pasar, bantuan bencana atau kebutuhan darurat dan penyaluran ke masyarakat miskin seperti bantuan sosial).
Padahal, perubahan dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perum pada 2003 adalah hasil kajian mendalam, yakni agar Bulog tetap bisa melakukan tugas-tugas pelayanan publik hingga ke daerah.
“Terus terang kita yang di luar dan jauh hanya bisa menebak-nebak transformasi seperti apa yang dikehendaki Presiden Prabowo Subianto dan diemban oleh Dirut Bulog, Wahyu Suparyono. Bulog saat ini adalah BUMN berbentuk perum,” pungkanya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi