Menuju konten utama

Korupsi Bulog Tahun 1970-an yang Merugikan Negara Miliaran Rupiah

Oktober 1976, kasus korupsi di tubuh Bulog yang merugikan negara sebesar Rp7,6 Miliar terbongkar.

Korupsi Bulog Tahun 1970-an yang Merugikan Negara Miliaran Rupiah
Pekerja mengangkut karung berisi beras di Gudang Perum Bulog Divre DKI Jakarta dan Banten, Kelapa Gading, Jakarta, Kamis (5/12/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/hp.

tirto.id - Pada tahun 1976, Depot Logistik (Dolog) Kalimantan Timur mendapat pujian sebagai Dolog yang paling rapi dan tertib. Namun, gaya hidup boros Budiadji sebagai Kepala Dolog Kaltim membuat curiga Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Brigadir Jenderal Bustanil Arifin.

“Ini saya rasakan sendiri ketika meresmikan Gudang Dolog Kaltim tahun lalu,” kata Bustanil seperti dilansir Tempo (04/12/1976).

“Semua penumpang pesawat dari Samarinda ke Balikpapan dibayari Budiadji,” imbuhnya.

Budiadji kerap memberi pelayanan istimewa kepada para pejabat. Selain itu, sebagaimana dilaporkan Tempo (11/12/1976), ia juga lebih sering tinggal di Jakarta daripada di wilayah penugasannya. Budiadji yang menyukai olahraga terbang ini mampu menerbangkan pesawat bermesin tunggal. Ia kerap pergi dari Jakarta ke Balikpapan pada pukul tujuh pagi, dan sore kembali ke Jakarta pada hari yang sama.

Kegemarannya ini pernah membuat jengkel Sekretaris Militer Presiden, Letnan Jenderal Tjokropanonolo. Suatu kali, ketika Tjokropanonolo menunggu Presiden daripada Soeharto di Bandara Temindung, Samarinda, sebuah helikopter turun. Ketika siap-siap memberi hormat kepada presiden, yang muncul ternyata Budiadji.

Menurut laporan Sinar Harapan (03/12/1976) dan Tempo (11/12/1976), Budiadji punya rumah mewah di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Lama, dan di Simprug, Kebayoran Baru. Rumah itu kemudian disita oleh Bank Duta Ekonomi karena ia terlilit banyak utang. Rumahnya yang lain pun disegel.

Selain aset tak bergerak, ia juga memiliki saham di Hotel Lamin Indah, Samarinda; Salon Niniek di Kebayoran baru; dan di PT Oryza Sativa. Berkat pelayanannya kepada para pejabat, Budiadji menjadi salah satu orang kuat di Kalimantan Timur.

Ketika Tempo menyusun laporan kasus korupsi Budiadji, orang lapangan yang mengorek data tersebut adalah koresponden Tempo Samarinda yang bernama Dahlan Iskan.

Terbongkar dan Terpuruk

Skandal Budiadji terbongkar pada Oktober 1976, ketika Bulog mengumpulkan neraca Dolog se-Indonesia. Setelah dicocokkan dengan neraca yang dikirim ke Bank Indonesia, terdapat selisih sebesar Rp 8 miliar. Hal ini janggal, sebab biasanya selisih hanya sekitar Rp 2 miliar, itu pun karena ada Dolog yang telat setor laporan.

Mula-mula pemeriksaan dilakukan terhadap Dolog kelas A seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Hasilnya tidak ada keterlambatan laporan dari Dolog-Dolog tersebut. Salah seorang anggota tim pemeriksa kemudian menaruh curiga terhadap gaya hidup mewah Budiadji--Kepala Dolog kelas B--sebagai sumber selisih tersebut.

Maka pejabat Bank Indonesia Kaltim pun ditugasi memeriksa dokumen Dolog yang dipimpin oleh Budiadji. Ternyata ditemukan manipulasi berupa tanda tangan palsu pejabat bank atas sejumlah kertas dokumen. Akhirnya diketahui bahwa Budiadji melatih bawahannya yang bernama Purwadi selaku akuntan Dolog Kaltim dalam membuat tanda tangan palsu tersebut.

Drs. Makka Malik, Kepala Sub Dolog Samarinda, adalah staf Budiadji yang mula-mula berkeras enggan mengaku bersalah. Selain Makka Malik, Kepala Sub Dolog Tarakan, Tjik Nang, juga kena garuk.

Kasus korupsi ini membuat karier Budiadji hancur. Ia diseret ke Pengadilan Negeri Balikpapan karena dinilai merugikan negara sekitar Rp 7,6 milyar, angka yang fantastis di era 1970-an.

Bertindak sebgai penasihat hukum Budiadji adalah Sunarto Surodibroto, mantan Ketua Peradin Jakarta. Usia Budiadji 40 tahun saat ia divonis penjara seumur hidup. Namun, berkat grasi Presiden daripada Soeharto, hukumannya berubah menjadi 20 tahun penjara. Dan setelah berkali-kali mendapat remisi, ia pun bebas pada pertengahan 1985.

Infografik Skandal Budiadji di Bulog

Infografik Skandal Budiadji di Bulog. tirto.id/Sabit

Asal-usul Bulog

Kelakuan Budiadji tentu saja membuat repot Bustanil Arifin sebagai Kabulog. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus tersebut. Di hadapan wartawan, seperti dicatat dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984:82), ia mengatakan, "Tak ada Kadolog yang berani menservis saya.”

Nyatanya, Bustanil memang baik-baik saja. Ia bahkan menjadi Kepala Bulog terlama dalam sejarah Orde Baru. Selain itu, ia pun merangkap jabatan sebagai Menteri Koperasi pada periode yang sama.

Menurut Fahkri Ali dan kawan-kawan dalam Beras, Koperasi, dan Politik Orde Baru: Bustanil Arifin 70 Tahun (1996:146), Bustanil menjadi Kepala Bulog sejak 3 Juni 1973, menggantikan Ahmad Tirtosudiro.

Urusan logistik mulanya ditangani oleh Badan Pelaksana Urusan Pangan (BPUP). Lalu digantikan oleh Komando Logistik Nasional (Kolagnas) yang terbentuk pada 23 April 1966. Lembaga tersebut dibentuk berdasarkan Keputusan Presidium Ampera nomor 87 tahun 1966. Kolagnas tak berumur Panjang. Pada 10 Mei 1967, berdasarkan Keppres Nomor 272 Tahun 1967, Kolagnas digantikan Bulog.

“Kolognas selama tahun 1966 dapat membeli 640.000 ton beras dari dalam negeri dan 308.500 ton beras dari luar negeri,” tulis Achmad Dzaky Siradj dalam 70 tahun Achmad Tirtosudiro: Profil Prajurit Pengabdi (1992:216).

Semua tahu Bulog adalah wilayah basah, hingga orang macam Budiadji terpeleset menuju penjara.

Baca juga artikel terkait KORUPSI BULOG atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Hukum
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh