Menuju konten utama

Kepresidenan Habibie: Pemilu, Isu Kudeta, dan Harta Cendana

Dua pilihan yang dihadapi Presiden Habibie yang sama-sama berisiko: agenda politik atau mengatasi keadaan ekonomi.

Kepresidenan Habibie: Pemilu, Isu Kudeta, dan Harta Cendana
Presiden ke-3 RI B.J. Habibie menunjukkan buku biografi tentang masa mudanya disaksikan Presiden Joko Widodo usai bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (13/10). Habibie bertemu Jokowi untuk bersilaturahmi dan berdiskusi tentang sejumlah permasalahan bangsa. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/nz/15.

tirto.id - “Saya menyadari tugas ini sangat berat,” kata B.J. Habibie di Istana Merdeka. “Oleh karena itu, agar tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil, maka dukungan sepenuhnya dari seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan.”

Sebagaimana halaman utama Republika edisi 22 Mei 1998, “Presiden BJ Habibie: Saya Membuka Diri Bagi Kritik”, Habibie kembali mengulang pernyataan meminta dukungan masyarakat buat menjalankan pemerintahan. “Agar waktu yang sangat terbatas ini dapat digunakan secara efektif dalam rangka penyelesaian krisis yang sedang dihadapi.”

Petikan pernyataan itu adalah pidato pertama Habibie, setelah selama sepuluh jam dilantik sebagai presiden menggantikan Soeharto, yang dibacakan sepuluh menit dan disiarkan langsung oleh TVRI pukul 19.30 dari Istana Merdeka, 21 Mei 1998.

Jumat, 22 Mei 1998, Habibie langsung mengumumkan kabinet baru bernama “Kabinet Reformasi Pembangunan”. Ia menganggap komposisi 36 menteri yang dilantik adalah “cerminan dari tuntutan mahasiswa,” yang sejak aksi demonstrasi pada awal Mei '98 menuntut reformasi politik, ekonomi, dan hukum secara menyeluruh.

Dua hari setelah Soeharto berhenti, desakan agenda reformasi untuk menggelar Sidang Istimewa MPR segera dijalankan. Tuntutannya: pemilihan umum “yang jujur dan bersih” cepat dilakukan, selambat-lambatnya enam sampai setahun setelah pelantikan presiden Habibie.

Amien Rais, saat itu Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhamdiyah yang namanya mencuat di panggung politik pasca-Soeharto, mengatakan bahwa Habibie “tidak akan menjadi presiden sampai 2003; hanya mengantarkan roda reformasi dan setelahnya akan turun.”

Amien menemui Habibie, empat jam setelah pelantikan presiden, bersama para tokoh lain seperti Emil Salim, Rudini, Adnan Buyung Nasution, Sudjana Sapi’ie, dan Nurcholis Madjid.

Sehari setelahnya, melalui Menteri Sekretaris Negara Akbar Tanjung, Habibie menyatakan kesediaan untuk segera menggelar pemilihan umum. Namun, pesta demokrasi itu sedianya harus merevisi terlebih dulu Undang-Undang Pemilu.

“Presiden mengatakan, bilamana aspirasi yang telah disampaikan tokoh itu memang sudah dapat dinformalkan secara konstitusional, maka presiden menyatakan siap segera melaksanakan pemilihan umum,” kata Akbar dilansir halaman utama Kompas, “Pemilu Secepatnya”, 26 Mei 1998.

Tepat seminggu menjabat presiden, Habibie menyetujui percepatan Pemilu dan Sidang Istimewa MPR. Ia mendatangi Gedung MPR/ DPR untuk menemui pimpinan legislatif buat membicarakan hal ini. Ini peristiwa langka seorang presiden ke gedung parlemen untuk berkonsultasi. Di era Soeharto, DPR bisanya yang mendatangi presiden ke Istana untuk membicarakan urusan kenegaraan.

Habibie dalam sidang pertama Kabinet Pembangunan Reformasi mengungkapkan bahwa ia menyepakati percepatan reformasi. Salah satu poinnya, konsensus masa jabatan presiden maksimal hanya dua kali. Konsensus ini kemudian dipakai dalam revisi UU Pemilu dan berlaku hingga saat ini.

Pergantian Komandan Militer

Segera sehari setelah Soeharto lengser, Panglima Komando Cadangan Strategis TNI AD Letnan Jenderal Prabowo Subianto diganti.

Prabowo—menantu Soeharto dari anak keempat, Siti Hediati Hariyadi (Titiek)—dipindah sebagai Komandan Sekolah Staf Komando (Seskoad) ABRI, menggantikan Letnan Jenderal Arie J. Kumaat. Posisi Pangkostrad lantas dijabat oleh Mayor Jenderal Johny Lumintang.

Pergantian itu tidak dihadiri Prabowo. Ia hanya menyerahkan tongkat komando kepada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo HS, dua jam sebelum Mayjen Lumintang menjabat Pangkostrad pada 22 Mei 1998 pukul 19.30.

Tongkat komando diserahkan Subagyo kepada Lumintang, tetapi siangnya pindah tangan ke Djamari Chaniago. Lumintang hanya menjabat selama 17 jam hingga Sabtu pagi, 23 Mei. Ia ditugaskan buat “mengonsolidasikan pasukan Kostrad yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta.”

Senin, 25 Mei, Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang dijabat Mayor Jenderal Muchdi Purwopranjono pun digantikan Mayjen Sjahrir MS.

Pergantian diam-diam di lingkaran petinggi militer itu menurut Jenderal Subagyo HS adalah hal lazim. “Pergantian jabatan ini …. dalam rangka penyegaran dan optimalisasi tugas organisasi,” ujarnya, dalam judul halaman utama Kompas, “Prabowo Subianto Diganti”, 23 Mei 1998.

Isu “pasukan liar” di balik pergantian Pangkostrad mengemuka. Ini tergambar pada harian sore Suara Pembaruan edisi 23 Mei dalam berita berjudul “Isu Meletusnya ‘Perang’ Di Tengah Kota”. Malamnya, setelah Mayjen Lumintang menjabat, suasana ibukota dilaporkan “mencekam.”

Di jalan-jalan, ribuan pasukan dari Kostrad, Pasukan Huru-Hara Kodam V Jakarta Raya, dan Kopassus disiagakan di sekitar Istana Merdeka dengan senjata lengkap.

Ribuan tentara itu berjaga di Kawasan Kota, Menteng, hingga Jalan MH Thamrin. Tank, water canon, dan kawat berduri terpacak di sejumlah jalan strategis.

Namun, setelah pergantian Pangkostrad ke tangan Lumintang, situasi itu berangsur reda.

Urut-urutannya: pukul 02.30, persenjataan berat milik Kodam dan Kostrad disingkirkan; enam tank melintas di Bundaran Hotel Indonesia dan empat panser melintasi Jalan Diponegoro; sejumlah pasukan Kostrad dan pasukan huru-hara dari Kodam segera dikembalikan ke markasnya masing-masing. Pukul 04.00 suasana Jakarta kembali tenang.

Prabowo, pihak tertuduh karena pergerakan Kostrad di bawah kendalinya, menepis tudingan kudeta yang akan mengarah pada Istana. Isu itu kabar bohong, katanya.

Rubbishrubbish…” kata Prabowo seraya tertawa, dan meninggalkan kerumunan wartawan, seusai dilantik sebagai komandan Seskoad, seperti ditulis Republika edisi 29 Mei 1998.

INFOGRAFIK HL Tragedi 98 Gurita Cendana

Desakan Menyita Harta Keluarga Cendana

Agenda reformasi lain adalah mengusut harta Soeharto, atau lebih akrab harta “keluarga Cendana”, merujuk sebuah jalan yang ditempati rumah Soeharto di Menteng, kawasan elite di jantung Jakarta.

Gurita bisnis dan harta Cendana bersama para kroni ini menggurita. Harian Republika pada 27 Mei 1998 menaruh berita tentang proyek keluarga Cendana di halaman utama. Berita berjudul “Basofi akan Tinjau Ulang Megaproyek Keluarga Cendana” itu melaporkan megaproyek yang dikuasai anak-anak Soeharto. Nilai proyek itu mencapai triliunan rupiah.

Sasarannya tertuju kepada Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Bambang Trihatmodjo (Bambang), dan Hutomo Mandala Putra (Tommy Suharto).

PT Citra Marga Nusapala Persada menggasak proyek jalan simpang susun di Waru, Sidoarjo. Proyek senilai Rp1,3 triliun ini digarap bersama PT Marga Raya milik Bambang. Selain menggarap proyek jalan bersama Tutut, Bambang menggarap proyek kilang minyak senilai triliunan rupiah di Situbondo, Jawa Timur. Melalui Bimantara Grup, Bambang juga menggarap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton. Sementara Tommy Soeharto, lewat perusahan Grup Mandala dan Ciputra, menggarap proyek air bersih Umbulan senilai Rp500 miliar di Pasuruan, Jawa Timur.

Media-media cetak tampak berani dengan judul-judul kepala berita yang mendesak pengusutan kekayaan Soeharto, yang diduga dicuri dan dikorupsi, diparkir di negara luar supaya tidak gampang terendus.

Salah satunya menyangkut tunggakan utang BCA kepada Bank Indonesia.

Suara Pembaruan edisi 28 Mei 1998 melaporkan bagaimana nasabah BCA selama dua pekan, sebelum dan sesudah Soeharto lengser, menarik uang mereka. Penarikan uang itu berkaitan dengan pemegang saham dari Keluarga Cendana.

Tutut dan Sigit Harjojudanto masing-masing memiliki 14 persen dan 16 persen saham di Bank BCA. Sisanya, 70 persen saham, dimiliki keluarga Salim: Sudono Salim (23,7 persen), Andri Salim (23,15 persen), dan Anthony Salim (23,15 persen). Pemerintah kemudian menguasai BCA, dan pengelolaan selanjutnya diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Tembakan pengusutan kekayaan Keluarga Cendana menyasar pada yayasan-yayasan yang dibuat semasa Soeharto berkuasa. Yayasan-yayasan ini diduga digunakan Soeharto, serta para kroninya, untuk menumpuk kekayaan dan menggelapkan uang rakyat.

Probosutedjo, adik tiri Soeharto, langsung bereaksi sengit menanggapi isu ini, sebagaimana dilansir Republika edisi 29 Mei 1998, “Keluarga Cendana Siap Diperiksa Kekayaannya”. Ia menyatakan, desakan mengusut kekayaan kerajaan bisnis Soeharto itu tidak asal “bertindak menjadi hakim sendiri.”

“Hanya orang-orang yang pernah jadi pengusaha, yang bisa merasakan semua itu (perusahaan) tidak untung. Apalagi yayasan, kan, semua itu adalah untuk kepentingan sosial,” kata Probosutedjo.

“Jadi adalah tidak mungkin kalau dikatakan numpuk kekayaan,” bantahnya.

Dalam pemberitaan majalah TIME edisi 24 Mei 1999, setahun setelah Soeharto berhenti, laporan investigatif atas “Soeharto Inc.” menggambarkan bagaimana jaringan kekuasaan Orde Baru selama tiga dekade, di bawah kendali Soeharto, mengurus pemerintahan bak perusahaan keluarga.

Salah satu laporan TIME mengutip sosiolog korupsi George Junus Aditjondro yang melacak kekayaan Soeharto di pelbagai negara. Menurut Aditjondro, tulis TIME, “terdapat sekitar 79 yayasan yang dikuasai oleh Soeharto, istrinya (meninggal pada 1996), saudara-saudara istrinya dari desa, sepupunya dan saudara tirinya, enam anaknya, keluarga dan orangtua pasangan anak-anak tersebut, orang-orang militer yang dipercaya, dan teman-teman dekat lainnya.”

Baca juga artikel terkait MEI 98 atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Politik
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam